SALAM SERIBU KATA

Praktisi, Pemikir Pendidikan, Peneliti dan Pemerhati Sosial, Mahasiswa, Siswa dan Para Orang Tua, Ini merupakan buah pikiran seorang yang dhoif ingin berbagi pendapat, oleh karena itu kreativitas, catatan berharga dan pemikiran cerdas kita akan diberi manfaat jika disebar luaskan pada khalayak... Semoga kita Sukses...

Sabtu, 14 Juli 2012

ADA APA DENGAN KUALITAS PENDIDIKAN KITA

Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa, karenannya kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia ini tidak terlepas  dari kemajuan yang di mulai dari pendidikannya, pernyataan tersebut juga diyakini oleh bangsa ini. Namun pada kenyataannya, sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan.
Pendidikan di Indonesia masih belum berhasil menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal apalagi sampai taraf meningkatkan kualitas bangsa. Krisis multidimensi yang dialami bangsa ini diyakini banyak kalangan akibat gagalnya sistem pendidikan yang digunakan,[1] juga merosotnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Deveopment Index (HDI) Indonesia tidak terlepas dari rendahnya kualitas pendidikan di negeri kita ini.
Data UNDP tahun 2000 tentang Human Development Report atau Human Development Indeks menunjukkan dari 174 negara, Indonesia pada posisi  yang kurang menguntungkan bahkan memprihatinkan. Kita berada pada posisi ke-109, hanya 1 (satu) tingkat di atas Vietnam.[2] Sementara Malaysia pada posisi ke-56, Brunai di posisi ke-25 dan Singapura berada diperingkat ke-22. pendeknya semua negara ASEAN berada pada kisaran angka ke-100. Kecuali negara kita tercinta, bahkan Jepang satu-satunya negara ASEAN yang mampu bertengger di atas, yakni pada posisi ke-4.[3]
Sedangkan pada tahun 2003 IPM Indonesia merusut lagi dari 0,684 menjadi 0,0682; hal ini menyebabkan peringkat Indonesia di antara 175 negara juga merosot; dari posisi ke-109 menjadi posisi ke-112.[4] Tingkat partisipasi pendidikan yang rendah, angka drop-out yang tinggi, angka melanjutkan yang terbatas, prestasi belajar siswa yang rendah dan sebagainya, merupakan indikator gagalnya pendidikan nasional kita. [5]
Dan selanjutnya tulisan ini, secara singkat akan mencoba memberikan gambaran yang sederhana tentang arti penting pendidikan sebagai barometer meningkatnya kualitas bangsa.

Berbicara kemampuan sebagai bangsa, tampaknya kita belum siap benar menghadapi persaingan pada milenium ke tiga. Tenaga ahli kita belum cukup memadai untuk bersaing ditingkat global. Di lihat dari latar belakang pendidikan, angkatan kerja kita sungguh sangat memprihatinkan. Sebagian besar angkatan kerja kita tidak berpendidikan dan ini mencapai porsentasi 53%, mereka yang berpendidikan dasar sebanyak 34%, berpendidikan menengah pertama 11%, dan yang berpendidikan tinggi (universitas) hanya 2%.[6]
Bidang pendidikan memang menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Meskipun demikian pendidikan kita masih banyak melahirkan mismatch yang luar  biasa dengan tuntutan dunia kerja dan integritas suatu bangsa; anak didik kita ketika keluar dan atau menyelesaikan program pendidikan, seolah berada di ruang yang tidak tersentuh oleh realitas kehidupan yang mereka pelajari di sekolah-sekolah, mereka merasa asing dengan lingkungan sekitar mereka.
Pelajaran yang mereka pelajari sewaktu masih di bangku sekolah seolah asing dan tidak sejalan dengan alur kehidupan realitas keseharian mereka;[7] mereka terasing dengan kehidupan realitas yang sangat kontras dengan pelajaran yang atau tidak pernah mereka pelajari di sekolah-sekolah. Dengan rasa keterasingan ini, akhirnya mereka mencoba mencari sesuatu akifitas yang dapat membantu mereka keluar dari rasa itu; dan akhirnya: pergaulan bebas, penyalahgunaan obat-obatan terlarang (NAZA) menghiasi aktifitas keseharian mereka.[8]
Kondisi pendidikan kita yang masih banyak melahirkan mismatch dengan tuntutan dunia kerja, juga berdampak kepada daya saing kita secara global amat rendah. Sebagai contoh, secara kuantitatif: data pengangguran sarjana berikut ini menggambarkan betapa gawatnya mismatch yang terjadi disektor pendidikan tinggi kita.
Tabel  I, Persentase Penganguran Berdasarkan Bidang pendidikan
No
Bidang Pendidikan
Tingkat Penganguran
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pendidikan
Seni
Ekonomi
Psikologi
Hukum
Matematika
Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu Kedokteran
Teknik
Pertanian
10,97%
18,90%
16,31%
3,23%
14,99%
11,80%
10,01%
3,62%
7,64%
18,16%
Sumber: Ceramah Dirjen Dikti pada Rakernas Pascasarjana di Bandung, 27 Juni 1997

Rendahnya kualitas SDM kita juga dapat dilihat dengan perbandingan tenaga ahli bergelas doktor (S3) untuk setiap juta penduduk terhadap negara lain. Data mengenai itu dapat di lihat berikut:
Tabel II, Jumlah Doktor dari tiap  juta penduduk di beberapa negara
No
Negara
Jumlah Doktor
1
2
3
4
5
6
7
8
Amerika Serikat
Jepang
Jerman
Prancis
India
Mesir
Israel
Indonesia
6.500
6.500
4.000
5.000
1.250
400
16.500
65
Sumber: Ceramah Dirjen Dikti pada Rakernas Pascasarjana di Bandung, 27 Juni 1997

Sementara itu, selain rendahnya Indek Prestasi Manusia (IPM) Indonesia, seperti yag digambarkan di atas. Pada waktu hampir bersamaan, lembaga ekonomi yang bermarkas di Swiss, World Economic Forum (WEF), menerbitkan publikasinya mengenai kemampuan berkompetisi suatu negara. Dalam laporannya berjudul Global Competitiveness Report 1999 nama Indonesia berada pada urutan 37 dari 59 negara.[9]
Kedua publikasi itu secara tidak langsung mencerminkan rendahnya kinerja pendidikan nasional kita. Logikanya sederhana saja: kurang berhasilnya pembangunan pendidikan, kesehatan, dan kependudukan di Indonesia berhubungan secara timbal balik dengan kurang berhasilnya kita membangun SDM. Selanjutnya hal ini mengakibatkan rendahnya daya kompetisi kita dalam mengarungi persaingan di era global.
Rendahnya kinerja pendidikan nasional kita juga ditunjukkan AsiaWeek (30 Juni 2000) lalu mengenai perguruan tinggi terbaik di Asia (dan Australia). Dari 39 perguruan tinggi terbaik di bidang iptek (science and technology university) Indonesia hanya berhasil memasukkan satu nama, ITB Bandung, itu pun di urutan ke-21. Sementara itu dari 77 perguruan tinggi terbaik kategori multi bidang (multi-disciplinary university), Indonesia hanya berhasil memajang empat nama; itu pun di urutan bontot, yaitu UI Jakarta urutan ke-61, UGM Yogyakarta ke-68, Undip Semarang ke-73, Unair Surabaya ke-75.[10]
Bila dibandingkan dengan Malaysia, kita pantas merasa prihatin karena tiga perguruan tinggi jiran yang masuk peringkat seluruhnya di atas kita. University of Malaya urutan ke-47, Universiti Putra Malaysia (UPM) urutan ke-52, dan Universiti Sains Malaysia (USM) urutan ke-57. Mengenai hal ini kita pantas malu karena dalam sejarahnya banyak putra-putra Indonesia yang dulu membantu mengembangkan perguruan tinggi di Malaysia itu, namun kini kereta api mutu kita telah ditinggal jauh di belakang.[11]
Mengapa semua itu terjadi? Karena sektor pendidikan tidak pernah diberi alokasi dana yang cukup guna mengembangkan dirinya. Dalam kurun waktu tiga atau empat tahun terakhir ini pemerintah hanya mengalokasi dana pendidikan sekitar 1,4 persen dari GNP. Angka ini terlalu rendah karena rata-rata untuk negara berkembang sudah 3,8 persen dan untuk negara maju 5,1 persen.[12]


[1] Ali Maksum, Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern, Mencari Visi Baru Atas Realitas Pendidikan Kita, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2000), Hlm.               227

[2] Sumber UNDP, Dalam Ali Khomsan IPB, Kompas, 29 September 2000

[3] Kalis Purwanto, Pengembangan Pola Belajar Mandiri dalam Rangka Menyambut Era Otonomi, Makalah disampaikan dalam Seminar Kedaerahan, Membangun Sistem Pendidikan Lokal Kal-Sel yang Tangguh dan Kompetitif dalam Rangka Menyambut Otonomi Daerah, (Yogyakarta, Balaikunti Wanitatama, 07 Oktober 2000)

[4] Ali Maksum, Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma….., Hlm. 228

[5] Ki Supriyoko, Kompas, 21 Agustus 2000

[6] Suyanto, Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), Hlm. 3

[7] Djohar, Analisi Kebijakan Pendidikan Islam, Bahan Kuliah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004
[8] Untuk Penyalahgunaan Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif (NAZA) di kalangan remaja dapat dilihat dalam "Remaja dan Permasalahannya"; Dadang Hawari, Al-Qur'an; Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Edisi Revisi), (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), Hlm. 2234-247.
[9] Ki Supriyoko, Kompas, 21 Agustus 2000

[10] UIN Yogyakarta kapan ya?
[11] Ki Supriyoko, Kompas, 21 Agustus 2000
[12] Ki Supriyoko, Kompas, 21 Agustus 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
Kota Kelahiranku Bangka Island,tepatnya di Kotaberingin, pekerjaanku pengajar di IAIN Raden Fatah Palembang

Ceria Bersama

Ceria Bersama
Puncak Island

Total Tayangan Halaman

Bersama Kita Bisa

Bersama Kita Bisa
Jarlitnas NTB

Kehidupan Gembira

Kehidupan Gembira
Bersama Tetap Ada

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini

Berapa kali anda mengunjungi Blog ini