Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan
kualitas suatu bangsa, karenannya kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari
kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia ini tidak
terlepas dari kemajuan yang di mulai
dari pendidikannya, pernyataan tersebut juga diyakini oleh bangsa ini. Namun
pada kenyataannya, sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan
yang diharapkan.
Pendidikan di Indonesia masih belum berhasil menciptakan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal apalagi sampai taraf meningkatkan kualitas
bangsa. Krisis multidimensi yang dialami bangsa ini diyakini banyak kalangan
akibat gagalnya sistem pendidikan yang digunakan,[1]
juga merosotnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Deveopment Index
(HDI) Indonesia tidak terlepas dari rendahnya kualitas pendidikan di negeri
kita ini.
Data UNDP tahun 2000 tentang Human Development Report atau Human
Development Indeks menunjukkan dari 174 negara, Indonesia pada posisi yang kurang menguntungkan bahkan
memprihatinkan. Kita berada pada posisi ke-109, hanya 1 (satu) tingkat di atas
Vietnam.[2]
Sementara Malaysia pada posisi ke-56, Brunai di posisi ke-25 dan Singapura
berada diperingkat ke-22. pendeknya semua negara ASEAN berada pada kisaran
angka ke-100. Kecuali negara kita tercinta, bahkan Jepang satu-satunya negara
ASEAN yang mampu bertengger di atas, yakni pada posisi ke-4.[3]
Sedangkan pada tahun 2003 IPM Indonesia merusut lagi dari
0,684 menjadi 0,0682; hal ini menyebabkan peringkat Indonesia di antara 175
negara juga merosot; dari posisi ke-109 menjadi posisi ke-112.[4]
Tingkat partisipasi pendidikan yang rendah, angka drop-out yang tinggi, angka melanjutkan
yang terbatas, prestasi belajar siswa yang rendah dan sebagainya, merupakan
indikator gagalnya pendidikan nasional kita. [5]
Dan selanjutnya tulisan ini, secara singkat akan mencoba
memberikan gambaran yang sederhana tentang arti penting pendidikan sebagai
barometer meningkatnya kualitas bangsa.
Berbicara kemampuan sebagai bangsa, tampaknya kita belum siap
benar menghadapi persaingan pada milenium ke tiga. Tenaga ahli kita belum cukup
memadai untuk bersaing ditingkat global. Di lihat dari latar belakang
pendidikan, angkatan kerja kita sungguh sangat memprihatinkan. Sebagian besar
angkatan kerja kita tidak berpendidikan dan ini mencapai porsentasi 53%, mereka
yang berpendidikan dasar sebanyak 34%, berpendidikan menengah pertama 11%, dan
yang berpendidikan tinggi (universitas) hanya 2%.[6]
Bidang pendidikan memang menjadi tumpuan harapan bagi
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Meskipun demikian
pendidikan kita masih banyak melahirkan mismatch yang luar biasa dengan tuntutan dunia kerja dan
integritas suatu bangsa; anak didik kita ketika keluar dan atau menyelesaikan
program pendidikan, seolah berada di ruang yang tidak tersentuh oleh realitas
kehidupan yang mereka pelajari di sekolah-sekolah, mereka merasa asing dengan
lingkungan sekitar mereka.
Pelajaran yang mereka pelajari sewaktu masih di bangku
sekolah seolah asing dan tidak sejalan dengan alur kehidupan realitas
keseharian mereka;[7]
mereka terasing dengan kehidupan realitas yang sangat kontras dengan pelajaran
yang atau tidak pernah mereka pelajari di sekolah-sekolah. Dengan rasa
keterasingan ini, akhirnya mereka mencoba mencari sesuatu akifitas yang dapat
membantu mereka keluar dari rasa itu; dan akhirnya: pergaulan bebas,
penyalahgunaan obat-obatan terlarang (NAZA) menghiasi aktifitas keseharian
mereka.[8]
Kondisi pendidikan kita yang masih banyak melahirkan mismatch
dengan tuntutan dunia kerja, juga berdampak kepada daya saing kita secara
global amat rendah. Sebagai contoh, secara kuantitatif: data pengangguran
sarjana berikut ini menggambarkan betapa gawatnya mismatch yang terjadi
disektor pendidikan tinggi kita.
Tabel I, Persentase
Penganguran Berdasarkan Bidang pendidikan
No
|
Bidang Pendidikan
|
Tingkat Penganguran
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
|
Pendidikan
Seni
Ekonomi
Psikologi
Hukum
Matematika
Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu Kedokteran
Teknik
Pertanian
|
10,97%
18,90%
16,31%
3,23%
14,99%
11,80%
10,01%
3,62%
7,64%
18,16%
|
Sumber: Ceramah Dirjen Dikti pada Rakernas
Pascasarjana di Bandung, 27 Juni 1997
Rendahnya kualitas SDM kita juga dapat dilihat dengan
perbandingan tenaga ahli bergelas doktor (S3) untuk setiap juta penduduk
terhadap negara lain. Data mengenai itu dapat di lihat berikut:
Tabel II, Jumlah Doktor dari tiap juta penduduk di beberapa negara
No
|
Negara
|
Jumlah Doktor
|
1
2
3
4
5
6
7
8
|
Amerika Serikat
Jepang
Jerman
Prancis
India
Mesir
Israel
Indonesia
|
6.500
6.500
4.000
5.000
1.250
400
16.500
65
|
Sumber:
Ceramah Dirjen Dikti pada Rakernas Pascasarjana di Bandung, 27 Juni 1997
Sementara itu, selain rendahnya Indek Prestasi Manusia (IPM)
Indonesia, seperti yag digambarkan di atas. Pada
waktu hampir bersamaan, lembaga ekonomi yang bermarkas di Swiss, World Economic
Forum (WEF), menerbitkan publikasinya mengenai kemampuan berkompetisi suatu
negara. Dalam laporannya berjudul Global
Competitiveness Report 1999 nama Indonesia berada pada urutan 37 dari 59
negara.[9]
Kedua publikasi itu secara tidak langsung
mencerminkan rendahnya kinerja pendidikan nasional kita. Logikanya sederhana
saja: kurang berhasilnya pembangunan pendidikan, kesehatan, dan kependudukan di
Indonesia berhubungan secara timbal balik dengan kurang berhasilnya kita
membangun SDM. Selanjutnya hal ini mengakibatkan rendahnya daya kompetisi kita
dalam mengarungi persaingan di era global.
Rendahnya kinerja pendidikan nasional kita juga
ditunjukkan AsiaWeek (30 Juni 2000)
lalu mengenai perguruan tinggi terbaik di Asia (dan Australia). Dari 39
perguruan tinggi terbaik di bidang iptek (science
and technology university) Indonesia hanya berhasil memasukkan satu nama,
ITB Bandung, itu pun di urutan ke-21. Sementara itu dari 77 perguruan tinggi
terbaik kategori multi bidang (multi-disciplinary
university), Indonesia hanya berhasil memajang empat nama; itu pun di
urutan bontot, yaitu UI Jakarta
urutan ke-61, UGM Yogyakarta ke-68, Undip Semarang ke-73, Unair Surabaya ke-75.[10]
Bila dibandingkan dengan Malaysia, kita pantas
merasa prihatin karena tiga perguruan tinggi jiran yang masuk peringkat
seluruhnya di atas kita. University of Malaya urutan ke-47, Universiti Putra
Malaysia (UPM) urutan ke-52, dan Universiti Sains Malaysia (USM) urutan ke-57.
Mengenai hal ini kita pantas malu karena dalam sejarahnya banyak putra-putra
Indonesia yang dulu membantu mengembangkan perguruan tinggi di Malaysia itu,
namun kini kereta api mutu kita telah ditinggal jauh di belakang.[11]
Mengapa semua itu terjadi? Karena sektor
pendidikan tidak pernah diberi alokasi dana yang cukup guna mengembangkan
dirinya. Dalam kurun waktu tiga atau empat tahun terakhir ini pemerintah hanya
mengalokasi dana pendidikan sekitar 1,4 persen dari GNP. Angka ini terlalu
rendah karena rata-rata untuk negara berkembang sudah 3,8 persen dan untuk
negara maju 5,1 persen.[12]
[1] Ali Maksum, Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal
di Era Modern dan Post-Modern, Mencari Visi Baru Atas Realitas Pendidikan Kita,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2000), Hlm. 227
[2] Sumber UNDP, Dalam Ali Khomsan IPB, Kompas, 29 September 2000
[3] Kalis Purwanto, Pengembangan Pola Belajar Mandiri dalam Rangka
Menyambut Era Otonomi, Makalah disampaikan dalam Seminar Kedaerahan,
Membangun Sistem Pendidikan Lokal Kal-Sel yang Tangguh dan Kompetitif dalam
Rangka Menyambut Otonomi Daerah, (Yogyakarta, Balaikunti Wanitatama, 07 Oktober
2000)
[4] Ali Maksum, Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma….., Hlm. 228
[5] Ki Supriyoko, Kompas, 21 Agustus 2000
[6] Suyanto, Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di
Indonesia Memasuki Milenium III, (Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa, 2000), Hlm. 3
[7] Djohar, Analisi Kebijakan Pendidikan Islam, Bahan Kuliah
Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2004
[8] Untuk Penyalahgunaan Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif (NAZA) di
kalangan remaja dapat dilihat dalam "Remaja dan Permasalahannya";
Dadang Hawari, Al-Qur'an; Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,
(Edisi Revisi), (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), Hlm. 2234-247.
[9] Ki Supriyoko, Kompas, 21 Agustus 2000
[10] UIN Yogyakarta kapan ya?
[11] Ki Supriyoko, Kompas, 21 Agustus 2000
[12] Ki Supriyoko, Kompas, 21 Agustus 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar