SALAM SERIBU KATA

Praktisi, Pemikir Pendidikan, Peneliti dan Pemerhati Sosial, Mahasiswa, Siswa dan Para Orang Tua, Ini merupakan buah pikiran seorang yang dhoif ingin berbagi pendapat, oleh karena itu kreativitas, catatan berharga dan pemikiran cerdas kita akan diberi manfaat jika disebar luaskan pada khalayak... Semoga kita Sukses...

Selasa, 27 April 2010

Trend Pendidikan Ke Depan

BHINEKA TUNGGAL IKA. Satu baris kalimat yang terpatri pada sehelai pita yang dicengkram kuat dua cakar sang Garuda, yang di dadanya melekat perisai Pancasila, sebagai lambang negara tercinta ini. Tampaknya, kebhinekaan itu terus menjadi persoalan di negeri ini, baik itu politik, hukum, ekonomi, lingkungan hidup, sosial, maupun budaya. Tepatnya, belum sempat satu persoalan rampung diatasi, muncul persoalan baru. Bahkan, banyak pula sebuah persoalan terus-menerus menjadi persoalan, yang seakan tak dapat terselesaikan. Salah satunya “pendidikan”.

Sebenarnya di negeri ini jumlah Lembaga Perguruan Tinggi yang dikenal sebagai LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), baik berbentuk Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) maupun Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP), cukup banyak. Keberadaan lembaga tersebut tentunya dimaksudkan guna menjawab persoalan-persoalan dalam dunia pendidikan di Indonesia ini. Dan, tidak terbantahkan banyak pakar pendidikan kita lahir, atau berasal dari lembaga tersebut. Namun “bola panas” dunia pendidikan Indonesia masih terus menggelinding, dan IKIP diganti identitasnya menjadi Universitas Negeri, kecuali IKIP Bandung, yang masih tetap mempertahankan inisial “pendidikan” menjadi UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), walau sering diplesetkan menjadi Universitas Pasti IKIP.

Banyak sudah pendapat yang dilontarkan, termasuk upaya-upaya yang dilakukan guna pembenahan pendidikan di negeri ini. Menyoal upaya pembenahan pendidikan, jelas yang pertama dan utama sebagai pengemban tanggung jawabnya adalah negara, dalam hal ini tentunya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) bersama penyelenggara negara. Merekalah yang harus memulai atau mengawali pembenahan pengelolaan pendidikan.

Belum Proporsional
Berbicara profesionalitas, apresiasi terhadap pendidikan belumlah baik dan memadai. Salah satu indikatornya setiap seleksi peran ijazah atau sertifikat masih sangat dominan, akibatnya kinerja orang-orang yang lolos seleksi pun menjadi sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan. Guru atau dosen memang merupakan salah satu dari sekian banyak tugas keprofesian. Menjadi guru atau dosen sebagai sebuah kerja profesi semestinya, dan memang harus, menarik minat serta menggiurkan. Mengingat beban tugas dan tanggung jawab bagi mereka yang mengemban tugas keprofesian ini tidak ringan, sudah selayaknya imbalan, dan fasilitas penunjang yang mereka terima juga harus lebih atau minimal proporsional, artinya tidak dengan hanya sekedar “rayuan gombal” seperti sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Jadi, memperhatikan kenyataan akan rendahnya imbalan atau layanan fasilitas seperti yang diterima guru atau dosen saat ini, maka kita atau negara juga jangan terlalu banyak menuntut mereka.

Bila dibandingkan profesi lainnya, seperti dokter atau tenaga paramedis, kehidupan guru atau dosen bagai “api jauh dari panggang”. Guru atau dosen tidak mungkin sibuk di tempat prakteknya di rumah, seperti seorang dokter yang banyak melayani pasien di tempat prakteknya dibandingkan di rumah sakit, tempatnya bekerja.

Intinya, selama negara masih belum berkeinginan memperlakukan para profesional secara proporsional, kecil harapan negeri ini memiliki para profesional di berbagai bidang.
Ya, setelah Indonesia merdeka, peristiwa politik 1966, dan reformasi 1998, adakah pemimpin kita yang bertanya seperti Kaisar Hirohito, setelah Jepang habis dibom Sekutu, berapa jumlah guru yang tersisa?

Profesionalitas seseorang sangat bergantung pada kompetensi yang dimilikinya, dan sejauh mana dia mampu mengembangkannya secara maksimal. Sistem ranking, kelas unggul, dan sekolah unggul yang ada, mungkin perlu dikaji ulang seberapa besar manfaatnya. Semula penerapannya bertujuan untuk memotivasi siswa dalam belajar, tapi kenyataan di lapangan menunjukkan pencapaian tujuan siswa yang memang termotivasi cenderung kecil.

Bahkan, dampak yang mencengangkan; ada sejumlah guru atau sekolah yang tega membocorkan kunci jawaban ujian kepada siswanya, demi mencapai apa yang ditargetkan, yakni bisa dikatakan sebagai sekolah unggul karena nilai angka siswanya memang besar!

Pengelolaan Pendidikan
Perekrutan dan kesejahteraan guru atau dosen, pengawas sekolah atau mata pelajaran, serta kurikulum, gedung sekolah, buku pelajaran, badan akreditasi, peran masyarakat atau swasta, standar mutu pendidikan, dan seabrek persoalan pendidikan lainnya, seolah tak kunjung menyusut melainkan terus menumpuk, semakin rumit, dan kompleks. Demikian pula anggaran pendidikan, yang tampaknya sulit bergerak naik, bila dibandingkan anggaran lainnya, terutama dalam pembangunan pada pemerintahan daerah.

Sebetulnya kunci persoalan di atas, berada pada bagaimana kita mengelola pendidikan ini. Keberadaan jumlah sekolah-sekolah negeri, sudah terlalu banyak sehingga cukup membebani dunia pendidikan kita, dan ini seharusnya tidak perlu terjadi. Negara pun harus memikul beban biaya pendidikan yang besar. Di samping itu, disadari atau tidak, sekolah swasta yang memang dibutuhkan peran sertanya sebagai mitra pemerintah dalam membangun SDM menjadi terjepit, dan sulit dapat berkiprah lebih jauh, terutama sekolah-sekolah swasta yang kurang “bonafid”. Ironisnya sekolah-sekolah tersebut hanya menjadi bahan cemoohan bukan diupayakan untuk dibantu dan didukung agar dapat mandiri dan berkembang.

Menurut saya, ke depan, sekolah dasar dan menengah negeri jumlahnya tidak perlu banyak, terutama di kota-kota besar. Sekolah negeri hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang lemah secara ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang anaknya memiliki bakat atau prestasi luar biasa. Tepatnya, bagi mereka yang memenuhi persyaratan untuk bersekolah di sekolah negeri, maka negara berkewajiban membiayai semua kebutuhan pendidikannya.

Untuk masyarakat yang tingkat ekonominya masuk kategori menengah maka mereka harus memilih sekolah swasta, sedangkan bagi masyarakat yang tingkat ekonominya di atas kelompok menengah, selain harus memilih sekolah swasta mereka pun harus ikut memberikan bantuan yang dapat mendorong sekolah swasta yang bersangkutan menjadi lebih berkemampuan dan berkualitas. Dengan kondisi pengelolaan pendidikan yang demikian maka anggaran pendidikan yang jumlahnya berkisar 20% sudah bisa mencukupi kewajiban negara membiayai pendidikan, termasuk di dalamnya dapat dialokasikan dana subsidi bagi pengembangan guru dan siswa sekolah swasta.

Dengan jumlah sekolah negeri yang sedikit, tetapi memiliki fasilitas pendidikan yang merata, lengkap, dan canggih, tentu kebutuhan tenaga guru PNS pun menjadi sedikit. Nah, dengan kebutuhan tenaga guru PNS yang sedikit ini jelas akan mendorong tingkat persaingan menjadi tinggi. Bila tingkat persaingan menjadi guru PNS tinggi, maka sistem perekrutan guru dapat diperketat guna mendapatkan tenaga pendidik yang benar-benar berkualitas.

Jika jumlah sekolah dan guru negeri sedikit, maka memungkinkan bagi pemerintah untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya antara 4 sampai 5 kali lipat dari penghasilan guru seperti sekarang. Lalu, pemerintah atau penyelenggara pendidikan memberikan perumahan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya, yang mana lokasinya tidak boleh jauh dari sekolah tempat mereka mengajar atau bekerja.

Bekas gedung-gedung sekolah negeri, yang tidak termasuk dari jumlah sekolah negeri yang dioptimalkan, dapat diswastanisasikan, sedangkan siswanya diatur sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tuanya, termasuk siswa-siswa di sekolah swasta perlu didata ulang. Untuk siswa sekolah swasta yang memenuhi syarat masuk ke sekolah negeri harus ditawarkan, dan diberi kesempatan satu tahun ajaran untuk mempertimbangkan kepindahannya ke sekolah negeri. Bagi guru PNS yang tidak lolos dalam seleksi ulang guru sekolah negeri, kepada mereka negara memberikan pensiun dini, dan diprioritaskan untuk dapat mengikuti seleksi guru sekolah swasta.

Era otonomi daerah, seperti sekarang ini adalah saatnya bagi khususnya Pemerintah Daerah untuk sungguh-sungguh berpihak kepada dunia pendidikan di wilayahnya masing-masing, karena generasi muda inilah yang nantinya akan memegang dan menjalankan tongkat estafet dalam menumbuhkembangkan potensi yang ada di daerahnya masing-masing. Sehingga era otda tidak lagi terkesan hanya sebagai ajang bagi-bagi “kursi” kekuasaan di daerah.

Negara, dalam hal ini pemerintah, membiayai atau menanggung dana pendidikan anak atau siswa dari masyarakat yang lemah secara ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang anaknya memiliki bakat atau prestasi luar biasa, seperti yang disebutkan di atas tidak dapat disamakan dengan program yang ada (bhineka subsidi) seperti yang dilakukan selama ini.

Program raskin, alokasi dana dampak kenaikan BBM, dan lain sebagainya adalah ibarat masyarakat dininabobokan dengan terus-menerus di beri “ikan” bukan mata “kail”, yang cenderung bermuatan politis atau merupakan upaya “meredam” kemungkinan adanya gejolak sosial, ekonomi, dan politik belaka. Jika masyarakat hanya dibuai-buai atau diberi ikan, tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Hal mendasar yang dibutuhkan masyarakat adalah kail, karena dengan bekal mata kail inilah nantinya dapat menjadi sarana dalam berupaya memberi arti dalam hidup dan kehidupannya.

Pendidikan gratis dan atau sekolah gratis, kini tampak marak menjadi bualan politik calon legislatif pun calon kepala daerah kepada masyarakatnya. Namanya bualan tentu ada korbannya, siapa lagi kalau bukan sebagian besar masyarakat pemilihnya. Logika apa yang dipakai, sehingga berani mengumbar janji “Pendidikan Gratis Indonesia Cerdas”…misalnya!

Isu pendidikan gratis dipolitisasi, dijadikan jargon, sekedar “kelakar betok” satu istilah “Palembangan”. Di wilayah Batanghari Sembilan, ketika datang “musim buah”, segala sesuatunya menjadi ramai, hangat, aktual, menarik, melibatkan banyak orang, dapat kesempatan menarik untung baik secara langsung maupun tidak langsung.

Setelah musim kemarau berlalu, musim hujan menjelang, dan seperti biasanya musim buah pun silih berganti. Kalau, kemarin musim mangga, duku, kini musim durian datang. Dusun-dusun tadinya sepi, berubah ramai karena ada transaksi borong-memborong duren, mulai dari putik bunga hingga gelantungan buah-buah duren yang memang sudah hampir masak, dan terutama tentunya tumpukan buah duren yang hanya tinggal diangkut, siap diekspor ke luar dusun.

Di Palembang, pasar-pasar, kaki-kaki lima, dan beberapa sisi jalan pun menjadi bernuansa dan beraroma durian. Para penjual durian itu ada yang membikin pondok-pondokan, tetapi ada pula yang memanfaatkan bak mobil-mobil pik-upnya. Dalam kondisi demikian, tidak sedikit mereka yang memanfaatkanya guna menarik utung, termasuk para penarik retribusi baik yang resmi maupun yang gelap. Ada yang berencana untuk biaya sekolah anaknya, mungkin juga untuk beli teve baru, kulkas baru, motor baru, atau wong rumah baru. Hanya para pasukan kuning yang terpaksa mengelus dada, karena musim durian berarti membludaknya sampah-sampah, adalah konsekuensi tambahan bagi beban tugas mereka.

Demikian pula suasana pemilihan caleg dan kepala daerah, ilustrasi di atas tidak jauh berbeda dengan kondisi jelang pemilihan di banyak daerah. Tampak dari masing-masing bakal calon telah mulai meneriakkan atau mengkampanyekan kesiapannya akan maju mencalonkan diri dalam kompetisi politis tersebut. Teriakan-teriakan itu ada yang disampaikan secara langsung dalam kegiatan “klise” (tergantung dari sudut pandang) seperti jumpa kader atau simpatisan, dan atau banyak pula yang memanfaatkan media komunikasi visual grafis – elektronik, seperti baligho, spanduk, poster, kalender, pamlet, leaflet, koran, majalah, buku, radio, teve, termasuk fasilitas dunia maya bagi kampanyenya.

Bukan hanya umbar janji “Pendidikan Gratis,” “Sekolah Gratis” dijadikan isu pendidikan yang menjadi laris manis (bukan “seksi”), tema kesehatan dengan “Berobat Gratis, Masyarakat Sehat” juga dijadikan jejampi menarik jelang pemilukada pun pemilu caleg. Pertanyaannya, salahkah?

Sesungguhnya patut disyukuri dan semoga memang muncul dari kesadaran yang hakiki (nawaitu), bila pendidikan dan kesehatan menjadi perhatian utama dari beberapa kandidat dewan terhormat juga kandidat pemimpin, iyakah…? Karena, harus dipahami makna pendidikan gratis itu, artinya menyeluruh untuk jenjang dan ragam jenis pembelajaran, termasuk kursus, les-privat, kuliah di perguruan tinggi, dan sebagainya, sangupkah mereka memenuhi sesuai janjinya? Jangan, setelah terpilih berobah haluan..hana-hitulah, alasannya…!

Jujur saja, sebetulnya penerapan istilah “gratis” yang “pasaran” itu, sangat tidak tepat bagi dunia pendidikan, bahkan cenderung merendahkan hakikat pendidikan yang memiliki konsep dua arah, hak dan kewajiban. Sementara gratis itu bersifat satu arah, artinya pihak yang menggratiskan tidak berhak menuntut, dan pihak yang digratiskan tidak pula memiliki kewajiban.

Misalkan, di suatu mall pada counter yang menjual alat-alat dapur tertulis: “Membeli satu produk, gratis 1 lusin gelas”. Maka, pihak pengelola tidak bisa serta merta mengharuskan setiap pengunjung membeli produk yang mereka jual, demikian pula sebaliknya dengan adanya gratisan 1 lusin gelas itu, bukan berarti setiap pengunjung menjadi berkewajiban harus membeli produk yang ditawarkan oleh pengelola mall.

Sehingga, penggunaan atau penerapan sekolah atau pendidikan gratis itu tidak benar, sebab sudah jelas dan sesuai dengan semangat pasal 31 ayat 2 UUD 1945 sebagai rambu-rambunya, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib pula membiayainya.” Pada kalimat tadi tidak sedikit pun mengisyaratkan adanya makna “gratis”, karena di situ jelas ada hak dan sekaligus kewajiban pada masing-masing pihak, baik sebagai warga negara maupun pemerintah.

Pendidikan ke Depan

Mengapa pendidikan bermasalah? Berbagai teori dikemukakan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Namun, banyak orang sering lupa bahwa masalah pendidikan yang sebenarnya mendasar adalah bagaimana memanusiakan anak sebagai manusia melalui pendidikan. Permasalahan pendidikan di negeri ini lebih banyak disebabkan masalah anak sebagai anak manusia selalu diselesaikan menurut beragam kepentingan orang tua/orang dewasa. Harus disadari dan dipahami bahwa masalah pendidikan bukan hanya sekedar memberdayakan pikiran dan pencapaian prestasi belajar, melainkan berkaitan erat dengan nurani dan moral spiritual serta pembentukan karakter.

Selama ini bila dicermati banyak sensitivitas yang hilang dari proses pembelajaran di sekolah, karena perhatian sekolah/guru lebih terjebak pada faktor kognitif. “Karakter yang berkualitas harus dibentuk sejak usia dini, kegagalan dalam penanaman kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi-pribadi yang bermasalah kelak di masa dewasanya” (Freud). Bangsa ini telah berkali-kali diterpa badai, sebagai dampak dari pendidikan yang cenderung hanya memperhatikan faktor kognitif (fungsi belahan otak kiri). Kerusuhan Mei 1998, meningkatnya tindak kekerasan baik secara individu maupun kolektif, meningkatnya prilaku merusak diri (narkoba, seks bebas, alkohol), penurunan etos kerja, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, perilaku tidak jujur yang telah begitu membudaya, dan lain sebagainya.

Sampai saat ini pendidikan di sekolah masih berorientasi pada filosofi “pedagogy of the oppresed” yang menekan dan menindas peserta didik. Banyak guru yang keasyikan memberi tugas sebanyak-banyaknya, guru cenderung hanya ingin didengarkan oleh siswanya (siswa menjadi pendengar pasif), banyak pula guru yang memposisikan dirinya sebagai subjek sedangkan peserta didiknya hanya dijadikan objek dalam proses pembelajaran, akibatnya peserta didik cenderung belajar hanya untuk sekolah.

Sudah saatnya kita tinggalkan sistem pendidikan yang tumpul itu, ke depan pendidikan harus berorientasi pada filosofi “pedagogy of love”. Guru harus mampu mengundang keingintahuan peserta didiknya, yang dapat melarutkan jiwa siswa pada kesukaan/senang dan akhirnya cinta belajar. Pihak sekolah, guru, dan para praktisi pendidikan lainnya harus menyadari bahwa belahan otak kiri dan kanan peserta didik perlu dioptimalkan secara seimbang dan menyeluruh, kemudian mengaplikasikannya secara nyata dalam proses pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran dapat berjalan cepat, efektif, penuh kreatifitas yang menyenangkan, mengasyikkan, dan tentu akan mencerdaskan serta menguatkan posisi anak sebagai anak harapan negara dan bangsa Indonesia tercinta ini.

Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan yang dimulai pada tahun 2004 dengan nilai 4,01. Nilai tersebut ditetapkan sebagai standar nasional, regional, ataupun internasional/global itu tidak salah, bahkan dengan skor ini sebetulnya masih terlalu rendah, dan mengapa tidak ditetapkan saja dengan nilai 7,01 atau 8,01 sekalian? Kesalahannya terletak pada penerapan standar mutu pendidikan itu, memangnya peserta didik dapat disamakan dengan produk teknologi sehingga perlu diberi standar mutu seperti ISO 2000, …, 2003, 2004, 2005, 2007 dan seterusnya. Pemerintah dalam hal ini Mendiknas, tampaknya masih mengunakan paradigma pendidikan yang tumpul, menyeragamkan, dan jelas menghakimi siswa (masalah anak yang diselesaikan dengan kepentingan orang dewasa).

Standar mutu pendidikan seharusnya tidak boleh dijadikan standar kelulusan, karena fungsi standar mutu pendidikan yang tepat adalah sebagai target capaian ideal dari suatu proses pembelajaran. Sehingga skor itu menjadi standar atau alat ukur dalam mengevaluasi sejauh mana hasil dari kinerja Depdiknas, Dinas Diknas Provinsi, Dinas Diknas Kabupaten/Kota, sekolah, dan terutama guru dalam melakukan KBM. Berdasarkan standar mutu pendidikan yang ada, dan ternyata setelah dievaluasi hasilnya rata-rata tidak mencapai target seperti yang telah ditetapkan, maka itulah hasil kinerja dari jajaran pendidikan kita. Artinya untuk langkah selanjutnya perlu disusun dan diambil langkah-langkah strategis, tentunya sebagai upaya dalam memperbaiki kinerja segenap jajaran pendidikan. Jadi tidak perlu ada ujian ulang atau apalah istilahnya, karena skor itu semestinya bukan untuk memvonis lulus atau tidak lulusnya peserta didik.

Sekali lagi inilah masalahnya, kita cenderung selalu melemparkan kesalahan-kesalahan kepada orang lain, termasuk di bidang pendidikan. Sebetulnya kesalahan ada dalam pengelolaan pendidikan, tetapi banyak orang yang ingin selalu berupaya untuk tidak terlihat salah dengan jalan mengorbankan anak didik. Sadarkah kita bahwa anak didik yang dikorbankan itu, sering dan selalu kita katakan, mereka adalah penentu masa depan bangsa, ironis…memang! *)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
Kota Kelahiranku Bangka Island,tepatnya di Kotaberingin, pekerjaanku pengajar di IAIN Raden Fatah Palembang

Ceria Bersama

Ceria Bersama
Puncak Island

Total Tayangan Halaman

Bersama Kita Bisa

Bersama Kita Bisa
Jarlitnas NTB

Kehidupan Gembira

Kehidupan Gembira
Bersama Tetap Ada

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini

Berapa kali anda mengunjungi Blog ini