SALAM SERIBU KATA

Praktisi, Pemikir Pendidikan, Peneliti dan Pemerhati Sosial, Mahasiswa, Siswa dan Para Orang Tua, Ini merupakan buah pikiran seorang yang dhoif ingin berbagi pendapat, oleh karena itu kreativitas, catatan berharga dan pemikiran cerdas kita akan diberi manfaat jika disebar luaskan pada khalayak... Semoga kita Sukses...

Selasa, 17 Maret 2009

SINETRON RELIGIUS ...

SINETRON RELIGIUS
PERSELINGKUHAN AGAMA DAN KAPITALISME

Menjamurnya Sinetron religi pada kurun terakhir ini memberi warna tersendiri dalam kancah entertainment kita. Namun arus deras religiusitas di dunia hiburan ini menyimpan tanda tanya besar. Pasalnya industri hiburan identik dengan life style yang glamour. Sedangkan agama mengandaikan sesuatu yang suci. Dua hal yang saling bertentangan ini dikawinkan dalam bentuk sinetron, maka lahirlah sinetron religi. Seperti apa sebenarnya kedua hal ini, sehingga kita patut curiga ? Artikel ini secara spesifik akan membahas perselingkuhan keduanya.
Sebagai bagian dari industri hiburan, sinetron memiliki ciri yang khas. Sentuhannya yang langsung mengena kehidupan sehari-hari, mendapat tempat tersendiri di relung kalbu masyarakat. Sinetron umumnya mengikuti trend yang sedang aktual. Sebagai contoh, percintaan remaja, kehidupan glamour dan mistik. Tema-tema tersebut silih berganti menjadi main stream sinetron kita. Dan berkat dialektika sinetron inilah, akhirnya kehidupan keagamaan menjadi tema yang laris manis.
Berawal dari kisah sukses program sinetron Ta’arruf di TPI -sebuah program sinetron yang terinspirasi oleh kehidupan nyata yang ditulis di majalah Hidayah- yang telah mendongkraknya menjadi stasiun televisi nomor wahid. Selanjutnya, stasiun televisi lain pun tak urung menayangkan sinetron bertema serupa. Muncullah sinetron “Astagfirullah untuk dulu dan sekarang ”Cinta Fitri” dan untuk konsumsi bulan Ramadhannya ”Rinduku Cintamu” (SCTV), ”Tasbih” Indosiar”, “Taubat” (Trans TV), dan “Azab Ilahi” (TVone). Akhirnya agama menjadi tema yang laku untuk dijual pada masyarakat kita.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah ini bagian dari keseriusan pengelola televisi dalam menghadirkan hiburan yang edukatif, atau justru hanya karena ingin mengeruk keuntungan, mengingat kiblat pasar sedang berpihak kepada agama? Tentu saja jawabanya sangat beragam menurut subyektif masing-masing. Menurut penulis ini adalah semata bagian dari dialektika pasar. Kebetulan saja agama ketiban untung, menjadi mainstream hiburan kita.
Ada beberapa hal yang patut kita ungkap di belakang hiburan bernama sinetron religi. Pertama, kepentingan para pemodal yang bertaruh di industri hiburan. Kalau kita perhatikan, perilaku para pemodal atau dalam hal ini para pemilik publishing house dan pengelola televisi, dalam membuat sinetron, yang mereka perhatikan bukan kualitas hiburan atau efeknya di masyarakat. Tapi, yang mereka perhatikan adalah menguntungkan atau tidak produk yang mereka buat. Pertimbangan yang lazim di dunia usaha, termasuk publishing house adalah seberapa luas pangsa pasar suatu produk. Kalau dinilai luas alias digandrungi masyarakat, maka produksi jalan. Ini berlaku untuk semua jenis sinetron, termasuk di dalamnya sinetron religi.
Mereka sama sekali tidak mempertimbangakan nilai-nilai moral dan agama. Yang mereka perhatikan hanya keuntungan, meskipun harus merusak moralitas masyarakat. Bagaimana kalau moral dan agama menguntungkan? Sesuai dengan pijakannya, maka tak luput mereka pun langsung ambil bagian dan berlindung dibalik tameng sinetron religi. Kondisi demikian menguntungkan bagi mereka, karena inilah ajang untuk menunjukkan simpati terhadap agama. Parahnya tak sedikit public yang tertipu oleh indahnya layar sinetron religi. Padahal ini adalah tameng saja yang kebetulan sedang ngetrend.
Kedua, kualitasnya isinya dalam beberapa hal jauh dari ajaran agama alias menyimpang. Indikasi ini terlihat dari pendramatisasian tokoh antagonis yang berlebihan. Penggambaran syetan atau jin dengan seorang yang buruk rupa memakai asesoris tanduk, gigi taring dan darah yang keluar dari mulutnya. Contoh kasus yang lain yaitu keadaan seseorang di alam kubur seolah dapat diketahui, bahkan kuburannya dibuka dan terlihat si mayat yang terbakar kepanasan sedang disiksa. Belum lagi, kisah orang yang telah mati lalu hidup kembali dengan rupa dan tingkah yang berbeda jauh dari keadaannya dalam kehidupannya dulu. Uniknya lagi, setiap acara tidak pernah luput dari kuburan. Di sini kuburan menjadi sesuatu yang wajib, sehigga terbentuk citra Islam itu identik dengan kuburan. Pendramatisasian kisah-kisah yang berlebihan tersebut dan penyertaan kuburan dalam setiap acara, memicu ketakutan bagi sebagian orang, sehingga ini akan menimbulkan syirik dalam bentuk yang baru. Tak beda dengan acara yang muncul sebelumnya seperti, Pemburu Hantu, dan tayangan mistis sejenisnya.
Ketiga, adegan film ini banyak yang mempertontonkan aurat. Alasannya mungkin untuk menggambarkan keadaan yang sesungguhnya bagi si tokoh. Sebagai contoh untuk menggambarkan perilaku kebejatan si tokoh yang mantan pelacur. Adegan dan perilaku yang persis pelacur pun dipertontonkan; sosok perempuan dengan pakaian minim yang sedang bercumbu mesra, sambil menenggak minuman keras. Padahal si aktris tayangan itu muslimah, dan mirisnya lagi setiap acara itu ada juru nasehatnya. Pertanyaan yang muncul kemudian apakah si ustad pemangku acara itu tidak risih terlibat dalam acara dengan adegan yang demikian? Bukankah yang dipertontonkan bertentangan dengan dakwah yang ia sampaikan. Alih-alih ingin mengajak orang kepada kebaikan agama malah mendukung kemaksiatan yang ditentang agama.
Sampai disini, kecurigaan pun muncul, mengapa para pengkhotbah agama mau terlibat dalam acara nista seperti tersebut diatas? Mungkin karena iming-iming amplop yang besar, jauh lebih besar dibanding ceramah di masjid, kemudian popularitas pun akan semakin menanjak, sehingga mereka rela sedikit mengorbankan dakwahnya. Jika demikian pantaskah mereka disebut ustad? Terserah pembaca.
Keempat, nilai dakwah hilang. Dengan mempertontonkan adegan dan dramatisasi yang berlebihan seperti tersebut diatas maka nilai dakwah yang disampaikan menjadi absurd. Meskipun jika kita bersikap khusnudzoh, barangkali niat mereka baik untuk berdakwah. Tetapi, karena caranya yang salah, maka niatnya menjadi percuma. Dan oleh sebab itu, acara sinetron religius perlu ditinjau ulang. Dalam hal ini perlu diingat bahwa membawa agama ke dalam ranah hiburan yang sangat pragmatis itu sangat sensitif. Bukan tidak mungkin, jika akhirnya agama hanya menjadi alat bagi para pemodal untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Akhirnya tayangan yang menyebut dirinya bernuansa religius ini menjadi menyesatkan dan membodohi masyarakat. Jika sudah kontra produktif bagi agama, untuk apa dipertahankan.
Melihat kekurangan tayangan tersebut, maka sudah saatnya para pengelola stasiun televisi dan production huose, meninjau ulang dan memperbaikinya sehingga dakwah tidak dikorbankan oleh pasar. Dengan begitu, televisi turut memberikan hiburan yang edukatif bagi masyarakat. Bukankah ini sesuai dengan fungsi televisi sebagai media informasi dan pendidikan. Allahua’lam bi ash-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
Kota Kelahiranku Bangka Island,tepatnya di Kotaberingin, pekerjaanku pengajar di IAIN Raden Fatah Palembang

Ceria Bersama

Ceria Bersama
Puncak Island

Total Tayangan Halaman

Bersama Kita Bisa

Bersama Kita Bisa
Jarlitnas NTB

Kehidupan Gembira

Kehidupan Gembira
Bersama Tetap Ada

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini

Berapa kali anda mengunjungi Blog ini