SALAM SERIBU KATA

Praktisi, Pemikir Pendidikan, Peneliti dan Pemerhati Sosial, Mahasiswa, Siswa dan Para Orang Tua, Ini merupakan buah pikiran seorang yang dhoif ingin berbagi pendapat, oleh karena itu kreativitas, catatan berharga dan pemikiran cerdas kita akan diberi manfaat jika disebar luaskan pada khalayak... Semoga kita Sukses...

Minggu, 15 Maret 2009

PEMIKIRAN INS KAYUTANAM


MOEHAMMAD SJAFEI
(Pemikiran dan Praktik Pendidikan tentang Ruang
Pendidik INS Kayutanam)
Oleh : Muhammad Isnaini*

Pendahuluan
Mohammad Sjafei merupakan salah satu tokoh pendidikan yang hidup pada masa penjajahan kolonial Belanda. Ia mengabdikan hidupnya untuk menemukan formula pendidikan yang tepat untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan. Keprihatinannya melihat kondisi Indonesia yang terjajah telah mengilhami Mohammad Sjafei untuk mendirikan sekolah yang dapat membantu kemerdekaan Indonesia. Berbekal pendidikan yang diperolehnya di negeri Belanda dan didikan moral dari orang tua angkatnya, yaitu Marah Sutan dan Chalidjah, Mohammad Sjafei berhasil mendirikan sekolah di Kayutanam, Sumatera Barat.
Pemikiran pendidikan Mohammad Sjafei bermula dari pengamatannya terhadap pribadi masyarakat Indonesia yang malas dan elitis akibat dari pengaruh kolonialisasi. Untuk itu, Mohammad Sjafei beranggapan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, pendidikan adalah jalan yang tepat bagi bangsa Indonesia. Pendidikan watak yang berorientasi kepada keterampilan tangan dalam pemanfaatan kekayaan alam adalah kunci utama dalam pendidikannya.
Menurut Mohammad Sjafei, keterampilan tangan memiliki beberapa kebaikan, selain bersifat produktif, juga dapat memupuk watak yang baik dalam diri manusia. Berdasarkan keyakinannya itulah Mohammad Sjafei mendirikan sekolah yang khusus mendidik pribadi yang baik melalui pelajaran keterampilan tangan. Pendidikan yang diselenggarkannya tidak menjadikan manusia Indonesia jauh dari masyarakatnya, sebagaimana pendidikan kolonial. Pendidikan di INS Kayutanam mengedepankan community oriented project dan student-centered dalam sistem pengajarannya.
Perguruan ruang pendidik INS yang didirikan oleh Engku Moehammad Sjafei pada tanggal 31 Oktober 1926 (AA Navis: 1996: vii), 70 tahun yang lalu di kayutanam, sebuah desa kecil di sumatera barat, merupakan salah satu perguruan Nasional yang telah menjadi aset bangsa, yang b erdasarkan suatu ideologi yang strategis demi pembebasan bangsa dari ketergantungan akibat lama terjajah.
Sejak berdiri sampai perang kemerdekaan Indonesia, perguruan ini terlah berkibar namanya, bukan hanya berjiwa nasionalisme yang diembannya, juga para alumninya telah banyak memberi kontribusi bagi bangsa ini sesudah masa kemerdekaan. Oleh karena itu tidak jarang para ahli pendidikan sekarang yang banyak berkomentar tentang keberhasilan pendidikan model INS Kayutanam, diantara pengomtar itu adalah, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fasli Djalal mengemukakan, selama ini banyak pihak sibuk mencari perbandingan ke negara-negara lain untuk mencari ide-ide pendidikan. Padahal ada berbagai ide pendidikan monumental yang lahir dalam sejarah pendidikan nasional. Bahkan ide-ide pendidikan yang disampaikan oleh UNESCO sekalipun, ada yang merujuk pada gagasan pendidikan yang dikembangkan di Indonesia sejak 85 tahun silam. Menurut Fasli, Tamansiswa dan INS Kayutanam merupakan dua pilar pemikiran pendidikan di Indonesia yang bisa dikembangkan untuk menciptakan pendidikan yang bermutu dan kompetitif sekaligus berbasis pada kultur Indonesia. (Kompas, Kamis 24 Agustus 2006).
Ketua III Majelis Luhur Perguruan Tamansiswa Ki Supriyoko mengemukakan, pendidikan Tamansiswa tidak hanya mengagung-agungkan kecerdasan. Tamansiswa mengajarkan keseimbangan antara pengembangan pribadi dan kecerdasan. Pendidikan Tamansiswa tidak hanya bertujuan mengembangkan kecerdasan dan keterampilan, tetapi juga bertujuan membangun anak didik menjadi manusia yang beriman, berakal budi luhur, dan bertanggug jawab atas bangsa, tanah air, dan manusia pada umumnya. Gagasan pendidikan Tamansiswa saling mengisi dengan pemikiran pendidikan Muhammad Sjafei yang mendirikan INS Kayutanam.
Mantan Menteri Kesehatan Farid Anfasa Moeloek mengatakan, Muhammad Sjafei mengajarkan pendidikan merupakan alat untuk menjadi diri sendiri. Salah satu pepatah-petitih yang disampaikan Sjafei adalah ”jangan minta buah mangga kepada pohon rambutan, tetapi jadikanlah tiap pohon menghasilkan buah yang manis”. "Kalau jadi dokter jadilah dokter yang baik. Kalau jadi pedagang jadilah pedagang yang baik. Akan tetapi jangan dokter jadi pedagang,"(http://pakguruonline.pendidikan.net/sjh_pdd_sumbar_frameset.html). Pengamat pendidikan HAR Tilaar menambahkan, gagasan pendidikan Tamansiswa maupun INS Kayutanam memiliki unsur- unsur penting yang dikenal dalam ilmu pendidikan modern. INS Kayutanam tumbuh dalam konteks kebudayaan Indonesia-Minang. Ini sesuai pemikiran pendidikan modern yang selalu melihat pendidikan dalam konteks pendidikan. Pendidikan INS Kayutanam juga sangat kental dengan nasionalisme. Roh semacam ini, hilang dalam pendidikan Indonesia saat ini. Begitu juga komentar Bapak Winarno Surakhmad (Mantan Rektor IKIP Jakarta sekarang UNJ), mengatakan, bila gagasan pendidikan Tamansiswa dan Kayutanam hidup pada zaman Belanda, gagasan mereka justru mati dalam zaman republik. (Kompas, Kamis, 24 Agustus 2006 dan baca juga Berita Pendidikan, Edisi XXII Tahun ke V, September 2006, Hal. 7).

Mengenal Engku Moehammad Sjafei dari Dekat

Membicarakan seorang tokoh sekaliber Moehammad Sjafei, sungguh dirasakan perlu juga kita mengetahui seorang yang paling berjasa terhadap beliau, orang itu adalah Inyik Ibrahim Marah Sutan (Marah Sutan)[1] dan isterinya seorang yang buta huruf tetapi jiwa nasionalis dan patriotisnya sangat tinggi dan beliau mendapatkan gelar dari masyarakat adalah ”Laba-laba merentang jaring”, yaitu Andung Chalidjah. Kedua orang inilah yang mengangkat Moehammad Sjafei menjadi anak serta menyekolahkannya, sehingga berhasil memimpin Pendidik Ruang INS Kayutanam, yang sebelumnya sudah dirintis oleh Sutan Marah. (AA. Navis: 1996:4).
Sutan Marah yang menamatkan pendidikan Kweekschool, yang oleh rakyat dinamakan sekolah raja[2] yang didirikan di Bukittinggi. Setelah menamatkan pendidikan tahun 1890, beliau langsung menjadi guru pada sekolah rendah di Padang Sumatera Barat, dan kemudian menikah dengan gadis buta huruf dari Bengkulu yaitu Chalidjah. Dalam perjuangan mengajar, Sutan Marah selalu berpindah-pindah 5 tahun di Padang kemudian pindah ke Sukadana Lampung, 7 tahun kemudian pindah lagi ke Idi Aceh, dan 3 tahun kemudian pindah lagi ke Pontianak, serta masih banyak lagi daerah tempat pengambdian mengajarnya Sutan Marah. Setelah pensiun beliau menetap di Jakarta sampai akhir hayatnya pada tanggal 31 Agustus 1954 dan dikebumikan di pemakaman Tanah Abang Jakarta[3].
Ketika Sutan Marah bertugas di Pontianak, ia mengangkat anak yang bernama Moehammad Sjafei, seorang anak yatim yang ditinggalkan Ayahnya semasa kecil dan diasuh ibunya bernama Sjafiah, buta huruf yang pekerjaannya membuat kue untuk dijajakan Sjafei. Ibu Sjafei tidak dapat menentukan hari dan tanggal lahir anaknya, namun dapat diperkirakan tanggal 31 Oktober 1893. Dan menurut beberapa literatur Sjafei diangkat ditetapkan pada tanggal lahirnya itu juga.
Kemudian Sjafei disekolahkannya pada sekolah raja Bukittinggi, disini beliau mempunyai bakat seni yaitu belajar biola dan melukis, setelah 6 tahun di sekolah raja, beliau ditawari pemerintah untuk mengajar di HIS Padang, namun ia lebih memilih Kartini School di Jakarta dan masih banyak lagi aktivitas beliau di Jakarta, diantaranya beliau sering berdiskusi dengan dr. Sutomo, pemimpin Budi Oetomo serta dan ditawari pekerjaan menjadi redaktur dari Volkslectuur (kemudian bernama Balai Pustaka) namun beliau menolak. Kemudian dilanjutkannya oleh Bapak angkatnya Sutan Marah ke negeri Belanda pada tahun 1922. Ketika Sjafei di Belanda, ekonomi dunia dilanda krisis, yang di Indonesia terkenal dengan istilah ”malaise” atau oleh rakyat disebut ”zaman beras mahal”.[4]
Walau ekonomi krisis, selama di Belanda Sjafei menyempatkan diri mengunjungi hampis seluruh sentra industri dan sekolah kerajinan untuk keperluan studinya, untuk praktik pendidikan, dia dapat izin mengajar pada sekolah rendah Mookhoek, Rotterdam.(Majalah Sendi: 1953). Dan pada waktu senggang beliau sempat menulis banyak buku pelajaran membaca Arab dan Latin untuk sekolah rendah dan semua buku ini diterbitkan JB Worlter, Jakarta (AA. Navis:1996:20).
Disamping itu ia ikut aktif dalam organisasi pelajar yang didirikan oleh Mohammad Hatta yaitu ”Indonesisch Vereeniging” dan menjadi redaktur rubrik pendidikan pada organisasi itu. Kebiasaan lain yang diherankan oleh Moh. Hatta yang lebih dahulu sampai ke Belanda karena Sjafei tekun dengan kerajinan tangan, baginya pelajaran kerajinan tangan dan pendidikan kerajinan tangan ada bedanya. Pelajaran kerajinan tangan dapat diberikan melaui kursus atau pelatihan, yang fungsinya untuk keterampilan tenaga kerja, sedangkan pendidikan kerajinan tangan fungsinya untuk membangkitkan minat kerajinan dan kemauan bekerja. (AA. Navis: 1996:21).
Setelah sering berdiskusi, Hatta dan Sjafei menemukan pandangan yang sama bahwa Bangsa yang merdeka adalah Bangsa yang terdidik, bukan hanya oleh semangatnya saja, tetapi oleh kadar intelektual dan kemampuan menjadi bangsa yang mandiri di bidang ekonomi, dan ekonomi bangsa dapat tegak jika kita mempunyai industri. Oleh karena itu akhir dari perjuangan mereka di Belanda ini maka Mohammad Hata mendirikan partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Merdeka), dan Moehammad Sjafei mendirikan Ruang Pendidik ”Indonesisch Nederlandsche School” (INS) di Kayutanam[5].

INS dan Sejarahnya
Sejak pemerintah mendirikan sekolah rendah di Padang pada tahun 1926, guna memenuhi tenaga kerja dikantor pemerintah atau perusahaan Belanda, setiap “Tuanku Laras” seperti berlomba mendirikan sekolah dinagari tempat kedudukan masing-masing. Sampai akhir abad 19, sekolah rendah seperti itu mencapai lebih 106 jumlahnya. Pemerintah sendiri secara bertahap mendirikan sekolah, pada mulanya didirikanya sekolah rakyat 3 tahun dan didirikannya pula HIS disetiap tempat kedudukan kontrolir.
Karena keterbatasan jumlah sekolah, para pegawai di Bukittinggi mendirikan yayasan VSM untuk mendirikan HIS bersubsidi dari pemerintah. Sebelumnya di Padang, Diniyah Abdullah Ahmad oleh pengurus yayasan kemudian diubah menjadi “HIS Adabiyah” agar mendapat subsidi guru. Di Padang Panjaang dibentuk pula oleh masyarakat pegawai dan pedagang suatu organisasi yang bernama FKPP untuk mendirikan Schakael School semenjak tahun 30an itu bermunculan banyak sekolah rendah swasta berbahasa belanda yang tidak bersubsidi diberbagai kota dan satu sekolah menengah “iivorsa” di Bukittinggi. Kemudian sekoalh taman siswa di Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Batusangkar, bahkan disebuah desa dilereng merapi, sungaipuar. Muhammadiyahpun mendirikan sekolah yang sama dengan label “HIS Metde Quran”. Sekolah itu dimungkinkan berdiri karena banyak tamatan HIK dan AMS negeri atau swasta dijawa yang tidak mendapat lapangan kerja. Sebagaian dari sekolah itu berafiliasi dengan pergerakan nasional atau Islam, meski tidak bernaung dalam salah satu partai politik. Menjelang situasi dan kondisi itulah INS lahir didesa kecil Kayutanam pada tanggal 31 Oktober 1926 yang dipelopori oleh Marah Sutan dan Rahman. (AA. Navis:1996: 53). Dan Organisasi buruh kereta api yang bernama VBPSS yang berpusat di Padang merupakan pendukung awal dari kehadiran INS.
Setelah Sjafei kembali dari Belanda tahun 1925, Rahman mulai berkampanye untuk mendirikan sekolah itu dikalangan pengurus dan anggota organisasinya sejak awal tahun 1926. dukungan terhadap keberadaan sekolah itu juga diberikan oleh organisasi perantau Minangkabau ”Medan Perdamaian” di Jakarta, dimana Marah Sutan salah seorang penasehat dan Sjafei anggota kehormatan.
Pada tanggal 7 April 1926 Sjafei telah sampai di Padang dalam pertemuan dengan Rahman dirumuskan gambaran dari sekolah yang dicita-citakan itu. Misalnya, tentang jenjang pendidikan yang terbagi 2: Tingkat dasar dan Tingkat Atas. Untuk tingkat dasar, sekolah dapat didirikan dikota-kota penting disepanjang jalur jalan kerta api. Oleh karena disekolah yang langsung dipimpin Sjafei itu akan sulit menampung anak-anak yang baru mulai untuk diasramakan. Kemudian, setelah menamatkan kelas 3, barulah anak-anak itu melanjutkannya kejenjang sekolah yang berada di Kayutanam.
Lokasi sekolah di Kayutanam disepakati karena letaknya mudah didatangi oleh anak-anak dari Padang, Pariaman, Padang Panjang, dan Bukittinggi, yang akan dapat ditempuh sekitar 1 atau 2 jam dengan menggunakan kereta api. Ada kemungkinan atau kebetulan pilihan desa kayutanam menemui emosi mereka sendiri karena mereka berasal usul dari desa itu. Namun, menurut Sjafei, pilihan utama ialah karena orang Minangkabau yang perantau itu akan dapat menyebarkan ideologi INS kemana mereka pergi. Artinya, INS dapat didirikan di kota Sumatera Barat mana saja.
Keduanya sepakat bahwa sekolah yang mereka cita-citakan itu akan mendidik murid berwatak mandiri, berkemauan dan bekerja keras. Sekolah itu bersifat non diploma karena fungsi diploma pada umumnya bukan untuk menerangkan nilai pendidikan murid, melainkan untuk mendorong mereka mencari kerja dari kantor kekantor, seperti halnya dengan sekolah lain.
Pokok pikiran tentang non diploma itu, bahwa pada masa itu resesi ekonomi dunia sehabis perang duania pertama telah menyebabkan terjadi banyak pengangguran dikalangan terdirik karena dimana-mana banyak didirikan sekolah yang berorientasi pada diploma, tetapi lapangan kerja tidak bertambah, oleh karena itu, perlu ada sekolah alternatif yang tanpa diploma agar murid-murid didorong membuka usaha sendiri dan tidak akan menjadi calon penganggur.
Setelah dua tahun berdiri, timbullah perbedaan pendapat tentang status sekolah itu antara Marah Sutan dan Sjafei dengan Rahman. Menurut Rachman sekolah itu adalah milik VBPSS, dan boleh saja mencari upaya apa saja dan darimana pun untuk mendapatkan dana guna mengembangkan INS. Sedangkan menurut Sjafei dan Marah Sutan, INS adalah sekolah nasional yang independen, tidak berafiliasi dan ada campur tangan dari siapapun, dan harus mandiri. Suatu lembaga yang kehilangan independensi akan berisiko dengan hak campur tangan pihak lain secara ideologis visi dan program baik karena demi kepentingan politik maupun karena kebodohan semata-mata. Maka itu dalam ceramah Sjafei yang diundang oleh ki Hajar Dewantara pemimpin taman Siswa menyimpulkan bahwa ”sistem INS dinamakan ”Arbijdschool” sedangkan Taman Siswa dinamakan ”Zending School”. (Sjafei: 1992:46).
Pada hari Minggu, tanggal 31 Oktober 1926 Ruang Pendidik INS diresmikan, Sjafei dalam pidatonya mengemukakan bahwa nama sekolah yang baru didirikan itu adalah Ruang Pendidik ”Indonesisch Nederlandche School” (Ruang Pendidik INS). Pengertian ”Ruang” ini adalah suatu tempat yang luasnya tiada terbatas, sedangkan ”Pendidik” artinya belajar dan mengajar, bukan hanya terbatas adanya guru dan murid, tetapi belajar dari pengalaman dan kehadiran alam disekitarnya. Penggunaan bahasa belanda dalan kepanjangan INS adalah untuk menyatakan sekolah itu sama nilainya dengan sekolah Belanda. Penggunaan istilah ”Indonesisch” yang diletakkan didepan Nederlansche dimaksud untuk pernyataan bahwa INS adalah sekolah bangsa Indonesia yang mau maju dan statusnya tidak lebih rendah dari Belanda, mengenai penggunaan ”Nederlanche” itu sendiri untuk menyatakan bahwa sekolah INS menggunakan bahasa Belanda. (AA. Navis: 1996:60).
Setelah berbagai fasilitas seluas 5.500 m2 selesai dibangun berikut lapangan olah raga seperti sepak bola, atletik, tenis, kolam renang serta koperasi dan restoran, pada tanggal 31 Oktober 1941, INS diwakafkan kepada bangsa Indonesia dengan akta notaris Raden Kadiman di Padang. Dalam salah satu diktum yang tertera pada akta notarais itu, diterangkan bahwa apabila Sjafei meninggal kepemimpinan INS berada dibawah pengurus wakaf yang diketuai oleh Abubakar Djaar. Apabila Abubakar tidak mampu lagi pimpinan diserahkan kepada almuni INS, dan apabila alumni tidak mampu lagi pimpinan INS diserahkan kepada taman siswa, apabila taman siswa tidak sanggup maka INS diserahkan kepada bangsa Indonesia. (A A Navis:1996:62-63)
Ketika perang dunia kedua pecah, dan jepang menduduki Sumatra Barat hampir seluruh murid INS kembali ke kampungnya masing-masing, tetapi kondisi ini tidak berlangsung lama, kampus INS digunakan untuk tempat pemuda berlatih semi militer yang disebut Seinendan, tidak kurang dari 3600 pemuda sempat berlatih, oleh karena itu Sjafei mengubah program pendidikan menjadi sekolah guru untuk sekolah rakyat yang diberi nama ”Guru Revolusi Indonesia” (GRI) dan ini hanya berlangsung 2 tahun karena diserang Belanda, kampus dibumi hanguskan.
Sehabis perang kemerdekaan pemerintah tidak mempunyai kebijaksanaan untuk merehabilitasi INS yang telah menjadi korbaan perang, yang diberikan kepada Sjaafaei hanyaalah untuk memimpin SGB Negeri. Sekolah ini diresmikan 31 oktober 1952 dan pendidikan dimulai pada tahun 1953.
Setelah pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru pada tahun1976, Sjafei memulai lagi membangun INS dengan dukungan menteri P dan K, Dr Sarino Mangoenpranoto secara simbolis perguruan INS versi baru ini dibuka pada tanggal 31 oktober 1967. Kemudian pada tanggal 31 oktober 1968 INS merayakan hari jadi ke 42 tahun, hampir seluruh pejabat pemerintah hadir ketika itu.
Secara politis Sjafei tidak dapat menembus birokrasi untuk memperoleh bantuan tenaga guru dan dana, namun hubungan pribadinya dengan beberapa orang Belanda memberikan dukungan kemungkinan INS memperoleh dukungan dana dari NOVIB. Dalam proses melengkapi persyaratan administrasi inilah Sjafei meninggal pada tanggal 5 maret 1969 di Jakarta dalam usia 76 tahun dan meninggalkan seorang istri Johanna yang dinikahinya pada tanggal 31 oktober 1954 dan jenazahnya dibawa ke Kayutanam yang dikuburkan di sebelah makam ibu angkatnya Chalidjah dalam kampus INS.

Sistem Pendidikan INS Kayutanam
Ada tiga komponen utama, sistem pendidikan INS Kayutanam, yaitu tenaga ia bisa bekerja, otak ia bisa berpikir dan jiwa ia bisa merasa. Komponen ini akan membuat alam bergerak dalam sistem yang tetap secara dinamis yang dialektik seimbang, manusia sebagai substansi alam, dengan tenaga pikiran dan perasaannya tidak boleh tidak harus mengikuti sistem alam itu dan keluar dari sistem berarti lepas dari keseimbangan.
A. Falsafah
Falsafah pendidikan INS berangkat dari pemikitran filsafat alam sebagai ciptaan Tuhan yang maha esa, lebih dikenal dengan ”Alam takambang menjadi Guru”, yang ditarik dari penjabaran ayat al-quran yang turun pertama kali yaitu ”iqra’”.
B. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan yang diciptakan Sjafei ini adalah mendidik manusia supaya,menjadi manusia, serta mengantarkan anak kepada diri dan bakat yang dimiliki. Oleh karena itu orang lebih kenal dengan pendidikan INS Kayutanam sebagai ”sekolah ahli tukang”, maksudnya adalah lulusan sekolah ini setiap murid punya talenta unsur inovasi dan kemauan untuk berkarya. Seiring dengan ini Engku Moehammad Sjafei sering mengungkapkan pepatah kepada murid-muridnya adalah ”Jangan meminta buah mangga dari pohon rambutan tetapi pupuklah pohon mangga itu agar menghasilkan buah yang manis”. Prinsip tujuan dan pepatah inilah yang dipegang para alumni INS Kayutanam seperti Mochtar Lubis (Wartawan dan penulis), Bustanul Arifin (Mantan Menteri Koprasi), AA Navis(Seniman), Hasnan Habib dan Faried Anfasa Moeloek. (baca Republika, Jumat, 11 Mei 2007).
Melalui pergeseran dan perkembangan zaman dewasa ini bahkan sesudah zaman kemerdekaan, maka tujuan pendidikan INS merujuk pada UUD 1945, yaitu menyempurnakan kehidupan bangsa agar setara dengan bangsa-bangsa yang maju dibidang ilmu dan teknologi, sosial dan ekonomi serta seni dan budaya. Perangkat untuk menuju tujuan itu tidak lain menjadikan bangsa Indonesia agar memiliki otak yang cerdas, mental yang kuat dan budi pekerti luhur serta kemauan dan ketangkasan yang terampil dan etos kerja yang tinggi. (AA. Navis:1996:104-105).
Memungkinkan untuk pencapaian ini, karena indikator tujuan pendidikan INS dari dulu hingga sekarang seperti yang telah dijelaskan di atas yaiti menggali bakat murid, menjadi ahli tidak sekedar tukang, berotak cerdas (inovatif dan kreatif) dan etos kerja yang tinggi. Jika kita kaitkan dengan tujuan pendidikan nasional menurut UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 yang berbuyi ” Tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang; beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003). Yang penekanannya pada mementingkan potensi peserta didik serta cakap, kretif dan mandiri.
C. Program Pendidikan
Dalam konsep dan program pendidikan di sekolah umum yang diakui pemerintah, posisi pendidikan keterampilan, kerohanian dan kesiswaan dinamakan program ekstrakulikuler yang tidak wajib diadakan oleh setiap sekolah, tetapi dalam konsep pendidikan INS keempat kelompok program pendidikan itu sama nilai dan sama pentingnya, karena merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam pendidikan yang ada dalam diri siswa. Untuk keperluan formal program pendidikan akademik pada INS disesuaikan dengan program sekolah umum negeri, seperti SMP dan SMA.
Di antara pendukung program lain dalam pendidikan INS ini adalah, kurikulum ”plus”, asrama dan intensifikasi pendidikan. Kurikulum ”plus” yang berfungsi untuk mengembangkan sikap mental murid agar mampu mengemban kewajiban sebagai bangsa yang bernegara merdeka serta pemegang amanah Tuhan agar menjadi khalifah tul fil ardh.
Sebagai ilustrasi, komentar Sjafei terhadap pendidikan Indonesia semasa ia masih hidup adalah ”pendidikan di Indonesia sekarang pada umumnya tidak total, melainkan sepotong-sepotong, karena mengutamakan pendidikan otak yang bertujuan agar mampu masuk perguruan tinggi. Pendidikan mental, apalagi pendidikan untuk mengubah sikap mental bangsa sangat diabaikan, kalaupun ada kurikulum agama dan pancasila metodenya sangat verbalistik, watak dan perilaku beragama dan berpancasila setelah diberi pelajaran, tidak pernah dinilai”[6]
Lebih lanjut untuk untuk mencapai tujuan pendidikan perlu dibuat suatu lingkungan yang mendukung suasana pendidikan, supaya murid terlibat kedalam arus segala aktivitas dengan segala kegairahan. Dengan demikian, tanpa disadari mereka terbiasa bergerak terus menerus sampai merasakan adanya sesuatu yang hilang kalau tidak ada yang dikerjakan. Oleh karena itu program pendidikan INS memerlukan berbagai sarana, seperti ruangan untuk kecerdasan otak, bengkel terampilan untuk etos kerja, sanggar seni dan lapangan olah raga, serta asrama untuk pembinaan mental. (AA. Navis:1996:108).
Program kurikulum ”plus” seperti yang disinggung di atas, bagi pendidikan INS bukan sebagai pelajaran tambahan yang boleh ada dan boleh juga tidak. Posisinya sama pentingnya dengan kurikulum akademik. Materi dan jumlah jamnya jauh lebih banyak, akan tetapi materi kurikulumnya dapat diganti atau diubah sesuai dengan kondisi sekolah dan lingkungan karena fungsinya adalah sebagai alat bukan tujuan. Salah satu contoh pada umumnya disekolah lain murid belajar selama 5 jam sehari dan 6 hari dalam seminggu. Pada pendidikan INS murid telah mengikuti program sejak bangun tidur dipagi hari sampai masuk waktu tidur lagi malam hari. Bahkan pada hari Minggu atau hari besar pun mereka tetap dalam suasana belajar, yaitu belajar untuk mengembangkan pribadinya, dan belajar hidup sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu pendidikan INS pada bagian kurikulum non akademik sangat penting mempertimbangkan kondisi pisik dan kejenuhan.
Dan untuk mempertimbangkan itu maka program pendidikan ”plus” dibagi dalam 3 kelompok, yaitu program wajib, pilihan dan tambahan. Sebagai sekolah umum seluruh kurikulum akademik merupakan program wajib, sedangkan kurikulum plus seperti keterampilan, seni dan olah raga wajib diikuti sampai kelas dua, pada kelas tiga ada beberapa materi kurikulum yang diikuti murid sebagai pilihan. Misalnya seorang murid berbakat melukis tidak suka sepak bola, murid perlu diperkenalkan dengan peralatan teknologi komputer. Disamping itu murid perlu mengikuti pendidikan tambahan, umumnya diberikan pada kurikulum tertentu yang diutamakan adalah yang secara langsung berguna dalam praktik kehidupan sehari-hari setelah murid keluar dari sekolah, misalnya bahasa inggris, bahasa Indonesia, akunting sederhana dan pendidikan agama.
Program Asrama, merupakan sarana yang amat penting untuk melaksanakan program pendidikan yang bersifat total. Hasil penelitian pada pendidikan INS menyetakan bahwa ”sekolah yang berasrama dengan yang tidak berasrama sangat berbeda dari sikap mental, sebagaimana contoh dapat diteladani hasil pendidikan sekolah guru atau madrasah yang berasrama dengan tidak. Murid yang tinggal di asrama rata-rata jauh lebih berhasil sebagai panutan dan teladan dalam hidupnya setamat sekolah. Sejalan dengan sistem dan program dalam kampus murid doberikan kesibukan yang terus menerus yang pada pokoknya belajar, bekerja dan berkreasi sejak bangun subuh sampai tidur malam, dengan demikian murid ”tidak senang diam”mereka selalu berpikir, berbuat dan berinisiatif.
Metide yang dipakai pada asrama ini menurut pendidikan INS adalah lebih mementingkan kesadaran sendiri, tahap disiplin yang akan dicapai, selain berkebiasaan yang positif dalam diri murid agar tumbuh sikap dan prilaku sebagaimana yang dilakukan orang yang taat beragama. Metode lain yang digunakan adalah murid dikelompokkan kejumlah 5-7 orang dan diberi tugas keasramaan dalam semangat kolegalitas. Secara bergiliran masing-masing menjadi pimpinan, metode ini mempunyai tujuan agar murid belajar menjadi pemimpin dan sekaligus belajar menjadi anggota yang baik.
Intensifikasi Pendidikan, maksudnya adalah pada waktu di kelas tiga, murid diberi pendidikan intensif menurut pilihan masing-masing, yang akan melanjutkan ke perguruan Tinggi diberi tambahan pendidikan pada kurikulum akademik tertentu, sedang murid yang akan memasuki masyarakat diberi tambahan pendidikan intensif pada kurikulum kejuruan yang akan dikuasai murid, baik itu bengkel kerja maupun sanggar seni serta hal lain yang menurut minatnya.
D. Fungsi Kurikulum
Pendidikan INS mengelompokkan kurikulum menjadi empat bidang, yaitu bidang akademik, keterampilan, kerihanian dan kesiswaan. Bidang akademik terdiri dari ilmu-ilmu eksakta, sosial dan bahasa sesuai dengan program pendidikan di sekolah negeri, yang berfungsi untuk mengembangkan kecerdasan otak murid yang berada pada tiap-tiap materi pelajaran, misalnya materi kurikulum eksakta seperti matematika, fisika, kimia dan lain sebagainya.
Bidang keterampilan terdiri dari kerajinan tangan pada bengkel kerja atau lapangan, yang fungsinya tidak sama dengan sekolah kejuruan tetapi lebih mengutamakan keahlian dan kemahiran mengerjakan materi kurikulum yang dipelajari, tetapi juga tidak sama dengan pendidikan di sekolah umum, tetapi menurut INS adalah untuk mendidik murid agar memiliki etos kerja disatu sisi, atau dalah istilah lain menumbuhkan sikap ”tidak senang diam” selalu saja ingin berbuat atau memikirkan sesuatu yang berfaedah, yang menghasilkan sifat aktif dan kreatif.
Bidang kerohanian terdiri dari pendidikan kesenian, olahraga dan agama, yang berfungsi untuk membentuk sikap mental murid dari poada keahlian seperti yang diajarkan pada sekolah kejuruan. Sebagai tambahan dari kurikulum ini adalah seni rupa, seni sastra, seni musik dan seni drama.
Bidang kesiswaan terdiri dari pengorganisasian kegiatan kemasyarakatan di dalam dan di luar kampus sekolah, yang berfungsi untuk mendidik dan sekaligus melatih murid untuk hidup bermasyarakat baik pribadi maupun fungsional.
Menurut Sjafei, setiap kurikulum pendidikan umum bukan bertujuan agar murid menjadi ahli dibidang studi yang dipelajarinya. Pendidikan menjadi ahli adalah pada sekolah kejuruan, baik pada tingkat mengengah maupun tinggi. Demikian pula halnya pendidikan ilmu pengetahuan pada kurikulum akademik, bukan untuk mengenal atau menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan, melainkan fungsinya sebagai alat untuk mengembangkan kecerdasan otak murid.
E. Ganjaran
Kebiasaan sekolah manapun di Indonesia ini pastilah memiliki 2 macam ganjaran, yaitu jenis ganjaran atas prestasi yang umumnya berupa nilai raport sekolah, dan jenis ganjaran atas kesalahan ditentukan oleh guru ataupun kepala sekolah.
Ganjaran atas Prestasi, menurut konsep INS sebagaimana yang dilaksanakan oleh Sjafei pada masa lalu, sekolah tidak menyediakan raport sekolah karena tidak mudah mengukur prestasi murid yang berbeda-beda kemampuannya. Ada murid yang pinter dalam pelajaran akademik, tetapi kurang pada pelajaran lain. Ada murid yang datang hanya untuk belajar satu dua kurikulum saja dan sama sekali tidak belajar akademik atau ada murid yang datang karena pindahan. Tetapi penggantian raport itu diberikan surat keterangan menurut bidang kurikulum yang dilaksanakan murid, tetapi pada masa sesudah Sjafei, karena fasilitas telah mencukupi semua maka baru diadakan raport sebagai indikator keberhasilan, karena jika tidak melakukan itu INS dituding sebagai sekolah liar. Untuk standar evaluasi terhadap pelajaran murid dilaksanakan evaluasi yang terus menerus yang tidak hanya kurikulum akademik, melainkan 3 komponen lainnya diberikan peilaian juga.
Ganjaran atas kesalahan murid berasal pada pertimbangan dari tiga sebab kesalahan, yaitu karena ketidaktahuan, kenakalan, dan kejahatan. Karena INS bukan semacam sekolah rehabilitasi anak nakal, murid yang melakukan kejahatan yang menjurus pada tindak kriminalakan langsung dikeluarkan dari sekolah. INS tidak mempunyai program khusus untuk memperbaiki mental murid yang jahat. Menurut mereka kejahatan satu-dua murid dapat merusak tatanan kehidupan kampus seperti virus yang menggerogoti tubuh manusia secara cepat. Dan INS sangat menghindari ganjaran fisik murid (AA. Navis: 1996: 137).
F. Peranan Guru
Peranan guru yang dimaksud dalam sistem pendidikan INS disini adalah semua tenaga-tenaga yang karena tugasnya akan berhadapan langsung dengan murid, termasuk didalamnya para pembina asrama. Betapapun idealnya suatu sistem pendidikan, pada akhirnya kemampuan para gurulah yang paling menentukan. Guru yang hanya mengajar jika ada jam serta berwatak hanya untuk mncari uang saja dengan tidak melihat kemampuan ilmunya, kata Sjafei tidak cocok mengajar di INS.
Guru akan selalu berhadapan dengan murid serta lingkungan sosial, secara penuh dan terus menerus guru akan diteladani dan dinilai oleh mereka yang dihadapinya, baik pada buah pikiran dan pandangan hidupnya, maupun pada budi pekerti, oleh karena itu guru yang dinilai ideal pada peringkat pertama menurut INS adalah :
1. Memiliki wawasan nasional yang strategis bagi bangsa Indonesia,
2. Memiliki kepedulian sosial yang sesuai dengan naluri kemanusiaan,
3. Memiliki dedikasi pada profesinyasebgai guru dalam kegiatan dan prilaku yang sesuai dengan tujuan INS dalam membangun manuais Indonesia,
4. Memiliki daya kritis yang rasional dan sikap aktif-kreatif,
5. Memiliki etos kerja yang berfaedah bagi masyarakat, murid dan lingkungan maupun bagi dirinya sendiri.

Dan guru yang dinilai ideal pada peringkat kedua menurut pendidikan INS Kayutanam adalah :
1. Memiliki sikap kolegial yang koperatif dengan lingkungan dan sesama guru,
2. Memiliki sikap displin secara konsisten dalam melaksanakan peraturan dan kesepakatan bersama,
3. Memiliki rasa kepemilikan bersama yang positif terhadap ruang pendidik INS,
4. Memiliki kemampuan membina dirinya sendiri agar sesuai dengan sasaran program pendidikan yang diberikan kepada murid,
5. Memiliki kejujuran dan keikhlasan.

Peran guru yang lain yang disampaikan Sjafei adalah dalam mengajar, guru jangan sampai mendominasi murid sehingga murid harus menerima apa saja kata guru. Murid harus mengembangkan dirinya dalam pikir dan bekerja. Oleh karena itu kunci dari sistem INS ini adalah ”sebagai program terpadu, kenaikan kelas pada murid tidak tergantung kepada nilai akademiknya semata, karena INS merupakan sekolah yang terdiri dari tingkat SMP dan SMA dengan pendidikan tambahan, yang lazim disebut ’plus”, yang terdiri dari pendidikan keterampilan, kerohanian dan kesiswaan yang berasrama.

Posisi Sjafei dalam Dekonstruksi Masyarakat Lewat Pendidikan
Keberadaan INS Kayutanam sekarang mungkin tidak sebesar sejarah dan jasanya akan kemerdekaan Indonesia dan pembangunan karakteristik masyarakat. M Sjafei nama itulah tokoh sentral dibalik transformasi sosial besar dan dialektika masyarakat Minangkabau dalam memecahkan tantangan zamannya dan mengisi pembangunan resourches manusia-nya. INS Kayutanam hadir pada posisi kritik fundamental terhadap masyarakat Indonesia umumnya dan Minangkabau khususnya. Posisi kritik yang berseberangan dengan karakter pendidikan umum yang menghamba sebagai juru ketik atau posisi birokrasi baik di zaman kolonial ataupun kondisi transisi pasca kemerdekaan bahkan sampai sekarang tentang orientasi primitif dari kaum terpelajar Indonesia yang sesat.
M. Sjafei hadir dalam Tiga Dimensi pendidikan yang komprehensif dalam membangun manusia Indonesia yang progresif dan tangguh. Dimensi spiritual dan seni dalam basis kepercayaan, emosional dan daya imaji manusia yang kreatif dimensi akal budi sebagai cerminan kekuatan pikiran manusia dalam memecahkan persoalan hidup dan ilmu pengetahuan akademik serta dimensi keterampilan produktif atau teknik dalam menciptakan manusia yang aktif berkarya dan berproduksi sesuai dengan alam-nya. Pada posisi inilah INS Kayutanam hadir sebagai bangunan utuh dari pendidikan yang paripurna dalam menjalankan 3 sekolah umum dalam satu ruang pendidik asrama seperti tradisi pesantren, sekolah umum dan sekolah teknik.

Penutup
INS Kayutanam dalam praktiknya mencoba menjungkirbalikkan tradisi produksi masyarakat dunia ketiga yang terbelakang dan tertinggal dalam posisi ilmu pengetahuan serta teknologi. Dekonstruksi masyarakat yang tidak produktif menjadi produktif inilah yang ingin dicapai oleh Sjafei sebagai pendidik yang banyak mempelajari Eropa dalam pembangunan masyarakatnya.
Posisi teori dan praktik INS Kayutanam setidak-tidaknya Sjafei telah membuktikan bahwa kemunduran industri nasional dan industri Sumatera Barat hancur luluh lantah diserbu oleh Neo-liberalisme. “Berproduksi di setiap rumah tangga, jangan hanya bisa berkonsumsi karena kalau konsumsi lebih tinggi dari produksi maka yang ada hanyalah hutang dan korupsi” pelajaran yang paling berharga dari Sjafei telah melanda masyarakat Indonesia umumnya dan Minangkabau khususnya.
Sekolah model INS Kayutanam perlu diperbanyak seantero Negeri ini, otak cerdas, mental dengan tangan aktif berkreasi perlu ditempa pada sekolah umum. Tidak seperti sekarang yang menjadikan peserta didik lulusan yang siap masuk Perguruan Tinggi dan menjadikan tukang-tukang hafal isi buku untuk menjawab ujian tertulis.
* Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang, sekarang tengah menuliskan Desertasi Prodi Teknologi Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
[1] Marah Sutan merupakan gelar umum yang diberikanpada orang yangsudah menikah di Minangkabau, dan menjadi pengganti panggilan oleh masyarakat. Kata Marah berasal dari bahasa aceh meurah, raja kecil dan sering dipakai oleh para bangsawan Padang pada abad 18
[2] Sekolah ini telah berdiri oleh Belanda pada tahun 1856, diperuntukkan bagi pendidikan guru dan pegawai pribumi
[3] Di Jakarta banyak sekali disebutkan para sejarawan tentang aktivitas Sutan Marah, ide pundamentalis yang ditinggalkannya adalah beliau pernah mengumpulkan 3 tokoh penting Kemerdekaan yang mendirikan partai National Indische Partij, yaitu Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaninggrat (Ki Hajar Dewantara), beliau meyakinkan bahwa pentingnya pendidikan nasionalbagi menyiapkan bangsa untuk menyambut kemerdekaan. Kemudian Douwes Dekker mendirikan Instituut tahun 1914 di Bandung, dan Ki Hajar Dewantara melanjutkan pendidikan keguruan di Belanda dan setelah pulang mendirikan Taman Siswa tahun 1922 di Yogjakarta.
[4] Ini kisah yang sangat menyedihkan bagi Sjafei di Belanda dan Bapak Angkatnya di Jakarta, keluhannya yang terkenaldalam suratnya pada anak angkatnya Ismail di Salatiga karena memikirkan Sjafei di Belanda, adalah “…Boleh dikatakan sekarang bapaknda makan nasi dengan garam saja. Sesungguhnya dengan pensiun 95,58 gulden cukup untuk hidup Bapaknda dan Bundaanda Chalidjah. Sedangkan keperluan Bapaknda tidak lagi, kecuali makan sekedatnya. Tapi rupanya Bapaknda dilahirkan untuk menolong manusia. Uang pensiun habis tiap bulan untuk keperluan itu saja. Niat untuk membeli sandal seharga 2 gulden tinggal niat saja. Bapaknda berjalan kemana saja tidak beralas kaki….”. (Baca Baihaqi: 2007: 131).
[5] Setelah lembaga ini banyak mengeluarkan alumni dan setelah merdeka, maka Sjafei menyindir murid-muridnya yang telah berhasil”Bagus kamu dapat ilmu, Cina yang punya ekonomi. Kamu tau kenapa bisa begitu, karena Cina itu mau bekerja keras”, kemudian beliau mengatakan lagi “begitulah kalau pendidikan di Indonesia berfungsi hanya memberi ilmu, tidak mengembangkan akalmanusia untuk mengolah ilmu itu”.
[6] Jiwa nasionalisme Sjafei sebetulnya tidak dikhawatirkan lagi karena beliaulah yang membacakan teks proklamasi untuk Sumatera setelah Sukarno Hatta pada tanggal 29 Agustus 1945 di Bukittinggi.(baca AA. Navis: 1996: 39).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
Kota Kelahiranku Bangka Island,tepatnya di Kotaberingin, pekerjaanku pengajar di IAIN Raden Fatah Palembang

Ceria Bersama

Ceria Bersama
Puncak Island

Total Tayangan Halaman

0

Bersama Kita Bisa

Bersama Kita Bisa
Jarlitnas NTB

Kehidupan Gembira

Kehidupan Gembira
Bersama Tetap Ada

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini

Berapa kali anda mengunjungi Blog ini