Pendidikan
di Era Soeharto (Orde Baru)
Rezim orde baru yang otoriter telah melahirkan sistem
pendidikan yang tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif,
meskipun secara kuantitatif rezim ini telah mampu menunjukkan prestasi yang
cukup baik di bidang pendidikan.
Kemajuan pendidikan secara kuantitatif memang kita
rasakan selama orde baru berkuasa. Sebagai contoh, data statistik yang
dikemukakan oleh Abbas menunjukkan bahwa jumlah murid sekolah dasar meningkat
dari 13.023.000 siswa pada tahun 1967/1968 menjadi 29.239.238 siswa dalam tahun
1997/1998, atau telah terjadi peningkatan sebesar 224.59 %. Dalam priode yang
sama, murid SLTP juga meningkat dari 1.000.000 siswa menjadi 9.227.891 siswa
atau terjadi peningkatan sebesar 902.30 %. Pun juga pada jenjang SLTA meningkat
dari 500.000 siswa menjadi 4.932.083 siswa atau meningkat sebesar 1000%. Dalam
tahun yang sama mahasiswa juga meningkat dari 230.000 mahasiswa menjadi
2.703.896 mahasiswa atau meningkat 1.176%.
Namun demikian, pemberdayaan masyarakat secara luas,
sebagai cermin dari keberhasilan itu tidak pernah terjadi. Mengapa demikian?
Karena orde baru selama lima
tahun berkuasa, secara sistematis telah menyiapkan skenario pemerintahan yang
memiliki visi dan misi utama untuk melestarikan kekuasaan dengan berbagai cara
dan metode.
Akibatnya, sistem
pendididkan kemudian dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menciptakan safety
net bagi pelestarian kekuasaan. Visi dan misi pelestarian kekuasaan itu
melahirkan kebijakan pendidikan yang bersifat straight jacket.
Fenomena yang digambarkan tersebut dapat dilihat dari
indikator lahirnya kurikulum nasional untuk segala senjang pendidikan. Sebagai
contoh, dipaksakannya aturan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan
Koordinasi Kemahasiswaan) pada tahun 1970 an sebagai ganti dewan mahasiswa di
Perguruan Tinggi, dipusatkannya sumber dana yang dikumpulkan dari masyarakat di
bawah bendera PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak).
Sistem evaluasi belajar terpusat, yang sangat mendewakan
nem, dan lainnya. Semua metode itu akhirnya membawa kita pada budaya kualitas
semu dan budaya kualitas pura-pura. Dengan istilah lain, fenomena ini dapat
dimasukkan juga pada tatanan budaya hipokrit yang menghalalkan banyak hal di
dunia pendidikan melalui modal sulap.
Pada era orde baru, pendidikan di semua jenjang lebih
mementingkan aspek kognitif (intelegensi quotient). Sedangkan aspek
afektif (emosional quotien atau sistem nilai), sangat ditelantarkan.
Dalam skala mikro, proses pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan hanya
memusatkan perhatiannya pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya,
kemampuan otak kanan kurang di tumbuh kembangkan dan bahkan dapat juga
dikatakan tidak pernah dikembangkan secara sistematis.
Dengan kondisi itu, menyebabkan pendidikan nasional kita
tidak mampu menghasilkan orang-orang mandiri, kreatif, memiliki integritas, dan
orang-orang yang mampu berkomunikasi secara baik dengan lingkungan fisik dan
sosial serta komunitas kehidupan mereka (peserta didik). Akibatnya, dilihat
dari tingkat pendidikan tinggi, pengangguran sarjana yang secara formal
termasuk kelompok terpelajar/terdidik semakin banyak dan meluas.
Pendidikan
di Era Sekarang (Era Reformasi)
Pendidikan Indonesia saat ini merupakan hasil
dari kebijakan politik pemerintah Indonesia selama ini. Mulai dari
pemerintahan orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Di lihat dari realitas
praktisnya, pendidikan kita masih mementingkan pendidikan yang bersifat dan
berideologi materialisme-kafitalis.
Materialisasi atau proses menjadikan semua yang bernilai
materi telah merunyak di segala sendi sistem pendidikan Indonesia.
Sendi-sendi yang di masuki bukan hanya materi pelajaran, pendidik, peserta
didik, manajemen, dan lingkungan, tetapi tujuan pendidikan itu sendiri. Jika
tujuan pendidikan telah mengarah kepada hal-hal yang bersifat materi, maka apa
yang dapat diharapkan dari proses pendidikan tersebut.
Materi pelajaran kita (kurikulum) di buat sedemikian rupa
dan di arahkan agar peserta didik dapat/mampu mendapatkan pekerjaan yang dapat
menghasilkan pendapatan yang besar. Kurikulum tersebut di buat dan direncanakan
dengan sistematika yang sedemikian rupa, dan untuk mengikutinya dibutuhkan
biaya yang sangat besar. Jika dalam proses memperolehnya saja peserta didik
harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar, maka dapat dibayangkan; setelah
mereka memperoleh pengetahuan tersebut mereka juga akan berupaya bagaimana dana
dalam jumlah yang besar tadi dapat kembali, dan tentunya juga berupaya untuk
mendapatkan untung sebesar-besarnya. Memang
teori modern mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi buat masa depan.
Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal yang akan dipetik
keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan prinsip ekonomi yang
diajarkan di sekolah menengah adalah mengeluarkan modal sesedikit mungkin untuk
menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dari sini dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan telah
dijadikan atau diselewingkan tujuannya hanya untuk mendapatkan pekerjaan.
Karena itu tujuan pendidikan untuk "membentuk manusia yang utuh dan
tidak termarjinalkan" akan sulit tercapai disebabkan prinsip ekonomi
memang tidak mengenal nilai-nilai spritual, moralitas, dan kebersamaan. Dalam
aspek pendidikan misalnya banyak sekali praktek dan prilaku yang menjual nilai
untuk mendapatkan uang. Bahkan ada sebagian pendidik yang menjadikan
kewenangannya untuk memberikan nilai kepada peserta didik demi mendapatkan
pendapatan dari peserta didiknya sendiri. Modusnya adalah dengan memberikan
nilai rendah pada program reguler, kemudian akan diberikan nilai agak tinggi
atau bahkan tinggi pada program khusus di mana peserta didik juga membayar
dengan biaya khusus.
Aspek peserta didik merupakan korban dari proses
pendidikan yang ada. Jika sistem pendidikan nasional mengalami reduksi makna
pendidikan yang hanya menjadi sekedar penyampaian pengetahuan (transfer of
knowleges) belaka, maka pada saat itulah peserta didik telah diberi
pelajaran yang sangat luar biasa pengaruhnya dalam kehidupannya kelak.
Materialisasi aspek manajemen pendidikan dapat dilihat
pada praktik munculnya kebanggaan semua pihak baik pengelola, pendidik, peserta
didik, dan wali akan megahnya gedung dan kampus di mana mereka berada dan ikut
andil di dalamnya. Jika kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi ukuran
kemajuan sebuah pendidikan, maka dapat dibayangkan orientasi pendidikannya akan
menjadi seperti apa. Materialisasi pada
aspek lingkungan pendidikan merupakan fenomena yang sangat jelas. Lingkungan
pendidikan di sini dipahami sebagai masyarakat yang berada di sekitar
pendidikan atau dengan kata lain adalah masyarakat Indonesia sendiri. Kemasyarakatan Indonesia
setelah memasuki era modernisasi telah mengalami pergeseran yang luar biasa.
Pergeseran
tersebut mencakup pergeseran orientasi kehidupan, budaya, gaya hidup, pandangan hidup, prilaku politik,
prilaku ekonomi, dan pergesaran terhadap
ajaran agama. Modernisasi pada intinya merupakan upaya rasionalisasi seluruh
aspek kehidupan masyarakat, dari yang awalnya kental akan nuansa religius,
sakralitas, dan spritual, bahkan transedental, obyektivitas, dan
realitas-empiris.
Materialisasi tujuan pendidikan merupakan landasan awal
bagi proses materialisasi seluruh aspek di atas. Tujuan pendidikan yang di
materialisasikan adalah upaya mencapai tujuan pendidikan nasional dengan asumsi
dapat diukur secara kuantitatif dan dapat dilihat hasilnya secara nyata;
misalnya, berapa alumni yang telah menjadi dokter, berapa yang telah menjadi
pengacara atau berapa alumni yang telah menjadi anggota dewan. Dengan melihat
jumlah alumni yang telah menduduki jabatan strategis, baik di lembaga
pemerintahan maupun di kantor-kantor mereka, maka dapat diketahui pula
keberhasilan sebuah lembaga pendidikan. Dengan
sistem pendidikan seperti ini, akhirnya kita jarang menemukan atau bahkan tidak
ada, standar keberhasilan pendidikan yang dilihat dari berapa alumni yang telah
menjadi manusia bermoral, berapa alumni yang telah memberikan kesadaran
masyarakat akan arti pentingnya persaudaraan, dan berapa alumni yang telah
benar-benar melaksanakan tujuan pendidikannya, yaitu menjadi manusia seutuhnya;
Maksudnya manusia yang sehat secara jasmani dan ruhani, secara material dan
spiritual, secara fisik dan mental, serta secara intelektual dan moral telah
terjadi keseimbangan yang nyata.