SALAM SERIBU KATA

Praktisi, Pemikir Pendidikan, Peneliti dan Pemerhati Sosial, Mahasiswa, Siswa dan Para Orang Tua, Ini merupakan buah pikiran seorang yang dhoif ingin berbagi pendapat, oleh karena itu kreativitas, catatan berharga dan pemikiran cerdas kita akan diberi manfaat jika disebar luaskan pada khalayak... Semoga kita Sukses...

Minggu, 15 Maret 2009

KEPEMIMPINAN KIYAI DAN PEMBERDAYAAN

Ringkasan Hasil Penelitian
KEPEMIMPINAN KIYAI DAN PEMBERDAYAAN
EKONOMI PESANTREN : Studi Peran Santri di Pesantren Raudhatul Ulum dan Pesantren Al-Ittifaqiyah Ogan Ilir

Pendahuluan
Secara historis pesantren telah dipercaya sebagian besar masyarakat santri sebagai lembaga pemberdayaan diri dan penyadaran. Zamakhsyari Dhofier mengatakan (1981: 38), bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Jumlah pesantren di Indonesia pada tahun 2004/2005 terdapat sebanyak 11.312 pesantren dengan jumlah santri kurang lebih 3 juta.[1] Dari besarnya jumlah santri ini, belum lagi alumni, tentunya tidak dapat diabaikan peranannya dalam berpartisipasi dan pendorong dalam mensukseskan pembangunan nasional.
Saat ini, pesantren nampaknya merupakan faktor potensial yang perlu lebih banyak diaktualisasikan. Dirasakan saat ini peran pesantren belum maksimal. Meminjam istilah Taufik Abdullah, eksistensi pesantren selama ini berada diantara dua sistem dominan yaitu sistem birokrasi (baca: negara) dan sistem pasar (kapitalisme).[2] Ke depan, mampukah pesantren meningkatkan perannya selain sebagai tempat melahirkan para calon ulama juga dapat mengembangkan bangunan tata moral masyarakat yang bisa menjadi kekuatan penyeimbang diantara dominasi kedua sistem tersebut.
Dalam rangka mengaktualisasikan peran pesantren dalam keterlibatannya memajukan masyarakat atau dalam pembangunan bangsa, paling tidak ada tiga permasalahan besar yang perlu dijawab: pertama, seperti diketahui pesantren merupakan satu sistem pendidikan dan kultural yang dulunya pernah cenderung isolatif, yakni mengambil jarak dengan sistem birokrasi negara dan sistem pasar, dan hanya berorientasi sebagai lembaga pencipta calon ulama dan kurang mengembangkan kurikulum di luar konsep ulama, mengingat tidak semua santri pada akhirnya jadi ulama. kedua, dalam semakin hegemoninya sistem pasar (kapitalisme global), eskalasi peran pesantren mengalami penurunan. Akibatnya pesantren mengalami dalam beberapa hal disfungsi sosial atau pesantren belum bisa menjadi lembaga yang mampu mengimbangi perkembangan zaman. Mampukah pesantren meningkatkan kembali perannya sebagai pusat pengembangan masyarakat?; ketiga, apakah pesantren mampu turut bermain dalam sistem mekanisme pasar dengan bergerak di bidang ekonomi, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan dan pusat transformasi keagamaan.
Berdasarkan fakta ini, peneliti di sini ingin mencoba meneliti kegiatan ekonomi di kalangan masyarakat santri di daerah Ogan Ilir Sumatera Selatan yaitu pesantren Raudhatul Ulum dan Ittifaqiyah. Adapun alasan peneliti mengambil 2 (dua) pesantren ini adalah: Pertama, berkaitan dengan pilihan komunitas pesantren sebagai obyek penelitian, hal itu terkait masyarakat pesantren merupakan satu kelompok sosial yang potensial dan merupakan salah satu pilar pendidikan masyarakat di Indonesia selain pendidikan umum dan pendidikan madrasah; kedua, berkait dengan pilihan variabel penelitian yaitu tentang prilaku dan partisipasi dalam pembangunan ekonomi adalah karena penelitian ini mencoba memotret peran masyarakat santri dalam pembangunan daerah dalam semangat otonomi daerah; Ketiga, berkait dengan tempat penelitian yang mengambil lokasi di Ogan Ilir, karena merupakan salah satu kabupaten dari propinsi yang besar dan telah lama berdiri yang konon mempunyai semangat keagamaan yang tinggi. Dan signifikansi penelitiannya menemukan rekomendasi apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka memberi ruang publik pesantren dalam mengembangkan kreatifitas santri untuk terlibat dalam membangun masyarakat, serta rekomendasi apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemegang otoritas pesantren (kyai, pengasuh, pengurus) pesantren dalam mengembangkan peran publik pesantren dan membangun kreatifitas santri berpartisipasi dalam memajukan masyarakat.

Kerangka Konsep
Dalam topik penelitian ini ada tiga kata kunci yang perlu penulis jelaskan yaitu pesantren, pembangunan dan otonomi.
1. Pesantren
Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada tahun 1973 berusaha mengelompokkan model pesantren dengan studi lokasi di sekitar Bogor Jawa Barat. Dalam pengelompokkan itu pesantren dipolakan menjadi lima pola, yaitu: pola I: Masjid, rumah kyai; pola II: masjid, rumah kyai, pondok; pola III: masjid, rumah kyai, pondok, madarasah; pola IV: masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, tempat ketrampilan; pola V: masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, tempat ketrampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga, sekolah umum.[3]
Dalam sejarahnya, pendidikan pesantren telah mengangkat status sosial alumni. Selain karena memang mereka dikirim ke pesantren karena didukung oleh orang tua yang mampu secara material untuk mengirim anaknya dan membiayai hingga sang anak menjadi calon kyai. Secara tidak langsung selanjutnya lulusan pesantren akan mempunyai status sosial tertentu dan memiliki priveledge tersendiri di tengah masyarakat. [4]
2. Pembangunan
Teori pembangunan saat ini sudah dianggap sebagai salah satu teori perubahan sosial, bahkan sudah mengarah menjadi ideologi sosial. Penyebabnya adalah karena ide pembangunan ini didukung oleh berbagai pihak baik organisasi masyarakat, pemerintahan negara, perusahaan swasta bahkan populer di negara-negara liberal,[5] dan diikuti di negara-negara yang sedang berkembang.
Salah satu teori pembangunan adalah teori evolusi di mana pembangunan adalah perubahan sosial yang terjadi dari masyarakat sederhana (primitive) menuju kepada masyarakat modern (complex) dan memerlukan proses panjang fase demi fase.[6]
3. Otonomi
Ciri proses otonomisasi yang bertanggungjawab adalah: Pertama, meyangkut faktor politis, yaitu pemberian otonomi harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa serta menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan Daerah. Hal ini berkaitan erat dengan supaya untuk jaminan stabilitas politik. Kedua, mengenai faktor sosial ekonomi, yaitu pemeberian otonomi harus dapat menambah kelancaran pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara, serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Hal ini erat kaitannya dengan dengan strategi pembangunan ekonomi untuk menjamin keseimbangan antara pertumbuhan dengan pemerataan. Ketiga, berkenaan dengan faktor administratif, yaitu pemberian otonomi perlu didukung dengan kemampuan yang dipengaruhi oleh potensi suatu daerah. Potensi ini juga ditentukan oleh barbagai kebijaksanaan, seperti kebijaksanaan di bidang kepegawaian negara yang memungkinkan tenaga-tenaga trampil yang terdidik/terlatih bersedia ditempatkan di daerah, serta kebijaksanaan hubungan keuangan Pusat dan Daerah sendiri.[7]
Kajian Kepustakaan
Kajian mengenai fenomena pesantren di era otonomi adalah penelitian Asep Suryana “Menolak Instrumentasi Negara: Ruang Gerak Pesantren dalam Otonomi Daerah” dalam Antropologi Indonesia, 2001. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam era otonomi yang memberi kebesan seluas-luasnya terhadap prakarsa masyarakat, maka semestinya pemerintah tidak lagi membatasi atau meng sub-ordinasikan pesantren dengan melakukan regulasi.[8]
Adapun buku yang berdekatan dengan tema pemberdayaan bisa disebutkan karya Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1983). Buku ini telah menceritakan sedikit detil dinamika pemberdayaaan Pesantren yang dilakukan sekitar tahun 1970-an yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun organisasi swasta seperti LP3ES dan P3M. Dari buku ini kita dapat mengetahi awal usaha mengembangkan pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat, satu paradigma yang belum sebenuhnya dilaksanakan oleh kebanyakan pesantren.
Kajian tentang santri berkaitan dengan dunia ekonomi, Misalnya Clifford Geertz dalam bukunya Penjaja dan Raja : Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota di Indonesia (1977) menyimpulkan bahwa ada semangat ekonomi di kalangan muslim (santri) pembaharu di Mojokuto dan bangsawan di Tabanan, hanya saja prilaku ekonomi mereka tidak bisa menembus usaha besar karena terbatasnya tradisi yang ada. Menurut Lance Castle dalam buku Religion, Politics dan Economic Behavior in Java: The Kudus Cigarette Industry (1967) mengindikasikan bahwa ketidakmampuan santri mengimbangi kelompok Tionghoa karena keterbatasan ideologi muslim dalam berusaha.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskripsi, yaitu penelitian yang diadakan dengan tujuan untuk menggambarkan fenomena sosial. Fenomena yang dimaksud adalah fenomena pengembangan ekonomi di lingkungan pesantren.
Dari sisi waktu, penelitian ini masuk dalam kategori case study, penelitian ini mencoba menggali secara mendalam dengan penekanan pada kasus-kasus yang terjadi dalam satu rentang waktu yang ketat. Dan pendekatan/pengumpulan data, penelitian ini peneliti maksudkan sebagai penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data ditempuh dengan menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan berupa wawancara mendalam dan dokumentasi.
Selanjutnya data yang terkumpul melalui pengamatan, wawancara dan studi kepustakaan akan di analisa dengan pendekatan komparasi, yaitu membandingkan fenomena sosial yang terjadi pada suatu komunitas diperbandingkan dengan yang terjadi pada komunitas lain. Dalam bahasan ini akan dicari dua model pengembangan ekonomi dalam dua model pesantren yang berbeda kemudian diperbandingkan antara keduanya.
Pengembangan Masyarakat Santri
Usaha-usaha pendekatan untuk mengembangkan pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat mulai saat itu diidentifikasikan terdapat tiga pendekatan utama: (1) pendekatan pembaharuan pengajaran oleh beberapa pesantren yang berkembang secara tidak teratur dan tanpa koordinasi dan hanya dikenal dan diikuti secara terbatas. Usaha ini dilakukan oleh para kiyai pesantren itu sendiri, dankebanyakan kiyai yang telah bersentuhan dengan pendidikan modern; (2) pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya Departemen Agama melalui paket-paket program bantuan; (3) pendekatan yang berasal dari prakarsa organisasi swasta yang mengembangkan ilmu pengetahuan dengan melakukan kerja sama yang erat dengan pesantren progresif tertentu.[9]
Bagi kalangan pesantren di daerah Ogan Ilir belum begitu terasa. Namun bukan berarti tidak ada program pemerintah daerah untuk pengembangan pesantren di daerah Ogan Ilir. Saat ini, pemerintah melalui Kandepag Kabupaten Ogan Ilir sedang mengusahakan ujian penyetaraan bagi santri-santri pada pesantren salafiah yang tidak mengikuti pendidikan formal. Hal ini dimaksudkan agar para santri tersebut nantinya dapat menggunakan ijazah penyetaraan itu sebagai tanda bukti untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan formal pemerintahan seperti proses pencalonan menjadi Lurah, penyuluh agama.[10]
Dalam rangka meningkatkan kompetensi santri, ke depan output pesantren, kalau boleh membuat pemetaan, perlulah kiranya pesantren dipetakan dalam kategori-kategori yang lebih tegas, sejauh mana pesantren menargetkan output santri dari pendidikan dilembaganya. Dalam tulisan ini penulis mereka-reka beberapa macam tipe umum karakter pesantren dilihat dari target output yang dimiliki.
Pertama, pesantren yang hanya menghasilkan output santri yang berkepribadian soleh dan memahami ajaran-ajaran dasar agama. Santri pesantren model ini belum tentu berkemampuan bisa membaca kitab kuning secara sendiri ketika keluar dari pesantren. Pesantren ini kita beri tipe D.
Kedua, pesantren yang mempunyai target output santri yang berkepribadian soleh dan mempunyai keahlian praktis lain atau ketrampilan khusus misalnya trampil bahasa asing, trampil di bidang pertaniaan, peternakan dsb. Pesantren model ini diberi Tipe C.
Ketiga, pesantren yang mempunyai target output santri yang berkepribadian soleh dan mampu menguasai kitab-kitab klasik dan mampu membaca kitab kuning sendiri. Pesantren jenis ini kami klasifikasikan sebagai pesantren jenis B.
Keempat, pesantren yang mempunyai target output santri yang berkepribadian soleh dan mampu menguasai kitab-kitab klasik dan mampu membaca kitab kuning sendiri serta mempunyai keahlian khusus tertentu Pesantren ini kita jeniskan sebagai pesantren jenis A.
Tipe Pesantren
Target Output Santri
Berkepribadian Soleh & Faham Ajaran-ajaran dasar agama
Mampu Membaca Kitab Kuning & Menguasai Kitab-kitab klasik
Mempunyai ketrampilan Praktis tertentu (Mis. Trampil bahasa asing, Pertanian, pertukangan, elektronik, otomotif dsb)
Pesantren dan Usaha Ekonomi
Berdasarkan pengamatan di lapangan, respon pesantren dalam menghadapi keterlibatan pemerintah dalam pengembangan ekonomi di lingkungan pesantren, di antara jenis-jenis pesantren yang ada, yaitu salafi, kombinasi dan khalaf), masing-masing terdapat perbedaan. (1) Pesantren salafi cenderung mengambil jarak dengan pemerintah dengan segala program yang ditawarkan, sikap demikian nampak juga dalam kegiatan ekonomi, pesantren salaf nampak menghindari usaha-usaha ekonomi yang diprogramkan pemerintah. Praktik ekonomi yang terjadi di pesantren salaf cenderung mengalir apa adanya, yaitu santri bergaul dengan masyarakat dan pada suatu saat dimintai tolong pekerjaan yang nantinya dikasih upah; (2) Pesantren kombinasi mencoba menanggapi ajakan kerjasama dari pemerintah. Namun karena usaha ekonomi lebih banyak lahir karena merespon ajakan pemerintah, maka usaha ekonomi uyang dijalankan terkesan tertatih-tatih dan belum dikatakan berhasil; (3) Pesantren khalaf atau modern dalam mensikapi ajakan kerjasama dari pemerintah nampak welcome atau menerima. Hal ini karena memang usaha ekonomi di pesantren modern memang sengaja diprogramkan, sehingga apapun yang ditawarkan akan diterima dengan baik. Setidaknya ada empat macam kemungkinan pola usaha ekonomi di lingkungan pesantren.
Pertama, usaha ekonomi yang berpusat pada kiyai sebagai orang yang paling bertanggungjawab dalam mengembangkan pesantren. Misalnya seorang kiyai mempunyai perkebunan yang luas. Untuk pemeliharaan dan pemanenan, kiyai melibatkan santri-santrinya untuk mengerjakannya. Maka terjadilah hubungan mutualisme saling menguntungkan: kiyai dapat memproduksikan perkebunannya, santri mempunyai pendapat tambahan, dan ujungnya dengan keuntungan yang dihasilkan dari perkebunan karet maka kiyai dapat menghidupi kebutuhan pengembangan pesantrennya.
Kedua, usaha ekonomi pesantren untuk memperkuat biaya operasional pesantren. Contohnya, pesantren memiliki unit usaha produktif seperti menyewakan gedung pertemuan, rumah dsb. Dari keuntungan usaha-usaha produktif ini pesantren mampu membiayai dirinya, sehingga seluruh biaya operasional pesantren dapat ditalangi oleh usaha ekonomi ini. Dalam kasus Ogan Ilir, penulis menemukan contoh pesantren jenis ini pada Pesantren Al-Ittifaqiyah di kec. Indralaya.
Ketiga, usaha ekonomi untuk santri dengan memberi ketrampilan dan kemampuan bagi santri agar kelak ketrampilan itu dapat dimanfaatkan selepas keluar dari pesantren. Pesantren membuat program pendidikan sedemikian rupa yang berkaitan dengan usaha ekonomi seperti pertanian dan peternakan. Tujuannya semata-mata untuk membekali santri agar mempunyai ketrampilan tambahan, dengan harapan menjadi bekal dan alat untuk mencari pendapatan hidup. Pesantren Al-Ittifaqiyah di Indralaya Ogan Ilir dapat dijadikan sampel pesantren dalam jenis ini juga, karena di sana santri diajak untuk bertani, dan berkebun.(Ustadz Fatur, 23 Mei 2007).
Keempat, usaha ekonomi bagi para alumni santri. Pengurus pesantren dengan melibatkan para alumni santri menggalang sebuah usaha tertentu dengan tujuan untuk menggagas suatu usaha produktif bagi individu alumni, syukur jika nanti keuntungan selebihnya dapat digunakan untuk mengembangkan pesantren. Prioritas utama tetap untuk pemberdayaan para alumni santri. Dalam kasus di Ogan Ilir, penulis menemukan contoh pesantren dalam jenis ini ada pada Pesantren Raudhatul Ulum desa Sakatiga kec. Indralaya. Pesantren Raudhatul Ulum mendirikan usaha ekonomi berupa koperasi yang bergerak dalam kegiatan usaha simpan pinjam dan perdagangan.
Usaha Ekonomi pada Pesantren ber Kiyai dan Pesantren Tanpa Kiyai
Ungkapan pesantren yang berkiyai adalah pesantren pada umumnya, yaitu pesantren yang mempunyai figur sentral sebagai penentu kebijakan pesantren. Figur sentral itu terletak pada sosok kiyai. Pesantren ber kiyai ini ada dalam model-model pesantren salaf dan pesantren kombinasi salaf dan khalaf. Sedangkan pesantren yang tanpa kiyai ini dimaksudkan untuk sebutan pesantren yang tidak memiliki figur sentral. Magemen pesantren dikelola secara bersama antar dewan ustadz atau pengurus yayasan. Biasanya pesantren jenis ini didirikan dengan disponsori orang atau institusi yang berduit kemudian ingin menggunakan aset kekayaannya untuk kepentingan agama.
1. Pesantren Raudhatul Ulum.
Secara umum Pesantren Raudhatul Ulum ini, sampai kemudian mempunyai usaha yang bergerak di bidang ekonomi, mengalami tiga tahap perkembangan, yaitu pertama pesantren mengembangkan sistem salafi murni yang hanya mengajarkan kitab-kitab Islam klasik.
Usaha ekonomi melalui koperasi di Pesantren Raudhatul Ulum merupakan hasil perkembangan lanjut dari proses evolusi pesantren dari pesantren salaf menuju pesantren kombinasi. Koperasi Pesantren Raudhatul Ulum yang diberi nama Koperasi BMT Muamalat Pertiwi saat ini telah berbadan hukum Nomor 676/BHK/KWK.10/VII/1998 tertanggal 23 Juli 1998 dan berkantor di Jl. Lintas Sumatera No. 6 Ogan Ilir.
Secara umum dapat digambarkan: keanggotaan Koperasi meliputi tidak hanya keluarga besar pesantren tetapi juga melibatkan masyarakat sekitar sehingga total anggota berjumlah 209 orang, yang terdiri dari pedagang 176 orang, PNS 20 orang, Tani 2 orang, lain-lain 11 orang. Jumlah simpanan pokok sebanyak Rp. 200.000,- dan simpanan wajib Rp. 10.000,- Usaha koperasi meliputi Usaha simpan pijam dan Perdagangan Umum.[11]
Keberhasilan-keberhasilan yang pernah dicapai Koperasi Pesantren Raudhatul Ulum ini adalah (1) Membuka cabang baru untuk usaha simpan pinjam yaitu dengan membuka Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Fi Sabilillah di Jl. Labuhan Km. 3 Pasar Indralaya Ogan Ilir; (2) Membuka toko Swalayan “as Sofa” di jalan T. Martadinata 22 Ogan Ilir. Total aset yang dimiliki, dari ketiga unit usaha koperasi, kurang lebih mencapai 500 juta rupiah. Prestasi paling besar pernah terjadi pada tahun 2000 dengan jumlah Sisa Hasil Usaha sebanyak 20 juta rupiah.
Alasan utama kenapa Pesantren Raudhatul Ulum memilah bidang usaha yang bergerak di bidang koperasi dan perdagangan, berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa pengurus Pesantren dan santri (2007), disebabkan oleh karena (1) Khusus masalah koperasi, Pesantren Raudhatul Ulum tertarik menindaklanjuti himbauan pemerintah dalam hal ini himbauan yang disampaikan Departemen Agama bekerjasama dengan Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil waktu itu yang menganjurkan setiap pesantren untuk mendirikan Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren); (2) Sedangkan pengembangan di bidang sektor perdagangan didasari pertimbangan bahwa lokasi koperasi pesantren berada ditengah kota Ogan Ilir, tepatnya di sekitar pasar Kab Ogan Ilir. Lingkungan yang dianggap mendukung untuk pengembangan perdagangan.
Belakangan usaha ini mengalami kemunduran dan penurunan keuntungan. Permasalahan penyebab kemunduran yang dihadapi oleh koperasi pesantren ini berdasarkan wawancara dengan pengurus koperasi BMT Muamalat Pertiwi adalah sebagai berikut (1) persoalan keterbatasan SDM yang berkualitas, (2) terbatasnya modal pengembangan (investasi); (3) Munculnya pesaing bisnis baru dari industri modern seperti bisnis waralaba dari perusahaan nasional Indomart dan Alfamart yang telah merambah ke kota-kota kabupaten.[12]
2. Pesantren Al-Ittifaqiyah.
Dari persiapan dan model perencanaan, pesantren ini jelas menunjukkan pesantren digagas dengan sistem modern. Pesantren ini tidak memiliki figur sentral kiyai (pesantren tanpa kiyai), semuanya dikelola dengan model organisasi modern. Kurikulum dan program-program yang dikembangkan pesantren dari awal sudah diniati menuju pesantren agribisnis, yaitu menggabungkan antara pembentukan santri yang berakhlak solih dan mempunyai ketrampilan di bidang pertanian (Tipe C).
Output santri tidak ditargetkan untuk mampu menguasai kitab-kitab klasik atau mampu membaca kitab kuning. Kemampuan dasar di bidang agama yang ditargetkan dimiliki oleh setiap santri adalah paham terhadap ajaran-ajaran dasar agama, bisa menjadi imam sholat, khatib, memimpin doa, pidato dan mengembangkan agama. Sebagai tambahan kegiatan santri, sebelum lulus santri diwajibkan hafal Juz Amma dan Surat-surat Al Qur’an tertentu.
Ada empat pilar utama program Al-Ittifaqiyah, dua program dikembangkan dalam rangka rekayasa pendidikan dan dua program untuk rekayasa sosial ekonomi. Dua program untuk rekayasa pendidikan ditujukan untuk menjawab permasalahan yang berkait dengan masa depan, yaitu meliputi : (1) Pondok Pesantren Agribisnis Al-Ittifaqiyah, (2) SMU Islam Terpadu (SMUIT) Al-Ittifaqiyah. Sedangkan dua program untuk rekayasa sosial ekonomi ditujukan untuk menjawab permasalahan kenikinian, meliputi: (3) program SBU (Stategic Bussines Unit) dan (4) program CD (Community Development).[13]
Keempat program utama itu mulai dijalankan pada tahun 1999 dengan langkah pertama pendirian masjid sebagai pusat pelaksanaan program CD (Community Development). Berturut-turut kemudian pelaksaan program-program SBU (Strategis Community Unit) sebagai usaha produktif untuk menggalang dana operasional Al-Ittifaqiyah. Berikutnya, mulai tahun 2003 ini dibuka Pesantren Agribisnis Al-Ittifaqiyah. Sedangkan SMUIT masih dalam proses penggagasan dan direncanakan dibuka untuk tahun depan 2007 akhir tahun ini.
Usaha di bidang ekonomi produktif yang telah dilakukan oleh Pesantren Al-Ittifaqiyah dalam unit Strategic Bussines Unit (SBU) antara lain: (1) Perkebunan dan pertanian, sektor ini merupakan bagia utama materi pembelajaran para santri, dan sampai saat ini masih dalam taraf pertumbuhan.; (2) Peternakan: Sapi, bebek, sektor ini dilakukan dengan bekerja sama dengan masyarakat sekitar; (3) Penyewaan villa, pendopo, gedung, sektor ini yang memberikan pemasukan paling besar, (4) Pabrik pengolahan pakan ternak ikan, sektor ini berhasil menyerap tenaga kurang lebih 110 orang.
Alasan utama pemilihan bidang-bidang usaha yang dipilih Pesantren Al-Ittifaqiyah adalah (1) Karena melihat potensi utama daerah Ogan Ilir adalah daerah pertanian dan didukung oleh ketersediaan tanah 17ha di tengah-tengah suasana pedesaaan; (2) adanya potensi agrowisata potensial di daerah Ogan Ilir yaitu meliputi adanya anjungan sungai yang terkenal seperti anjungan mutiara Tj. lebung, danau buatan dan secara kebetulan lokasi Pesantren berada di tepi jalan utama ke dua lokasi tersebut.
Dari usaha ekonomi yang telah dilakukan oleh Al-Ittifaqiyah telah menunjukkan manfaat (1) Berhasil menutupi biaya operasional seluruh kegiatan Al-Ittifaqiyah yang melibatkan kurang lebih 30 orang; (2) Berhasil memberikan peluang pekerjaan di Pabrik pengolahan pakan ternak ikan sehingga memberikan tambahan pendapatan untuk kurang lebih 110 orang dari masyarakat sekitar; (3) memberi bekal kemampuan wirausaha untuk para santri yang belajar di sana.
Memahami Model Perubahan Sosial
Ada beberapa konsep atau paradigma perubahan sosial yang berkembang belakangan ini. Mansour Fakih dalam bukunya Sesat Pikir: Teori Pembangunan dan Globalisasi (2001) menyebutkan adanya tiga paradigma besar dalam perubahan sosial, yaitu paradigma kapitalistik, paradigma kritis dan paradigma postmoderisme.
Pertama, paradigma kapitalistik, pandangan ini kalau dicari sumber ajarannya berasal dari pandangan ekonomi klasik, terutama ajaran Adam Smith yang dituangkan dalam karyanya Wealth of Nation (1776). Adam Smith mengembangkan teori pentingnya ‘akumulasi kapital’ dalam pengembangan ekonomi. Teorinya tentang labour theory of value, di mana buruh dianggap sebagai sumber kekayaan bangsa, selanjutnya menjadi dasar kapitalisme. Paradigma kapitalisme ini selanjutnya menjadi landasan munculnya teori-teori seperti: teori evolusi, teori fungsionalisme, teori modernisme, teori pertumbuhan ekonomi Rostow dan masih banyak lagi. Teori kapitalistik ini kemudian mendapat kritik keras dari Karl Marx yang selanjutnya menjadi dasar lahirnya paradigma kritis.
Kedua, paradigma kritis sebagaimana dikemukakan di atas diilhami analisis marxisme. Teori ini awalnya dimulai dari teorinya Karl Marx dalam buku The Capital yang kemudian dikembangkan oleh teori-teori yang mengikutinya atau bahkan teori yang mengkritisinya. Teori-teori kritis (critical theories) pada dasarnya adalah semua teori sosial yang mempunyai maksud dan implikasi praktis sangat berpengaruh terhadap teori perubahan sosial aliran kritik. Selanjutnya teori kritik tidak sekedar teori yang melakukan kritik terhadap ketidakadilan sistem yang dominan yaitu sistem kapitalisme, melainkan teori untuk merubah sistem dan struktur tersebut.
Ketiga, paradigma posmodernisme adalah berbagai teori yang tergolong teori kritis yang tidak bisa atau tidak bisa dimasukkan dalam katehori kapitalistik dan paradigma kritis. Teori-teori yang dapat diterapkan pada pola pmikiran atau gerakan paradigma alternatif diantaranya adalah (1) teori dari paradigma gerakan feminisme; (2) teori-teori yang merujuk pada teologi pembebasan; (3) berbagai teori yang mendapatkan pengaruhnya dari pendekatan postmodernisme.
Santri dalam Sejarah Sosial Ekonomi di Indonesia
Peran santri, mengikuti definisi Geertz bahwa santri adalah sebutan bagi muslim yang taat menjalankan agama, menonjol di bidang sejarah perdagangan nampak pada awal abad ke-20. Yaitu dengan adanya Syarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Samanhudi dan kawan-kawan, para pedagang santri dapat menghimpun dalam organisasi dagang. Hanya saja kemudian, semangat dagang organisasi ini disayangkan berubah orientasi menjadi ke arah politik dengan perubahan SDI menjadi Syarikat Islam (SI). Sejak saat itu, perdagangan di kalangan santri tidak mengalami kemajuan yang berarti, bahkan hingga Indonesia memasuki kemerdekaan dan di masa pembangunan.
Peluang Pesantren di Era Otonomi Daerah
Untuk memperdayakan masyarakat di era otonomi daerah ini, Josef Riwu Kaho menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi, yaitu: (1) Berkaitan dengan faktor manusia pelaksana. Ada beberapa subyek yang sangat berpengaruh dalam proses pengembangan otonomi. Subyek-subyek itu adalah Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), Aparatur Pemerintah daerah dan Partisipasi masyarakat. (2) Berkaitan dengan faktor keuangan, ada beberapa sumber keuangan yang perlu diperhatikan yaitu pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah, dinas daerah dan pendapatan lainnya. (3) Berkaitan dengan faktor peralatan, dan (4) Berkaitan dengan faktor organisasi dan managemen.[14]
Berkaitan dengan keterlibatan pesantren di bidang ekonomi, sesuai dengan tema penelitian ini yang mengangkat permasalahan pengembangan ekonomi di lingkungan pesantren, perlu kita mengetahui beberapa faktor umum yang mendasari proses pembangunan ekonomi. Faktor-faktor itu adalah:
Pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk yang semakin meningkat berarti lebih banyak tenaga kerja tetapi juga lebih banyak mulut yang harus diberi makan; pengaruhnya atas pembangunan ekonomi akan tergantung pada hal-hal seperti pola pertambangahan penduduk, perluasan pasaran yang diakibatkan, dan tekanan yang ditimbulkan atas sumber-sumber daya alam yang langka dan persedian modal. Jika pertambahan jumlah penduduk terjadi dalam lingkungan yang sumber daya alam maupun modalnya terbatas, maka pembalikan hasil tambah yang semakin menurun sangat mungkin menjadi masalah yang pelik.
Sumber-sumber daya alam. Sumber daya alam tidak dapat dianggap sebagi suatu pembahasan yang mati atas pembangunan ekonomi; sumber-sumber daya dapat ‘terpakai habis’ , sumber-sumber daya alam baru dapat ditemukan atau diperoleh, dan akhirnya sumber-daya yang lain dapat dimanfaatkan sejalan dengan kemajuan teknologi.
Pemupukan modal. Pemupukan modal memudahkan diperkenalkannya teknologi baru, menyediakan sarana-saraqna bagi jumlah penduduk yang semakin bertambah, dan menjadi penyebab digunakannya proses-proses ‘jalan memutar’ yang produktif; biaya pengumpulan modal adalah hasil keluaranya yang sebenarnya dapat kita habiskan hari ini tetapi yang dalam kenyataannya kita tanamkan demi hasil keluaran yang lebih banyak pada esok hari.
Skala, spesialisasi, pembagian kerja. Dengan diperkenalkannya unit-unit produksi berskala lebih besar dengan spesialisasi serta ‘pembagian kerja’ yang semakin meningkat , sebuah masyarakat akan mendapatkan hasil kerja yang lebih banyak dari sejumlah faktor produksi tertentu yang dimilikinya; kemungkinan untuk memanfaatkan cara-cara sedemikian itu sangat dipengaruhi oleh ‘luasnya pasaran’.
Efisiensi dalam penggunaan sumber daya. Cara yang lain untuk meningkatkan hasil keluaran per unit masukan faktor adalah melalui peningkatan efisiensi dalam pengguanaan sumber-sumber daya. Ini dapat berupa efisiensi alokasi yang lebih tinggi ataupun efisiensi X yang lebih besar; di mana yang disebutkan belakangan adalah menyangkut mutu serta usaha yang berkaitan dengan jasa-jasa tenaga kerja dan pengaturan.
1. Kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi membawakan perubahan-perubahan yang mendasar dalam teknik-teknik produksi dan produk-produk yang baru; kemajuan teknologi tergantung pada kemajuan ilmu pengetahuan, pada tingkat-tingkat pendidikan dalam masyarakat, dan dalam hubungan dengan pembaruan-pembaruan praktis pada jiwa kewiraswastaan yang kuat dalam masyarakat.[15]
Peluang Kemitraan : Pesantren dan Pemerintah
Hubungan antara pemerintah dan pesantren, pesantren sebagaimana organisasi-organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mempunyai beberapa bentuk /pola hubungan dengan pemerintah. Diantara pola hubungan itu adalah asosiatif, paralel, dan konfliktif[16] (baca: mengambil jarak dengan pemerintah). Pertama, pola hubungan asosiatif adalah hubungan di mana pesantren berposisi sangat dekat hubunganya dengan pemerintah, bahkan dapat pula menyatu dengan program-program pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah. Terhadap kebijakan pemerintah bersifat mendukung dan melaksanakan. Dalam masalah dana anggaran dalam beberapa hal banyak menggatungkan pada bantuan pemerintah. Definisi ini bagi pesantren memang terlihat agak kabur bagi dunia pesantren, namun dalam prakteknya ada pesantren-pesantren kecil yang melakukan hal ini.
Kedua, pola hubungan paralel. Dalam pola ini pesantren memposisikan dirinya sebagai mitra sejajar dengan pemerintah. Terhadap program pemerintah, pesantren dapat bersikap sebagai komplementer, interdependen dan independen. Terhadap kebijakan pemerintah, pesantren dapat melakukan dukungan, mempengaruhi atau mengoreksi. Dalam masalah dana, pesantren dalam jenis ini bisa independen, tapi bisa juga menerima bantuan pemerintah. Pesantren yang banyak menggunakan pola ini kebanyakan adalah pesantren modern dan pesantren kombinasi salaf-khalaf.
Ketiga, pola konfliktif atau pola mengambil jarak dengan pemerintah. Sikap menyolok dari pesantren dari jenis ini adalah independen atau tidak mau diintervensi oleh pemerintah. Pesantren-pesantren yang mengambil jarak dari pemerintah ini kebanyakan adalah dari pesantren model salafiyah. Pesantren semacam ini seakan ‘tak tersentuh’ oleh pemerintah. Otoritas sepenuhnya di lingkungan pesantren itu berada di tangan kyai.
Strategi Pemberdayaan Pesantren
Terlepas dari pola-pola interaksi antara pesantren sebagai lembaga non pemerintah seperti yang disebutkan di atas, peluang reformasi dan keterbukaan, apalagi otonomi daerah ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kalangan pesantren. Jargon otonomi daerah menyatakan bahwa prakarsa-prakarsa masyarakat diberi kesempatan selebar-lebarnya untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembangunan bangsa.
Menurut Pranarka, konsep pemberdayaan (empowerment) didasarkan pada ide yang menempatkan manusia lebih sebagai subyek dari dunianya sendiri. Berdasarkan studi kepustakaan, proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan: Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan dan kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya; Kedua, adalah proses yang menekankan usaha stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan dan keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidup melalui proses dialog.[17]
Semua yang terlibat itu perlu membangun komunikasi timbal balik yang intens bagi pemberdayaan pesantren. Pihak-pihak itu adalah adalah Individu/institusi dalam masyarakat, Pemerintah daerah, Institusi-institusi pendamping, DPRD dan DPR Pusat dan Pemerintah pusat.
Mengagas Pesantren Model Pemberdayaan Ekonomi
Ke depan, sesuai dengan tesis penulis pada awal tulisan ini, usaha diversifikasi pesantren dalam masalah keahlian santri di bidang keilmuan dan atau ketrampilan praktis mutlak perlu dilakukan. Usaha ini utamanya perlu di sadari oleh kalangan pengelola pesantren dan juga bagi pemerintah. Karena dari kebutuhan itu dapat dilakukan berbagai komunikasi dan dialog yang produktif antara kedua belah pihak.
Khusus berkaitan dengan studi kasus terhadap Pesantren Raudhatul Ulum dan Pesantren Al-Ittifaqiyah, nampak bahwa keduanya merupakan sama-sama pesantren yang menyadari pentingnya ketrampilan di bidang ekonomi perlu dilakukan sebagai satu bentuk materi pembelajaran untuk di lingkungan pesantren. Sekalipun kedua-duanya sama baru dalam awal dalam kegiatan berusaha, kedua pesantren menunjukkan komitmen yang kuat untuk membangun tradisi itu. Satu kesadaran yang perlu juga dikembangkan pada pesantren lainnya.
Secara paradigmatik pengembangan pesantren, Pesantren Raudhatul Ulum dan Pesantren Al-Ittifaqiyah telah menerapkan konsep pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat. Pesantren tidak lagi hanya dipahami sebagai lembaga pencetak calon ulama saja, tetapi sudah dianggap sebagai satu bagian integral dari masyarakat yang perlu terlibat aktif dalam proses perubahan sosial, tentu saja dengan kacamata pesantren.
Pesantren Raudhatul Ulum dari sisi pembelajaran terhadap santri, sekalipun dalam usaha ekonomi masih dapat dikatakan belum berhasil, namun dari gagasannya mengarah pada kosep santri yang mendekati paripurna. Artinya pesantren mentargetkan output santri selain mempunyai kepribadian yang baik, pesantren juga mentargetkan santri menguasai ilmu-ilmu alat berbahasa untuk kemampuan pembacaan kitab kuning, di tambah lagi santri di arahkan mempunyai ketrampilan di bidang usaha. Atau kalau dikategorikan masuk dalam pesantren tipe A.
Adapun Pesantren Al-Ittifaqiyah, dalam bidang usaha ekonomi dapat dikatakan telah menunjukkan berhasil, walaupun ke depan perlu juga untuk dicermati tingkat keberhasilannya, namun paling tidak terbukti pesantren ini telah mampu membiayai operasional pesantren dari unit usaha ekonominya. Dari segi target output santri, Pesantren Al-Ittifaqiyah tidak memasang target terlalu tinggi, yang diutamakan lebih pada santri dengan kemampuan penguasaan ilmu agama dasar, ketrampilan praktis dalam urusan agama dan profesional di bidang usaha, tipe C.
Penutup
1. Dampak kebijakan otonomi daerah dalam pembangunan daerah mulai dirasakan bagi kalangan pesantren di Kabupaten Ogan Ilir, walaupun diakui hasilnya belum optimal. Beberapa bentuk usaha pemberdayaan pesantren yang dilakukan pemerintah atau DPRD adalah penciptaan ruang baru bagi pesantren untuk berpartisipasi lebih luas dalam kehidupan masyarakat baik dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya. Otonomi daerah memberikan peluang yang luas bagi pesantren untuk mengembangkan program-programnya di masa depan.
Khusus mengenai pemberdayaan pesantren di bidang ekonomi bisa disebutkan bahwa pemerintah daerah Ogan Ilir belum sepenuhnya berhasil dalam mengembangkan ekonomi dilingkungan pesantren. Pesantren dalam mengembangkan ekonomi masih merasa sendirian dan masih sedikit tertatih-tatih mencari bentuk. Masih banyak hal lain yang yang harus dilakukan pihak-pihak yang terkait dalam rangka memperdayakan masyarakat.

[1] Data EMIS, Departemen Agama RI, tahun 2004/2005.
[2] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987), hlm 151-158.
[3] Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 32.
[4] Ibid., hlm. 133.
[5] Mansour Fakih, Sesat Pikir: Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist, 2001) hlm. 45.
[6] Ibid., hlm. 48.
[7] Kristiadi Pudjosukanto, ‘Kebijaksanaan Alokasi Pembiayaan Daerah dan Otonomi Daerah’ dalam Birokrasi dan Administrasi Pembangunan (Jakarta: Pustka Sinar Harapan, 1992), hlm. 85.
[8] Asep Suryana “Menolak Instrumentasi Negara: Ruang Gerak Pesantren dalam Otonomi Daerah” dalam Antropologi Indonesia 65, 2001, hlm. 105.
[9] Ibid, hlm. 198.
[10] Wawancara dengan Muslih, Kasi Pekapontren Kandepag Kab. Ogan Ilir, tanggal 22 Mei 2007.
[11] Laporan Tahunan ke-4 Koperasi BMT Muamalat Pertiwi, tahun 2006, hlm. 9.
[12] Wawancara dengan Ade Izzudin, Ketua Koperasi BMT Muamalat Pertiwi, tahun 2007, pada tanggal 22 Mei 2007.
[13] Profile: Lembaga Pendidikan Islam Terpadu Al-Ittifaqiyah, tahun 2007.
[14] Selengkapnya baca Jose Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1991)., hlm. 59 – 244.
[15] Richard T. Gill, Ekonomi Pembangunan Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983) hlm. 45-46.
[16] Onny S Prijono, “Organisasi Non-Pemerintah (NGOs): Peran dan Pemberdayaannya” dalam Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi, (Jakarta: CSIS, 1996), hlm. 121.
[17] Pranarka, Pemberdayaan: Konsep Kebijakan dan Implementasi, (Jakarta: CSIS, 1996), hlm. 56-57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
Kota Kelahiranku Bangka Island,tepatnya di Kotaberingin, pekerjaanku pengajar di IAIN Raden Fatah Palembang

Ceria Bersama

Ceria Bersama
Puncak Island

Total Tayangan Halaman

Bersama Kita Bisa

Bersama Kita Bisa
Jarlitnas NTB

Kehidupan Gembira

Kehidupan Gembira
Bersama Tetap Ada

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini

Berapa kali anda mengunjungi Blog ini