SALAM SERIBU KATA

Praktisi, Pemikir Pendidikan, Peneliti dan Pemerhati Sosial, Mahasiswa, Siswa dan Para Orang Tua, Ini merupakan buah pikiran seorang yang dhoif ingin berbagi pendapat, oleh karena itu kreativitas, catatan berharga dan pemikiran cerdas kita akan diberi manfaat jika disebar luaskan pada khalayak... Semoga kita Sukses...

Rabu, 11 Juli 2012

Sebuah Renungan tentang Pendidikan Kita

Pendidikan di Era Soeharto (Orde Baru)
Rezim orde baru yang otoriter telah melahirkan sistem pendidikan yang tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif, meskipun secara kuantitatif rezim ini telah mampu menunjukkan prestasi yang cukup baik di bidang pendidikan.
Kemajuan pendidikan secara kuantitatif memang kita rasakan selama orde baru berkuasa. Sebagai contoh, data statistik yang dikemukakan oleh Abbas menunjukkan bahwa jumlah murid sekolah dasar meningkat dari 13.023.000 siswa pada tahun 1967/1968 menjadi 29.239.238 siswa dalam tahun 1997/1998, atau telah terjadi peningkatan sebesar 224.59 %. Dalam priode yang sama, murid SLTP juga meningkat dari 1.000.000 siswa menjadi 9.227.891 siswa atau terjadi peningkatan sebesar 902.30 %. Pun juga pada jenjang SLTA meningkat dari 500.000 siswa menjadi 4.932.083 siswa atau meningkat sebesar 1000%. Dalam tahun yang sama mahasiswa juga meningkat dari 230.000 mahasiswa menjadi 2.703.896 mahasiswa atau meningkat 1.176%.
Namun demikian, pemberdayaan masyarakat secara luas, sebagai cermin dari keberhasilan itu tidak pernah terjadi. Mengapa demikian? Karena orde baru selama lima tahun berkuasa, secara sistematis telah menyiapkan skenario pemerintahan yang memiliki visi dan misi utama untuk melestarikan kekuasaan dengan berbagai cara dan metode.
 Akibatnya, sistem pendididkan kemudian dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menciptakan safety net bagi pelestarian kekuasaan. Visi dan misi pelestarian kekuasaan itu melahirkan kebijakan pendidikan yang bersifat straight jacket.
Fenomena yang digambarkan tersebut dapat dilihat dari indikator lahirnya kurikulum nasional untuk segala senjang pendidikan. Sebagai contoh, dipaksakannya aturan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) pada tahun 1970 an sebagai ganti dewan mahasiswa di Perguruan Tinggi, dipusatkannya sumber dana yang dikumpulkan dari masyarakat di bawah bendera PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak).
Sistem evaluasi belajar terpusat, yang sangat mendewakan nem, dan lainnya. Semua metode itu akhirnya membawa kita pada budaya kualitas semu dan budaya kualitas pura-pura. Dengan istilah lain, fenomena ini dapat dimasukkan juga pada tatanan budaya hipokrit yang menghalalkan banyak hal di dunia pendidikan melalui modal sulap.
Pada era orde baru, pendidikan di semua jenjang lebih mementingkan aspek kognitif (intelegensi quotient). Sedangkan aspek afektif (emosional quotien atau sistem nilai), sangat ditelantarkan. Dalam skala mikro, proses pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan hanya memusatkan perhatiannya pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya, kemampuan otak kanan kurang di tumbuh kembangkan dan bahkan dapat juga dikatakan tidak pernah dikembangkan secara sistematis.
Dengan kondisi itu, menyebabkan pendidikan nasional kita tidak mampu menghasilkan orang-orang mandiri, kreatif, memiliki integritas, dan orang-orang yang mampu berkomunikasi secara baik dengan lingkungan fisik dan sosial serta komunitas kehidupan mereka (peserta didik). Akibatnya, dilihat dari tingkat pendidikan tinggi, pengangguran sarjana yang secara formal termasuk kelompok terpelajar/terdidik semakin banyak dan meluas.
Pendidikan di Era Sekarang (Era Reformasi)
Pendidikan Indonesia saat ini merupakan hasil dari kebijakan politik pemerintah Indonesia selama ini. Mulai dari pemerintahan orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Di lihat dari realitas praktisnya, pendidikan kita masih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi materialisme-kafitalis.
Materialisasi atau proses menjadikan semua yang bernilai materi telah merunyak di segala sendi sistem pendidikan Indonesia. Sendi-sendi yang di masuki bukan hanya materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, dan lingkungan, tetapi tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah kepada hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang dapat diharapkan dari proses pendidikan tersebut.
Materi pelajaran kita (kurikulum) di buat sedemikian rupa dan di arahkan agar peserta didik dapat/mampu mendapatkan pekerjaan yang dapat menghasilkan pendapatan yang besar. Kurikulum tersebut di buat dan direncanakan dengan sistematika yang sedemikian rupa, dan untuk mengikutinya dibutuhkan biaya yang sangat besar. Jika dalam proses memperolehnya saja peserta didik harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar, maka dapat dibayangkan; setelah mereka memperoleh pengetahuan tersebut mereka juga akan berupaya bagaimana dana dalam jumlah yang besar tadi dapat kembali, dan tentunya juga berupaya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya. Memang teori modern mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi buat masa depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal yang akan dipetik keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan prinsip ekonomi yang diajarkan di sekolah menengah adalah mengeluarkan modal sesedikit mungkin untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dari sini dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan telah dijadikan atau diselewingkan tujuannya hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu tujuan pendidikan untuk "membentuk manusia yang utuh dan tidak termarjinalkan" akan sulit tercapai disebabkan prinsip ekonomi memang tidak mengenal nilai-nilai spritual, moralitas, dan kebersamaan. Dalam aspek pendidikan misalnya banyak sekali praktek dan prilaku yang menjual nilai untuk mendapatkan uang. Bahkan ada sebagian pendidik yang menjadikan kewenangannya untuk memberikan nilai kepada peserta didik demi mendapatkan pendapatan dari peserta didiknya sendiri. Modusnya adalah dengan memberikan nilai rendah pada program reguler, kemudian akan diberikan nilai agak tinggi atau bahkan tinggi pada program khusus di mana peserta didik juga membayar dengan biaya khusus.
Aspek peserta didik merupakan korban dari proses pendidikan yang ada. Jika sistem pendidikan nasional mengalami reduksi makna pendidikan yang hanya menjadi sekedar penyampaian pengetahuan (transfer of knowleges) belaka, maka pada saat itulah peserta didik telah diberi pelajaran yang sangat luar biasa pengaruhnya dalam kehidupannya kelak.
Materialisasi aspek manajemen pendidikan dapat dilihat pada praktik munculnya kebanggaan semua pihak baik pengelola, pendidik, peserta didik, dan wali akan megahnya gedung dan kampus di mana mereka berada dan ikut andil di dalamnya. Jika kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi ukuran kemajuan sebuah pendidikan, maka dapat dibayangkan orientasi pendidikannya akan menjadi seperti apa. Materialisasi pada aspek lingkungan pendidikan merupakan fenomena yang sangat jelas. Lingkungan pendidikan di sini dipahami sebagai masyarakat yang berada di sekitar pendidikan atau dengan kata lain adalah masyarakat Indonesia sendiri. Kemasyarakatan Indonesia setelah memasuki era modernisasi telah mengalami pergeseran yang luar biasa.
 Pergeseran tersebut mencakup pergeseran orientasi kehidupan, budaya, gaya hidup, pandangan hidup, prilaku politik, prilaku ekonomi, dan pergesaran  terhadap ajaran agama. Modernisasi pada intinya merupakan upaya rasionalisasi seluruh aspek kehidupan masyarakat, dari yang awalnya kental akan nuansa religius, sakralitas, dan spritual, bahkan transedental, obyektivitas, dan realitas-empiris.
Materialisasi tujuan pendidikan merupakan landasan awal bagi proses materialisasi seluruh aspek di atas. Tujuan pendidikan yang di materialisasikan adalah upaya mencapai tujuan pendidikan nasional dengan asumsi dapat diukur secara kuantitatif dan dapat dilihat hasilnya secara nyata; misalnya, berapa alumni yang telah menjadi dokter, berapa yang telah menjadi pengacara atau berapa alumni yang telah menjadi anggota dewan. Dengan melihat jumlah alumni yang telah menduduki jabatan strategis, baik di lembaga pemerintahan maupun di kantor-kantor mereka, maka dapat diketahui pula keberhasilan sebuah lembaga pendidikan. Dengan sistem pendidikan seperti ini, akhirnya kita jarang menemukan atau bahkan tidak ada, standar keberhasilan pendidikan yang dilihat dari berapa alumni yang telah menjadi manusia bermoral, berapa alumni yang telah memberikan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya persaudaraan, dan berapa alumni yang telah benar-benar melaksanakan tujuan pendidikannya, yaitu menjadi manusia seutuhnya; Maksudnya manusia yang sehat secara jasmani dan ruhani, secara material dan spiritual, secara fisik dan mental, serta secara intelektual dan moral telah terjadi keseimbangan yang nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
Kota Kelahiranku Bangka Island,tepatnya di Kotaberingin, pekerjaanku pengajar di IAIN Raden Fatah Palembang

Ceria Bersama

Ceria Bersama
Puncak Island

Total Tayangan Halaman

Bersama Kita Bisa

Bersama Kita Bisa
Jarlitnas NTB

Kehidupan Gembira

Kehidupan Gembira
Bersama Tetap Ada

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini

Berapa kali anda mengunjungi Blog ini