SALAM SERIBU KATA

Praktisi, Pemikir Pendidikan, Peneliti dan Pemerhati Sosial, Mahasiswa, Siswa dan Para Orang Tua, Ini merupakan buah pikiran seorang yang dhoif ingin berbagi pendapat, oleh karena itu kreativitas, catatan berharga dan pemikiran cerdas kita akan diberi manfaat jika disebar luaskan pada khalayak... Semoga kita Sukses...

Senin, 24 Mei 2010

My Liberalisme

Selama ini banyak sekali orang bicara mengenai liberalisme, mulai dari aktivis, politisi, mahasiswa, hingga masyarakat biasa. Ya, liberalisme adalah kata yang cukup populer di Indonesia. Sayangnya bukan populer dalam arti baik , tapi justru lebih banyak dipahami sebagai sebuah momok yang menakutkan: kebebasan tanpa batas, pro-Barat, ketidakadilan, dan lain sebagainya.

Segala sesuatu yang mereka tuduhkan terhadap liberalisme itu berasal dari tradisi intelektual kita yang bercorak sosialistik. Masalah utama berasal dari ketidakpahaman mereka terhadap ide ini. Dalam sebuah sesi workshop berjudul ”Pengantar terhadap Liberalisme,” Dr. Luthfi Assyaukanie menjelaskan bahwa makna dasar liberalisme sebenarnya adalah generous atau orang yang baik dan murah hati. Liberalisme pada intinya memfokuskan pada kepentingan individu manusia. Sangat jauh dari bayangan yang dikhawatirkan orang selama ini.

Kursus mahasiswa yang diselenggarakan oleh Freedom Institute di bawah banner AkademiMerdeka.org itu diselenggarakan di Lido Lakes Resort Hotel, Sukabumi, dari tanggal 26 hingga 28 Februari 2010. Luthfi menjelaskan tidak ada yang perlu ditakuti dari liberalisme, karena liberalisme justru lahir dengan menyesuaikan dan menghargai sifat dasar manusia. “Liberalisme mendasarkan nilai-nilainya pada kodrat manusia, karena itu liberalisme tidak pernah salah,” jelas Luthfi. Semua orang punya hak individu untuk bebas memilih bagi dirinya sendiri tanpa tergantung dari tekanan orang lain.

Pada hakikatnya manusia memiliki hak untuk mendapatkan dua jenis kebebasan, yaitu Freedom to (kebebasan untuk) dan Freedom from (kebebasan dari). Dalam konsep freedom to manusia mempunyai hak untuk bebas memilih apa yang dia mau seperti pekerjaan, jodoh, pendidikan, politik, agama, dll. Sementara konsep freedom from berarti individu mempunyai hak kebebasan dari kekerasan negara, kemiskinan, ketidakadilan, dll. Tapi jangan bayangkan kebebasan sama dengan keliaran, karena pada pinsipnya kebebasan individu sesorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Selain itu, dalam Liberalisme, kebebasan juga harus tunduk pada rule of law, sebagai sebuah konsensus yang disepakati bersama semua kalangan .

Belakangan ini ada kekacauan istilah mengenai salah satu sistem yang dianggap varian liberalisme yang sering kita dengar, yaitu ”neoliberalisme.” Dalam anggapan pengkritik, neoliberal sebagai bagian dari liberalisme merupakan sistem di mana intervensi negara hampir tidak ada, atau satu langkah lagi menuju anarki. Luthfi dengan tegas menolak neoliberalisme dikaitkan dengan liberalisme. “Neoliberlsme tidak pernah dikenal dalam tradisi liberalisme, istilah itu datang dari orang luar yang tidak suka dengan liberalisme,” jelas Deputi Direktur Freedom Institute itu.

Dalam tradisi liberal dikenal empat istilah yang biasa digunakan, yakni Liberalisme Klasik, Liberalisme Lama, Libertarianisme, dan Liberalisme Baru. Lalu di mana posisi Neoliberalisme yang sering dibicarakan itu? Jika yang mereka maksud Neoliberalisme adalah Liberalisme Baru, maka tuduhan mereka makin tak berdasar, karena prinsip-prinsip Liberalisme Baru sangat bertolak belakang dari Neoliberalisme. Liberalisme Baru adalah paham yang sama dengan Liberalisme Klasik (yang memperjuangkan kebebasan, property rights, dan hak individu), namun berbeda dalam hal kebijakan ekonomi, yang lebih menekankan adanya intervensi negara.

Selama ini ada beberapa orang yang menuduh bahwa Indonesia selalu dirugikan oleh liberalisme. Tapi fakta sejarah menunjukan bahwa ketika Partai Liberal berkuasa di Belanda pada abad ke-19, mereka menerapkan kebijakan politik etis yang memperbolehkan pribumi mengenyam pendidikan. Ujung dari politik etis ini tentu saja terwujudnya Indonesia merdeka yang dipelopori para cendekiawan nasional seperti Muhammad Hatta dan Syahrir. “Ini karena orang-orang liberal merasa bahwa ilmu pengetahuan harus disebarluaskan,” tegas Luthfi . Jadi secara tidak langsung Indonesia pernah mendapat manfaat dari kebijakan liberal, meskipun dari penjajah.

Hampir semua negara sosialis dan komunis telah gagal menyejahterakan rakyatnya. Kini kita ditantang untuk mulai berani membuka diri dengan menerapkan nilai-nilai liberal dalam prinsip bernegara. Jika ada sebuah konsep yang selalu gagal jika diimplementasikan, kita bisa mengatakan bahwa kesalahan bukan lagi ada pada orang yang mengemplementasikannya, tapi jelas pada konsep itu sendiri.

Ke depan, Indonesia yang maju haruslah Indonesia yang bisa menghargai hak-hak individu warganya, menjunjung tinggi pluralisme, mau mengintegrasikan diri dengan perdagangan global , dan kuat dalam penegakan hukum.

diambil dari: http://www.freedom-institute.org/id/index.php?page=index&id=559

bagi yang ingin berdikusi monggo di klik
http://www.facebook.com/topic.php?topic=16030&uid=91757927025
atau langsung ke forum diskusi group PC PMII Kota Malang

Selasa, 27 April 2010

Trend Pendidikan Ke Depan oleh Erwin Suryanegera

BHINEKA TUNGGAL IKA. Satu baris kalimat yang terpatri pada sehelai pita yang dicengkram kuat dua cakar sang Garuda, yang di dadanya melekat perisai Pancasila, sebagai lambang negara tercinta ini. Tampaknya, kebhinekaan itu terus menjadi persoalan di negeri ini, baik itu politik, hukum, ekonomi, lingkungan hidup, sosial, maupun budaya. Tepatnya, belum sempat satu persoalan rampung diatasi, muncul persoalan baru. Bahkan, banyak pula sebuah persoalan terus-menerus menjadi persoalan, yang seakan tak dapat terselesaikan. Salah satunya “pendidikan”.

Sebenarnya di negeri ini jumlah Lembaga Perguruan Tinggi yang dikenal sebagai LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), baik berbentuk Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) maupun Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP), cukup banyak. Keberadaan lembaga tersebut tentunya dimaksudkan guna menjawab persoalan-persoalan dalam dunia pendidikan di Indonesia ini. Dan, tidak terbantahkan banyak pakar pendidikan kita lahir, atau berasal dari lembaga tersebut. Namun “bola panas” dunia pendidikan Indonesia masih terus menggelinding, dan IKIP diganti identitasnya menjadi Universitas Negeri, kecuali IKIP Bandung, yang masih tetap mempertahankan inisial “pendidikan” menjadi UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), walau sering diplesetkan menjadi Universitas Pasti IKIP.

Banyak sudah pendapat yang dilontarkan, termasuk upaya-upaya yang dilakukan guna pembenahan pendidikan di negeri ini. Menyoal upaya pembenahan pendidikan, jelas yang pertama dan utama sebagai pengemban tanggung jawabnya adalah negara, dalam hal ini tentunya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) bersama penyelenggara negara. Merekalah yang harus memulai atau mengawali pembenahan pengelolaan pendidikan.

Belum Proporsional
Berbicara profesionalitas, apresiasi terhadap pendidikan belumlah baik dan memadai. Salah satu indikatornya setiap seleksi peran ijazah atau sertifikat masih sangat dominan, akibatnya kinerja orang-orang yang lolos seleksi pun menjadi sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan. Guru atau dosen memang merupakan salah satu dari sekian banyak tugas keprofesian. Menjadi guru atau dosen sebagai sebuah kerja profesi semestinya, dan memang harus, menarik minat serta menggiurkan. Mengingat beban tugas dan tanggung jawab bagi mereka yang mengemban tugas keprofesian ini tidak ringan, sudah selayaknya imbalan, dan fasilitas penunjang yang mereka terima juga harus lebih atau minimal proporsional, artinya tidak dengan hanya sekedar “rayuan gombal” seperti sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Jadi, memperhatikan kenyataan akan rendahnya imbalan atau layanan fasilitas seperti yang diterima guru atau dosen saat ini, maka kita atau negara juga jangan terlalu banyak menuntut mereka.

Bila dibandingkan profesi lainnya, seperti dokter atau tenaga paramedis, kehidupan guru atau dosen bagai “api jauh dari panggang”. Guru atau dosen tidak mungkin sibuk di tempat prakteknya di rumah, seperti seorang dokter yang banyak melayani pasien di tempat prakteknya dibandingkan di rumah sakit, tempatnya bekerja.

Intinya, selama negara masih belum berkeinginan memperlakukan para profesional secara proporsional, kecil harapan negeri ini memiliki para profesional di berbagai bidang.
Ya, setelah Indonesia merdeka, peristiwa politik 1966, dan reformasi 1998, adakah pemimpin kita yang bertanya seperti Kaisar Hirohito, setelah Jepang habis dibom Sekutu, berapa jumlah guru yang tersisa?

Profesionalitas seseorang sangat bergantung pada kompetensi yang dimilikinya, dan sejauh mana dia mampu mengembangkannya secara maksimal. Sistem ranking, kelas unggul, dan sekolah unggul yang ada, mungkin perlu dikaji ulang seberapa besar manfaatnya. Semula penerapannya bertujuan untuk memotivasi siswa dalam belajar, tapi kenyataan di lapangan menunjukkan pencapaian tujuan siswa yang memang termotivasi cenderung kecil.

Bahkan, dampak yang mencengangkan; ada sejumlah guru atau sekolah yang tega membocorkan kunci jawaban ujian kepada siswanya, demi mencapai apa yang ditargetkan, yakni bisa dikatakan sebagai sekolah unggul karena nilai angka siswanya memang besar!

Pengelolaan Pendidikan
Perekrutan dan kesejahteraan guru atau dosen, pengawas sekolah atau mata pelajaran, serta kurikulum, gedung sekolah, buku pelajaran, badan akreditasi, peran masyarakat atau swasta, standar mutu pendidikan, dan seabrek persoalan pendidikan lainnya, seolah tak kunjung menyusut melainkan terus menumpuk, semakin rumit, dan kompleks. Demikian pula anggaran pendidikan, yang tampaknya sulit bergerak naik, bila dibandingkan anggaran lainnya, terutama dalam pembangunan pada pemerintahan daerah.

Sebetulnya kunci persoalan di atas, berada pada bagaimana kita mengelola pendidikan ini. Keberadaan jumlah sekolah-sekolah negeri, sudah terlalu banyak sehingga cukup membebani dunia pendidikan kita, dan ini seharusnya tidak perlu terjadi. Negara pun harus memikul beban biaya pendidikan yang besar. Di samping itu, disadari atau tidak, sekolah swasta yang memang dibutuhkan peran sertanya sebagai mitra pemerintah dalam membangun SDM menjadi terjepit, dan sulit dapat berkiprah lebih jauh, terutama sekolah-sekolah swasta yang kurang “bonafid”. Ironisnya sekolah-sekolah tersebut hanya menjadi bahan cemoohan bukan diupayakan untuk dibantu dan didukung agar dapat mandiri dan berkembang.

Menurut saya, ke depan, sekolah dasar dan menengah negeri jumlahnya tidak perlu banyak, terutama di kota-kota besar. Sekolah negeri hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang lemah secara ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang anaknya memiliki bakat atau prestasi luar biasa. Tepatnya, bagi mereka yang memenuhi persyaratan untuk bersekolah di sekolah negeri, maka negara berkewajiban membiayai semua kebutuhan pendidikannya.

Untuk masyarakat yang tingkat ekonominya masuk kategori menengah maka mereka harus memilih sekolah swasta, sedangkan bagi masyarakat yang tingkat ekonominya di atas kelompok menengah, selain harus memilih sekolah swasta mereka pun harus ikut memberikan bantuan yang dapat mendorong sekolah swasta yang bersangkutan menjadi lebih berkemampuan dan berkualitas. Dengan kondisi pengelolaan pendidikan yang demikian maka anggaran pendidikan yang jumlahnya berkisar 20% sudah bisa mencukupi kewajiban negara membiayai pendidikan, termasuk di dalamnya dapat dialokasikan dana subsidi bagi pengembangan guru dan siswa sekolah swasta.

Dengan jumlah sekolah negeri yang sedikit, tetapi memiliki fasilitas pendidikan yang merata, lengkap, dan canggih, tentu kebutuhan tenaga guru PNS pun menjadi sedikit. Nah, dengan kebutuhan tenaga guru PNS yang sedikit ini jelas akan mendorong tingkat persaingan menjadi tinggi. Bila tingkat persaingan menjadi guru PNS tinggi, maka sistem perekrutan guru dapat diperketat guna mendapatkan tenaga pendidik yang benar-benar berkualitas.

Jika jumlah sekolah dan guru negeri sedikit, maka memungkinkan bagi pemerintah untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya antara 4 sampai 5 kali lipat dari penghasilan guru seperti sekarang. Lalu, pemerintah atau penyelenggara pendidikan memberikan perumahan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya, yang mana lokasinya tidak boleh jauh dari sekolah tempat mereka mengajar atau bekerja.

Bekas gedung-gedung sekolah negeri, yang tidak termasuk dari jumlah sekolah negeri yang dioptimalkan, dapat diswastanisasikan, sedangkan siswanya diatur sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tuanya, termasuk siswa-siswa di sekolah swasta perlu didata ulang. Untuk siswa sekolah swasta yang memenuhi syarat masuk ke sekolah negeri harus ditawarkan, dan diberi kesempatan satu tahun ajaran untuk mempertimbangkan kepindahannya ke sekolah negeri. Bagi guru PNS yang tidak lolos dalam seleksi ulang guru sekolah negeri, kepada mereka negara memberikan pensiun dini, dan diprioritaskan untuk dapat mengikuti seleksi guru sekolah swasta.

Era otonomi daerah, seperti sekarang ini adalah saatnya bagi khususnya Pemerintah Daerah untuk sungguh-sungguh berpihak kepada dunia pendidikan di wilayahnya masing-masing, karena generasi muda inilah yang nantinya akan memegang dan menjalankan tongkat estafet dalam menumbuhkembangkan potensi yang ada di daerahnya masing-masing. Sehingga era otda tidak lagi terkesan hanya sebagai ajang bagi-bagi “kursi” kekuasaan di daerah.

Negara, dalam hal ini pemerintah, membiayai atau menanggung dana pendidikan anak atau siswa dari masyarakat yang lemah secara ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang anaknya memiliki bakat atau prestasi luar biasa, seperti yang disebutkan di atas tidak dapat disamakan dengan program yang ada (bhineka subsidi) seperti yang dilakukan selama ini.

Program raskin, alokasi dana dampak kenaikan BBM, dan lain sebagainya adalah ibarat masyarakat dininabobokan dengan terus-menerus di beri “ikan” bukan mata “kail”, yang cenderung bermuatan politis atau merupakan upaya “meredam” kemungkinan adanya gejolak sosial, ekonomi, dan politik belaka. Jika masyarakat hanya dibuai-buai atau diberi ikan, tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Hal mendasar yang dibutuhkan masyarakat adalah kail, karena dengan bekal mata kail inilah nantinya dapat menjadi sarana dalam berupaya memberi arti dalam hidup dan kehidupannya.

Pendidikan gratis dan atau sekolah gratis, kini tampak marak menjadi bualan politik calon legislatif pun calon kepala daerah kepada masyarakatnya. Namanya bualan tentu ada korbannya, siapa lagi kalau bukan sebagian besar masyarakat pemilihnya. Logika apa yang dipakai, sehingga berani mengumbar janji “Pendidikan Gratis Indonesia Cerdas”…misalnya!

Isu pendidikan gratis dipolitisasi, dijadikan jargon, sekedar “kelakar betok” satu istilah “Palembangan”. Di wilayah Batanghari Sembilan, ketika datang “musim buah”, segala sesuatunya menjadi ramai, hangat, aktual, menarik, melibatkan banyak orang, dapat kesempatan menarik untung baik secara langsung maupun tidak langsung.

Setelah musim kemarau berlalu, musim hujan menjelang, dan seperti biasanya musim buah pun silih berganti. Kalau, kemarin musim mangga, duku, kini musim durian datang. Dusun-dusun tadinya sepi, berubah ramai karena ada transaksi borong-memborong duren, mulai dari putik bunga hingga gelantungan buah-buah duren yang memang sudah hampir masak, dan terutama tentunya tumpukan buah duren yang hanya tinggal diangkut, siap diekspor ke luar dusun.

Di Palembang, pasar-pasar, kaki-kaki lima, dan beberapa sisi jalan pun menjadi bernuansa dan beraroma durian. Para penjual durian itu ada yang membikin pondok-pondokan, tetapi ada pula yang memanfaatkan bak mobil-mobil pik-upnya. Dalam kondisi demikian, tidak sedikit mereka yang memanfaatkanya guna menarik utung, termasuk para penarik retribusi baik yang resmi maupun yang gelap. Ada yang berencana untuk biaya sekolah anaknya, mungkin juga untuk beli teve baru, kulkas baru, motor baru, atau wong rumah baru. Hanya para pasukan kuning yang terpaksa mengelus dada, karena musim durian berarti membludaknya sampah-sampah, adalah konsekuensi tambahan bagi beban tugas mereka.

Demikian pula suasana pemilihan caleg dan kepala daerah, ilustrasi di atas tidak jauh berbeda dengan kondisi jelang pemilihan di banyak daerah. Tampak dari masing-masing bakal calon telah mulai meneriakkan atau mengkampanyekan kesiapannya akan maju mencalonkan diri dalam kompetisi politis tersebut. Teriakan-teriakan itu ada yang disampaikan secara langsung dalam kegiatan “klise” (tergantung dari sudut pandang) seperti jumpa kader atau simpatisan, dan atau banyak pula yang memanfaatkan media komunikasi visual grafis – elektronik, seperti baligho, spanduk, poster, kalender, pamlet, leaflet, koran, majalah, buku, radio, teve, termasuk fasilitas dunia maya bagi kampanyenya.

Bukan hanya umbar janji “Pendidikan Gratis,” “Sekolah Gratis” dijadikan isu pendidikan yang menjadi laris manis (bukan “seksi”), tema kesehatan dengan “Berobat Gratis, Masyarakat Sehat” juga dijadikan jejampi menarik jelang pemilukada pun pemilu caleg. Pertanyaannya, salahkah?

Sesungguhnya patut disyukuri dan semoga memang muncul dari kesadaran yang hakiki (nawaitu), bila pendidikan dan kesehatan menjadi perhatian utama dari beberapa kandidat dewan terhormat juga kandidat pemimpin, iyakah…? Karena, harus dipahami makna pendidikan gratis itu, artinya menyeluruh untuk jenjang dan ragam jenis pembelajaran, termasuk kursus, les-privat, kuliah di perguruan tinggi, dan sebagainya, sangupkah mereka memenuhi sesuai janjinya? Jangan, setelah terpilih berobah haluan..hana-hitulah, alasannya…!

Jujur saja, sebetulnya penerapan istilah “gratis” yang “pasaran” itu, sangat tidak tepat bagi dunia pendidikan, bahkan cenderung merendahkan hakikat pendidikan yang memiliki konsep dua arah, hak dan kewajiban. Sementara gratis itu bersifat satu arah, artinya pihak yang menggratiskan tidak berhak menuntut, dan pihak yang digratiskan tidak pula memiliki kewajiban.

Misalkan, di suatu mall pada counter yang menjual alat-alat dapur tertulis: “Membeli satu produk, gratis 1 lusin gelas”. Maka, pihak pengelola tidak bisa serta merta mengharuskan setiap pengunjung membeli produk yang mereka jual, demikian pula sebaliknya dengan adanya gratisan 1 lusin gelas itu, bukan berarti setiap pengunjung menjadi berkewajiban harus membeli produk yang ditawarkan oleh pengelola mall.

Sehingga, penggunaan atau penerapan sekolah atau pendidikan gratis itu tidak benar, sebab sudah jelas dan sesuai dengan semangat pasal 31 ayat 2 UUD 1945 sebagai rambu-rambunya, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib pula membiayainya.” Pada kalimat tadi tidak sedikit pun mengisyaratkan adanya makna “gratis”, karena di situ jelas ada hak dan sekaligus kewajiban pada masing-masing pihak, baik sebagai warga negara maupun pemerintah.

Pendidikan ke Depan

Mengapa pendidikan bermasalah? Berbagai teori dikemukakan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Namun, banyak orang sering lupa bahwa masalah pendidikan yang sebenarnya mendasar adalah bagaimana memanusiakan anak sebagai manusia melalui pendidikan. Permasalahan pendidikan di negeri ini lebih banyak disebabkan masalah anak sebagai anak manusia selalu diselesaikan menurut beragam kepentingan orang tua/orang dewasa. Harus disadari dan dipahami bahwa masalah pendidikan bukan hanya sekedar memberdayakan pikiran dan pencapaian prestasi belajar, melainkan berkaitan erat dengan nurani dan moral spiritual serta pembentukan karakter.

Selama ini bila dicermati banyak sensitivitas yang hilang dari proses pembelajaran di sekolah, karena perhatian sekolah/guru lebih terjebak pada faktor kognitif. “Karakter yang berkualitas harus dibentuk sejak usia dini, kegagalan dalam penanaman kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi-pribadi yang bermasalah kelak di masa dewasanya” (Freud). Bangsa ini telah berkali-kali diterpa badai, sebagai dampak dari pendidikan yang cenderung hanya memperhatikan faktor kognitif (fungsi belahan otak kiri). Kerusuhan Mei 1998, meningkatnya tindak kekerasan baik secara individu maupun kolektif, meningkatnya prilaku merusak diri (narkoba, seks bebas, alkohol), penurunan etos kerja, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, perilaku tidak jujur yang telah begitu membudaya, dan lain sebagainya.

Sampai saat ini pendidikan di sekolah masih berorientasi pada filosofi “pedagogy of the oppresed” yang menekan dan menindas peserta didik. Banyak guru yang keasyikan memberi tugas sebanyak-banyaknya, guru cenderung hanya ingin didengarkan oleh siswanya (siswa menjadi pendengar pasif), banyak pula guru yang memposisikan dirinya sebagai subjek sedangkan peserta didiknya hanya dijadikan objek dalam proses pembelajaran, akibatnya peserta didik cenderung belajar hanya untuk sekolah.

Sudah saatnya kita tinggalkan sistem pendidikan yang tumpul itu, ke depan pendidikan harus berorientasi pada filosofi “pedagogy of love”. Guru harus mampu mengundang keingintahuan peserta didiknya, yang dapat melarutkan jiwa siswa pada kesukaan/senang dan akhirnya cinta belajar. Pihak sekolah, guru, dan para praktisi pendidikan lainnya harus menyadari bahwa belahan otak kiri dan kanan peserta didik perlu dioptimalkan secara seimbang dan menyeluruh, kemudian mengaplikasikannya secara nyata dalam proses pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran dapat berjalan cepat, efektif, penuh kreatifitas yang menyenangkan, mengasyikkan, dan tentu akan mencerdaskan serta menguatkan posisi anak sebagai anak harapan negara dan bangsa Indonesia tercinta ini.

Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan yang dimulai pada tahun 2004 dengan nilai 4,01. Nilai tersebut ditetapkan sebagai standar nasional, regional, ataupun internasional/global itu tidak salah, bahkan dengan skor ini sebetulnya masih terlalu rendah, dan mengapa tidak ditetapkan saja dengan nilai 7,01 atau 8,01 sekalian? Kesalahannya terletak pada penerapan standar mutu pendidikan itu, memangnya peserta didik dapat disamakan dengan produk teknologi sehingga perlu diberi standar mutu seperti ISO 2000, …, 2003, 2004, 2005, 2007 dan seterusnya. Pemerintah dalam hal ini Mendiknas, tampaknya masih mengunakan paradigma pendidikan yang tumpul, menyeragamkan, dan jelas menghakimi siswa (masalah anak yang diselesaikan dengan kepentingan orang dewasa).

Standar mutu pendidikan seharusnya tidak boleh dijadikan standar kelulusan, karena fungsi standar mutu pendidikan yang tepat adalah sebagai target capaian ideal dari suatu proses pembelajaran. Sehingga skor itu menjadi standar atau alat ukur dalam mengevaluasi sejauh mana hasil dari kinerja Depdiknas, Dinas Diknas Provinsi, Dinas Diknas Kabupaten/Kota, sekolah, dan terutama guru dalam melakukan KBM. Berdasarkan standar mutu pendidikan yang ada, dan ternyata setelah dievaluasi hasilnya rata-rata tidak mencapai target seperti yang telah ditetapkan, maka itulah hasil kinerja dari jajaran pendidikan kita. Artinya untuk langkah selanjutnya perlu disusun dan diambil langkah-langkah strategis, tentunya sebagai upaya dalam memperbaiki kinerja segenap jajaran pendidikan. Jadi tidak perlu ada ujian ulang atau apalah istilahnya, karena skor itu semestinya bukan untuk memvonis lulus atau tidak lulusnya peserta didik.

Sekali lagi inilah masalahnya, kita cenderung selalu melemparkan kesalahan-kesalahan kepada orang lain, termasuk di bidang pendidikan. Sebetulnya kesalahan ada dalam pengelolaan pendidikan, tetapi banyak orang yang ingin selalu berupaya untuk tidak terlihat salah dengan jalan mengorbankan anak didik. Sadarkah kita bahwa anak didik yang dikorbankan itu, sering dan selalu kita katakan, mereka adalah penentu masa depan bangsa, ironis…memang! *)

Trend Pendidikan Ke Depan

BHINEKA TUNGGAL IKA. Satu baris kalimat yang terpatri pada sehelai pita yang dicengkram kuat dua cakar sang Garuda, yang di dadanya melekat perisai Pancasila, sebagai lambang negara tercinta ini. Tampaknya, kebhinekaan itu terus menjadi persoalan di negeri ini, baik itu politik, hukum, ekonomi, lingkungan hidup, sosial, maupun budaya. Tepatnya, belum sempat satu persoalan rampung diatasi, muncul persoalan baru. Bahkan, banyak pula sebuah persoalan terus-menerus menjadi persoalan, yang seakan tak dapat terselesaikan. Salah satunya “pendidikan”.

Sebenarnya di negeri ini jumlah Lembaga Perguruan Tinggi yang dikenal sebagai LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), baik berbentuk Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) maupun Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP), cukup banyak. Keberadaan lembaga tersebut tentunya dimaksudkan guna menjawab persoalan-persoalan dalam dunia pendidikan di Indonesia ini. Dan, tidak terbantahkan banyak pakar pendidikan kita lahir, atau berasal dari lembaga tersebut. Namun “bola panas” dunia pendidikan Indonesia masih terus menggelinding, dan IKIP diganti identitasnya menjadi Universitas Negeri, kecuali IKIP Bandung, yang masih tetap mempertahankan inisial “pendidikan” menjadi UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), walau sering diplesetkan menjadi Universitas Pasti IKIP.

Banyak sudah pendapat yang dilontarkan, termasuk upaya-upaya yang dilakukan guna pembenahan pendidikan di negeri ini. Menyoal upaya pembenahan pendidikan, jelas yang pertama dan utama sebagai pengemban tanggung jawabnya adalah negara, dalam hal ini tentunya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) bersama penyelenggara negara. Merekalah yang harus memulai atau mengawali pembenahan pengelolaan pendidikan.

Belum Proporsional
Berbicara profesionalitas, apresiasi terhadap pendidikan belumlah baik dan memadai. Salah satu indikatornya setiap seleksi peran ijazah atau sertifikat masih sangat dominan, akibatnya kinerja orang-orang yang lolos seleksi pun menjadi sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan. Guru atau dosen memang merupakan salah satu dari sekian banyak tugas keprofesian. Menjadi guru atau dosen sebagai sebuah kerja profesi semestinya, dan memang harus, menarik minat serta menggiurkan. Mengingat beban tugas dan tanggung jawab bagi mereka yang mengemban tugas keprofesian ini tidak ringan, sudah selayaknya imbalan, dan fasilitas penunjang yang mereka terima juga harus lebih atau minimal proporsional, artinya tidak dengan hanya sekedar “rayuan gombal” seperti sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Jadi, memperhatikan kenyataan akan rendahnya imbalan atau layanan fasilitas seperti yang diterima guru atau dosen saat ini, maka kita atau negara juga jangan terlalu banyak menuntut mereka.

Bila dibandingkan profesi lainnya, seperti dokter atau tenaga paramedis, kehidupan guru atau dosen bagai “api jauh dari panggang”. Guru atau dosen tidak mungkin sibuk di tempat prakteknya di rumah, seperti seorang dokter yang banyak melayani pasien di tempat prakteknya dibandingkan di rumah sakit, tempatnya bekerja.

Intinya, selama negara masih belum berkeinginan memperlakukan para profesional secara proporsional, kecil harapan negeri ini memiliki para profesional di berbagai bidang.
Ya, setelah Indonesia merdeka, peristiwa politik 1966, dan reformasi 1998, adakah pemimpin kita yang bertanya seperti Kaisar Hirohito, setelah Jepang habis dibom Sekutu, berapa jumlah guru yang tersisa?

Profesionalitas seseorang sangat bergantung pada kompetensi yang dimilikinya, dan sejauh mana dia mampu mengembangkannya secara maksimal. Sistem ranking, kelas unggul, dan sekolah unggul yang ada, mungkin perlu dikaji ulang seberapa besar manfaatnya. Semula penerapannya bertujuan untuk memotivasi siswa dalam belajar, tapi kenyataan di lapangan menunjukkan pencapaian tujuan siswa yang memang termotivasi cenderung kecil.

Bahkan, dampak yang mencengangkan; ada sejumlah guru atau sekolah yang tega membocorkan kunci jawaban ujian kepada siswanya, demi mencapai apa yang ditargetkan, yakni bisa dikatakan sebagai sekolah unggul karena nilai angka siswanya memang besar!

Pengelolaan Pendidikan
Perekrutan dan kesejahteraan guru atau dosen, pengawas sekolah atau mata pelajaran, serta kurikulum, gedung sekolah, buku pelajaran, badan akreditasi, peran masyarakat atau swasta, standar mutu pendidikan, dan seabrek persoalan pendidikan lainnya, seolah tak kunjung menyusut melainkan terus menumpuk, semakin rumit, dan kompleks. Demikian pula anggaran pendidikan, yang tampaknya sulit bergerak naik, bila dibandingkan anggaran lainnya, terutama dalam pembangunan pada pemerintahan daerah.

Sebetulnya kunci persoalan di atas, berada pada bagaimana kita mengelola pendidikan ini. Keberadaan jumlah sekolah-sekolah negeri, sudah terlalu banyak sehingga cukup membebani dunia pendidikan kita, dan ini seharusnya tidak perlu terjadi. Negara pun harus memikul beban biaya pendidikan yang besar. Di samping itu, disadari atau tidak, sekolah swasta yang memang dibutuhkan peran sertanya sebagai mitra pemerintah dalam membangun SDM menjadi terjepit, dan sulit dapat berkiprah lebih jauh, terutama sekolah-sekolah swasta yang kurang “bonafid”. Ironisnya sekolah-sekolah tersebut hanya menjadi bahan cemoohan bukan diupayakan untuk dibantu dan didukung agar dapat mandiri dan berkembang.

Menurut saya, ke depan, sekolah dasar dan menengah negeri jumlahnya tidak perlu banyak, terutama di kota-kota besar. Sekolah negeri hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang lemah secara ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang anaknya memiliki bakat atau prestasi luar biasa. Tepatnya, bagi mereka yang memenuhi persyaratan untuk bersekolah di sekolah negeri, maka negara berkewajiban membiayai semua kebutuhan pendidikannya.

Untuk masyarakat yang tingkat ekonominya masuk kategori menengah maka mereka harus memilih sekolah swasta, sedangkan bagi masyarakat yang tingkat ekonominya di atas kelompok menengah, selain harus memilih sekolah swasta mereka pun harus ikut memberikan bantuan yang dapat mendorong sekolah swasta yang bersangkutan menjadi lebih berkemampuan dan berkualitas. Dengan kondisi pengelolaan pendidikan yang demikian maka anggaran pendidikan yang jumlahnya berkisar 20% sudah bisa mencukupi kewajiban negara membiayai pendidikan, termasuk di dalamnya dapat dialokasikan dana subsidi bagi pengembangan guru dan siswa sekolah swasta.

Dengan jumlah sekolah negeri yang sedikit, tetapi memiliki fasilitas pendidikan yang merata, lengkap, dan canggih, tentu kebutuhan tenaga guru PNS pun menjadi sedikit. Nah, dengan kebutuhan tenaga guru PNS yang sedikit ini jelas akan mendorong tingkat persaingan menjadi tinggi. Bila tingkat persaingan menjadi guru PNS tinggi, maka sistem perekrutan guru dapat diperketat guna mendapatkan tenaga pendidik yang benar-benar berkualitas.

Jika jumlah sekolah dan guru negeri sedikit, maka memungkinkan bagi pemerintah untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya antara 4 sampai 5 kali lipat dari penghasilan guru seperti sekarang. Lalu, pemerintah atau penyelenggara pendidikan memberikan perumahan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya, yang mana lokasinya tidak boleh jauh dari sekolah tempat mereka mengajar atau bekerja.

Bekas gedung-gedung sekolah negeri, yang tidak termasuk dari jumlah sekolah negeri yang dioptimalkan, dapat diswastanisasikan, sedangkan siswanya diatur sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tuanya, termasuk siswa-siswa di sekolah swasta perlu didata ulang. Untuk siswa sekolah swasta yang memenuhi syarat masuk ke sekolah negeri harus ditawarkan, dan diberi kesempatan satu tahun ajaran untuk mempertimbangkan kepindahannya ke sekolah negeri. Bagi guru PNS yang tidak lolos dalam seleksi ulang guru sekolah negeri, kepada mereka negara memberikan pensiun dini, dan diprioritaskan untuk dapat mengikuti seleksi guru sekolah swasta.

Era otonomi daerah, seperti sekarang ini adalah saatnya bagi khususnya Pemerintah Daerah untuk sungguh-sungguh berpihak kepada dunia pendidikan di wilayahnya masing-masing, karena generasi muda inilah yang nantinya akan memegang dan menjalankan tongkat estafet dalam menumbuhkembangkan potensi yang ada di daerahnya masing-masing. Sehingga era otda tidak lagi terkesan hanya sebagai ajang bagi-bagi “kursi” kekuasaan di daerah.

Negara, dalam hal ini pemerintah, membiayai atau menanggung dana pendidikan anak atau siswa dari masyarakat yang lemah secara ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang anaknya memiliki bakat atau prestasi luar biasa, seperti yang disebutkan di atas tidak dapat disamakan dengan program yang ada (bhineka subsidi) seperti yang dilakukan selama ini.

Program raskin, alokasi dana dampak kenaikan BBM, dan lain sebagainya adalah ibarat masyarakat dininabobokan dengan terus-menerus di beri “ikan” bukan mata “kail”, yang cenderung bermuatan politis atau merupakan upaya “meredam” kemungkinan adanya gejolak sosial, ekonomi, dan politik belaka. Jika masyarakat hanya dibuai-buai atau diberi ikan, tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Hal mendasar yang dibutuhkan masyarakat adalah kail, karena dengan bekal mata kail inilah nantinya dapat menjadi sarana dalam berupaya memberi arti dalam hidup dan kehidupannya.

Pendidikan gratis dan atau sekolah gratis, kini tampak marak menjadi bualan politik calon legislatif pun calon kepala daerah kepada masyarakatnya. Namanya bualan tentu ada korbannya, siapa lagi kalau bukan sebagian besar masyarakat pemilihnya. Logika apa yang dipakai, sehingga berani mengumbar janji “Pendidikan Gratis Indonesia Cerdas”…misalnya!

Isu pendidikan gratis dipolitisasi, dijadikan jargon, sekedar “kelakar betok” satu istilah “Palembangan”. Di wilayah Batanghari Sembilan, ketika datang “musim buah”, segala sesuatunya menjadi ramai, hangat, aktual, menarik, melibatkan banyak orang, dapat kesempatan menarik untung baik secara langsung maupun tidak langsung.

Setelah musim kemarau berlalu, musim hujan menjelang, dan seperti biasanya musim buah pun silih berganti. Kalau, kemarin musim mangga, duku, kini musim durian datang. Dusun-dusun tadinya sepi, berubah ramai karena ada transaksi borong-memborong duren, mulai dari putik bunga hingga gelantungan buah-buah duren yang memang sudah hampir masak, dan terutama tentunya tumpukan buah duren yang hanya tinggal diangkut, siap diekspor ke luar dusun.

Di Palembang, pasar-pasar, kaki-kaki lima, dan beberapa sisi jalan pun menjadi bernuansa dan beraroma durian. Para penjual durian itu ada yang membikin pondok-pondokan, tetapi ada pula yang memanfaatkan bak mobil-mobil pik-upnya. Dalam kondisi demikian, tidak sedikit mereka yang memanfaatkanya guna menarik utung, termasuk para penarik retribusi baik yang resmi maupun yang gelap. Ada yang berencana untuk biaya sekolah anaknya, mungkin juga untuk beli teve baru, kulkas baru, motor baru, atau wong rumah baru. Hanya para pasukan kuning yang terpaksa mengelus dada, karena musim durian berarti membludaknya sampah-sampah, adalah konsekuensi tambahan bagi beban tugas mereka.

Demikian pula suasana pemilihan caleg dan kepala daerah, ilustrasi di atas tidak jauh berbeda dengan kondisi jelang pemilihan di banyak daerah. Tampak dari masing-masing bakal calon telah mulai meneriakkan atau mengkampanyekan kesiapannya akan maju mencalonkan diri dalam kompetisi politis tersebut. Teriakan-teriakan itu ada yang disampaikan secara langsung dalam kegiatan “klise” (tergantung dari sudut pandang) seperti jumpa kader atau simpatisan, dan atau banyak pula yang memanfaatkan media komunikasi visual grafis – elektronik, seperti baligho, spanduk, poster, kalender, pamlet, leaflet, koran, majalah, buku, radio, teve, termasuk fasilitas dunia maya bagi kampanyenya.

Bukan hanya umbar janji “Pendidikan Gratis,” “Sekolah Gratis” dijadikan isu pendidikan yang menjadi laris manis (bukan “seksi”), tema kesehatan dengan “Berobat Gratis, Masyarakat Sehat” juga dijadikan jejampi menarik jelang pemilukada pun pemilu caleg. Pertanyaannya, salahkah?

Sesungguhnya patut disyukuri dan semoga memang muncul dari kesadaran yang hakiki (nawaitu), bila pendidikan dan kesehatan menjadi perhatian utama dari beberapa kandidat dewan terhormat juga kandidat pemimpin, iyakah…? Karena, harus dipahami makna pendidikan gratis itu, artinya menyeluruh untuk jenjang dan ragam jenis pembelajaran, termasuk kursus, les-privat, kuliah di perguruan tinggi, dan sebagainya, sangupkah mereka memenuhi sesuai janjinya? Jangan, setelah terpilih berobah haluan..hana-hitulah, alasannya…!

Jujur saja, sebetulnya penerapan istilah “gratis” yang “pasaran” itu, sangat tidak tepat bagi dunia pendidikan, bahkan cenderung merendahkan hakikat pendidikan yang memiliki konsep dua arah, hak dan kewajiban. Sementara gratis itu bersifat satu arah, artinya pihak yang menggratiskan tidak berhak menuntut, dan pihak yang digratiskan tidak pula memiliki kewajiban.

Misalkan, di suatu mall pada counter yang menjual alat-alat dapur tertulis: “Membeli satu produk, gratis 1 lusin gelas”. Maka, pihak pengelola tidak bisa serta merta mengharuskan setiap pengunjung membeli produk yang mereka jual, demikian pula sebaliknya dengan adanya gratisan 1 lusin gelas itu, bukan berarti setiap pengunjung menjadi berkewajiban harus membeli produk yang ditawarkan oleh pengelola mall.

Sehingga, penggunaan atau penerapan sekolah atau pendidikan gratis itu tidak benar, sebab sudah jelas dan sesuai dengan semangat pasal 31 ayat 2 UUD 1945 sebagai rambu-rambunya, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib pula membiayainya.” Pada kalimat tadi tidak sedikit pun mengisyaratkan adanya makna “gratis”, karena di situ jelas ada hak dan sekaligus kewajiban pada masing-masing pihak, baik sebagai warga negara maupun pemerintah.

Pendidikan ke Depan

Mengapa pendidikan bermasalah? Berbagai teori dikemukakan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Namun, banyak orang sering lupa bahwa masalah pendidikan yang sebenarnya mendasar adalah bagaimana memanusiakan anak sebagai manusia melalui pendidikan. Permasalahan pendidikan di negeri ini lebih banyak disebabkan masalah anak sebagai anak manusia selalu diselesaikan menurut beragam kepentingan orang tua/orang dewasa. Harus disadari dan dipahami bahwa masalah pendidikan bukan hanya sekedar memberdayakan pikiran dan pencapaian prestasi belajar, melainkan berkaitan erat dengan nurani dan moral spiritual serta pembentukan karakter.

Selama ini bila dicermati banyak sensitivitas yang hilang dari proses pembelajaran di sekolah, karena perhatian sekolah/guru lebih terjebak pada faktor kognitif. “Karakter yang berkualitas harus dibentuk sejak usia dini, kegagalan dalam penanaman kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi-pribadi yang bermasalah kelak di masa dewasanya” (Freud). Bangsa ini telah berkali-kali diterpa badai, sebagai dampak dari pendidikan yang cenderung hanya memperhatikan faktor kognitif (fungsi belahan otak kiri). Kerusuhan Mei 1998, meningkatnya tindak kekerasan baik secara individu maupun kolektif, meningkatnya prilaku merusak diri (narkoba, seks bebas, alkohol), penurunan etos kerja, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, perilaku tidak jujur yang telah begitu membudaya, dan lain sebagainya.

Sampai saat ini pendidikan di sekolah masih berorientasi pada filosofi “pedagogy of the oppresed” yang menekan dan menindas peserta didik. Banyak guru yang keasyikan memberi tugas sebanyak-banyaknya, guru cenderung hanya ingin didengarkan oleh siswanya (siswa menjadi pendengar pasif), banyak pula guru yang memposisikan dirinya sebagai subjek sedangkan peserta didiknya hanya dijadikan objek dalam proses pembelajaran, akibatnya peserta didik cenderung belajar hanya untuk sekolah.

Sudah saatnya kita tinggalkan sistem pendidikan yang tumpul itu, ke depan pendidikan harus berorientasi pada filosofi “pedagogy of love”. Guru harus mampu mengundang keingintahuan peserta didiknya, yang dapat melarutkan jiwa siswa pada kesukaan/senang dan akhirnya cinta belajar. Pihak sekolah, guru, dan para praktisi pendidikan lainnya harus menyadari bahwa belahan otak kiri dan kanan peserta didik perlu dioptimalkan secara seimbang dan menyeluruh, kemudian mengaplikasikannya secara nyata dalam proses pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran dapat berjalan cepat, efektif, penuh kreatifitas yang menyenangkan, mengasyikkan, dan tentu akan mencerdaskan serta menguatkan posisi anak sebagai anak harapan negara dan bangsa Indonesia tercinta ini.

Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan yang dimulai pada tahun 2004 dengan nilai 4,01. Nilai tersebut ditetapkan sebagai standar nasional, regional, ataupun internasional/global itu tidak salah, bahkan dengan skor ini sebetulnya masih terlalu rendah, dan mengapa tidak ditetapkan saja dengan nilai 7,01 atau 8,01 sekalian? Kesalahannya terletak pada penerapan standar mutu pendidikan itu, memangnya peserta didik dapat disamakan dengan produk teknologi sehingga perlu diberi standar mutu seperti ISO 2000, …, 2003, 2004, 2005, 2007 dan seterusnya. Pemerintah dalam hal ini Mendiknas, tampaknya masih mengunakan paradigma pendidikan yang tumpul, menyeragamkan, dan jelas menghakimi siswa (masalah anak yang diselesaikan dengan kepentingan orang dewasa).

Standar mutu pendidikan seharusnya tidak boleh dijadikan standar kelulusan, karena fungsi standar mutu pendidikan yang tepat adalah sebagai target capaian ideal dari suatu proses pembelajaran. Sehingga skor itu menjadi standar atau alat ukur dalam mengevaluasi sejauh mana hasil dari kinerja Depdiknas, Dinas Diknas Provinsi, Dinas Diknas Kabupaten/Kota, sekolah, dan terutama guru dalam melakukan KBM. Berdasarkan standar mutu pendidikan yang ada, dan ternyata setelah dievaluasi hasilnya rata-rata tidak mencapai target seperti yang telah ditetapkan, maka itulah hasil kinerja dari jajaran pendidikan kita. Artinya untuk langkah selanjutnya perlu disusun dan diambil langkah-langkah strategis, tentunya sebagai upaya dalam memperbaiki kinerja segenap jajaran pendidikan. Jadi tidak perlu ada ujian ulang atau apalah istilahnya, karena skor itu semestinya bukan untuk memvonis lulus atau tidak lulusnya peserta didik.

Sekali lagi inilah masalahnya, kita cenderung selalu melemparkan kesalahan-kesalahan kepada orang lain, termasuk di bidang pendidikan. Sebetulnya kesalahan ada dalam pengelolaan pendidikan, tetapi banyak orang yang ingin selalu berupaya untuk tidak terlihat salah dengan jalan mengorbankan anak didik. Sadarkah kita bahwa anak didik yang dikorbankan itu, sering dan selalu kita katakan, mereka adalah penentu masa depan bangsa, ironis…memang! *)

Minggu, 25 April 2010

Pendidikan Karakter

Pendidikan Karakter

Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.

Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.

Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.

Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.



Empat karakter

Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.

Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.

Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.



Pengalaman Indonesia

Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.

Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.

Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.

Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.



Loncatan sejarah

Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme lebih dahulu?

Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.

Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.

Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.

Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.

Sabtu, 24 April 2010

Hari Kartini : Menjaga Kehormatan Wanita Muslimah

Wahai saudariku muslimah, wanita adalah kunci kebaikan suatu umat. Wanita bagaikan batu bata, ia adalah pembangun generasi manusia. Maka jika kaum wanita baik, maka baiklah suatu generasi. Namun sebaliknya, jika kaum wanita itu rusak, maka akan rusak pulalah generasi tersebut.

Maka, engkaulah wahai saudariku… engkaulah pengemban amanah pembangun generasi umat ini. Jadilah engkau wanita muslimah yang sejati, wanita yang senantiasa menjaga kehormatannya. Yang menjunjung tinggi hak Rabb-nya. Yang setia menjalankan sunnah rasul-Nya.

Wanita Berbeda Dengan Laki-Laki
Allah berfirman,“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Adz-Dzaariyat: 56)

Allah telah menciptakan manusia dalam jenis perempuan dan laki-laki dengan memiliki kewajiban yang sama, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Dia telah menempatkan pria dan wanita pada kedudukannya masing-masing sesuai dengan kodratnya. Dalam beberapa hal, sebagian mereka tidak boleh dan tidak bisa menggantikan yang lain.

Keduanya memiliki kedudukan yang sama. Dalam peribadatan, secara umum mereka memiliki hak dan kewajiban yang tidak berbeda. Hanya dalam masalah-masalah tertentu, memang ada perbedaan. Hal itu Allah sesuaikan dengan naluri, tabiat, dan kondisi masing-masing.
Allah mentakdirkan bahwa laki-laki tidaklah sama dengan perempuan, baik dalam bentuk penciptaan, postur tubuh, dan susunan anggota badan.

Allah berfirman,“Dan laki-laki itu tidaklah sama dengan perempuan.” (Qs. Ali Imran: 36)

Karena perbedaan ini, maka Allah mengkhususkan beberapa hukum syar’i bagi kaum laki-laki dan perempuan sesuai dengan bentuk dasar, keahlian dan kemampuannya masing-masing. Allah memberikan hukum-hukum yang menjadi keistimewaan bagi kaum laki-laki, diantaranya bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, kenabian dan kerasulan hanya diberikan kepada kaum laki-laki dan bukan kepada perempuan, laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari bagian perempuan dalam hal warisan, dan lain-lain. Sebaliknya, Islam telah memuliakan wanita dengan memerintahkan wanita untuk tetap tinggal dalam rumahnya, serta merawat suami dan anak-anaknya.

Mujahid meriwayatkan bahwa Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa kaum laki-laki bisa pergi ke medan perang sedang kami tidak, dan kamipun hanya mendapatkan warisan setengah bagian laki-laki?” Maka turunlah ayat yang artinya, “Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah…” (Qs. An-Nisaa’: 32)” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari, Imam Ahmad, Al-Hakim, dan lain sebagainya)

Saudariku, maka hendaklah kita mengimani apa yang Allah takdirkan, bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Yakinlah, di balik perbedaan ini ada hikmah yang sangat besar, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Mari Menjaga Kehormatan Dengan Berhijab
Berhijab merupakan kewajiban yang harus ditunaikan bagi setiap wanita muslimah. Hijab merupakan salah satu bentuk pemuliaan terhadap wanita yang telah disyariatkan dalam Islam. Dalam mengenakan hijab syar’i haruslah menutupi seluruh tubuh dan menutupi seluruh perhiasan yang dikenakan dari pandangan laki-laki yang bukan mahram.

Hal ini sebagaimana tercantum dalam firman Allah Ta’ala:
“dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya.” (Qs. An-Nuur: 31)

Mengenakan hijab syar’i merupakan amalan yang dilakukan oleh wanita-wanita mukminah dari kalangan sahabiah dan generasi setelahnya. Merupakan keharusan bagi wanita-wanita sekarang yang menisbatkan diri pada islam untuk meneladani jejak wanita-wanita muslimah pendahulu meraka dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah dalam masalah berhijab. Hijab merupakan cermin kesucian diri, kemuliaan yang berhiaskan malu dan kecemburuan (ghirah). Ironisnya, banyak wanita sekarang yang menisbatkan diri pada islam keluar di jalan-jalan dan tempat-tempat umum tanpa mengenakan hijab, tetapi malah bersolek dan bertabaruj tanpa rasa malu. Sampai-sampai sulit dibedakan mana wanita muslim dan mana wanita kafir, sekalipun ada yang memakai kerudung, akan tetapi kerudung tersebut tak ubahnya hanyalah seperti hiasan penutup kepala.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
“Semoga Alloh merahmati para wanita generasi pertama yang berhijrah, ketika turun ayat: “dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya,” (Qs. An-Nuur: 31), Maka mereka segera merobek kain panjang/baju mantel mereka untuk kemudian menggunakannya sebagai himar penutup tubuh bagian atas mereka.”

Subhanallah… jauh sekali keadaan wanita di zaman ini dengan keadaan wanita zaman sahabiah.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa hijab merupakan kewajiban atas diri seorang muslimah dan meninggalkannya menyebabkan dosa yang membinasakan dan mendatangkan dosa-dosa yang lainnya. Sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya hendaknya wanita mukminah bersegera melaksanakan perintah Alloh yang satu ini.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Dan tidaklah patut bagi mukmin dan tidak (pula) bagi mukminah, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, kemudian mereka mempunyai pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya. Maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36)

Mengenakan hijab syar’i mempunyai banyak keutamaan, diantaranya:
1. Menjaga kehormatan.
2. Membersihkan hati.
3. Melahirkan akhlaq yang mulia.
4. Tanda kesucian.
5. Menjaga rasa malu.
6. Mencegah dari keinginan dan hasrat syaithoniah.
7. Menjaga ghirah.
8. Dan lain-lain. Adapun untuk rincian tentang hijab dapat dilihat pada artikel-artikel sebelumnya.

Bahaya Tabarruj Model Jahiliyah
Bersolek merupakan fitrah bagi wanita pada umumnya. Jika bersolek di depan suami, orang tua atau teman-teman sesama wanita maka hal ini tidak mengapa. Namun, wanita sekarang umumnya bersolek dan menampakkan sebagian anggota tubuh serta perhiasan di tempat-tempat umum. Padahal di tempat-tempat umum banyak terdapat laki-laki non mahram yang akan memperhatikan mereka dan keindahan yang ditampakkannya. Seperti itulah yang disebut dengan tabarruj model jahiliyah.

Di zaman sekarang, tabarruj model ini merupakan hal yang sudah dianggap biasa, padahal Allah dan Rasul-Nya mengharamkan yang demikian.

Allah berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu, dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti model berhias dan bertingkah lakunya orang-orang jahiliyah dahulu (tabarruj model jahiliyah).” (Qs. Al-Ahzab: 33)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Ada dua golongan ahli neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya; sekelompok orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuk manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang, mereka berjalan melenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak bisa mencium aromanya. Sesungguhnya aroma jannah tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Bentuk-bentuk tabarruj model jahiliyah diantaranya:
1. Menampakkan sebagian anggota tubuhnya di hadapan laki-laki non mahram.
2. Menampakkan perhiasannya,baik semua atau sebagian.
3. Berjalan dengan dibuat-buat.
4. Mendayu-dayu dalam berbicara terhadap laki-laki non mahram.
5. Menghentak-hentakkan kaki agar diketahui perhiasan yang tersembunyi.

Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan oleh setiap muslimah agar dirinya tidak terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan dan tidak menjerumuskan orang lain ke dalam dosa dan kemaksiatan.

Allahu A’lam.
Semoga bermanfaat,
Salam Ikhwah!!!
(Dikutip dari Facebook Fajar Kamizi)

Minggu, 28 Februari 2010

Untukmu Ibu

ALLAHUMMA YAA ALLAH.
Jika ibu yang aku sayangi sedang tidur, jagalah tidurnya dan segarkanlah bangunnya /
Jika ibu yang kusayangi sedang beribadah, terimalah ibadahnya /
Jika ibu yang kusayangi sedang berdoa, kabulkanlah doanya /
Jika ibu yang kusayangi sedang bekerja, ringankanlah pekerjaannya /
Jika ibu yang kusayangi sedang terbelenggu kesulitan, bebaskanlah kesulitannya, dan ganti dengan segala kemudahan /
Jika ibu yang kusayangi sedang sakit, sembuhkanlah sakitnya /
Jika ibu yang kusayangi sedang bersusah hati, gembirakanlah /
Jika ibu yang kusayangi sedang musafir, selamatkanlah /
Jika ibu yang kusayangi sedang cemas, tentramkanlah hatinya /
Jika ibu yang kusayangi sedang khilaf, sayangi dan ampunkanlah /
Jika ibu yang kusyangi sedang lupa, ingatkanlah dan maafkanlah /
Jika ibu yang kusayangi sedang lapang dan sejahtera, karunialah dia rasa bersyukur yang tak habis2nya. Amin Yaa Robbal 'Alamien.

Selasa, 23 Februari 2010

Wow .. India yang hebat

"Hidup sederhana sewaktu kaya adalah cara jitu menuju kesadaran akan hidup yang sehat dan membawa manfaat bagi masyarakat. Orang harus memiliki keberanian untuk berfikir yang besar, tidak pernah berkompromi dengan nilai-nilai dasar dalam keadaan apapun, dan selalu membangun kepercayaan diri dan memandang ke depan."
Dia juga menekankan untuk selalu bergaul dengan orang-orang baik agar memiliki teman terbaik yang akan membantu, selalu obsesif terhadap kualitas, bermain untuk menang dan menyerahkan segalanya peda kekuatan yang lebih besar, yaitu Tuhan.

Azim Hashim Premji atau yang lebih dikenal sebagai Azim Premji adalah orang terkaya di India. Premji yang lahir di Gujarat, India, pada 24 Juli 1945 telah menjadi ikon bagi industri dan pelaku bisnis di bidang teknologi informasi (TI) di India.


Dia berhasil mengubah bisnis keluarganya di bidang produksi minyak goreng menjadi perusahaan perangkat lunak atawa software kelas dunia. Kesuksesan Premji menjadi inspirasi bagi banyak orang. Tak heran, jika orang India menjadikannya sebagai ikon bisnis teknologi informasi India.

AZIM Premji mulai tertarik pada dunia?teknologi ketika dia belajar sebagai mahasiswa teknik mesin dan listrik di Universitas Stanford, Amerika Serikat. Ia menyabet gelar sarjananya pada tahun 1966. Tak lama setelah lulus, orang tua Premji meninggal dunia.

Di usia yang masih belia, yaitu 21 tahun, Premji harus mengambil alih kepemimpinan bisnis keluarga, yaitu Wipro Ltd, yang merupakan sebuah perusahaan goreng. Maka, ia menjabat sebagai Direktur Utama Wipro Ltd dengan kepemilikan saham sebanyak 82%. Premji memiliki visi yang simpel untuk memajukan Wipro, yaitu: membangun organisasi berdasarkan nilai.

Dia percaya bahwa manusia luar biasa adalah mereka yang mampu untuk berpikir menjadi luar biasa. Dia juga percaya, ia harus memberikan kepercayaan yang tinggi terhadap timnya karena mereka mampu?memikul tanggung jawab itu.

Di bawah kepemimpinan Premji, perusahaan yang semula hanya bergerak di lini minyak goreng itu mulai melebarkan sayap bisnisnya. Wipro mulai masuk ke industri teknologi informasi (TI) dan perangkat lunak komputer.

Bisnis barunya ini maju pesat. Kini, perusahaannya masuk dalam kategori 100 perusahaan teknologi terkemuka di dunia dengan pendapatan?mendekati US$ 2,5 miliar pada tahun 2007.

Hebatnya lagi, modal awalnya yang berasal dari bisnis minyak goreng itu semula hanya US$ 2 juta. Namun, sejak bisnis?TI-nya berkembang, modalnya tumbuh berlipat-lipat menjadi US$ 1,76 miliar.

Perjuangan Premji agar produk perangkat lunak dan produk lainnya dari Wipro bisa diterima di pasar internasional tidak mudah. Dia harus bersaing ketat dengan perusahaan-perusahaan sejenis yang lebih terkenal di Amerika maupun Eropa. Namun, kompetisi ini justru membuat Premji semakin bersemangat.

Alhasil, Wipro mampu menjual produknya ke perusahaan-perusahaan terkemuka. Perusahaan-perusahaan seperti Nokia, NEC, Cisco Systems, Sun Microsystems, dan Alcatel menjadi konsumennya. Selain itu,?perusahaan-perusahaan seperti IBM, Accenture, dan Electronic Data Systems juga lebih menyukai TI buatan India. Soalnya, TI buatan India ini selain harganya lebih murah,?kualitasnya tidak kalah dengan TI negara-negara maju.

Premji selalu memperhatikan dan mengingatkan kepada karyawannya untuk menjaga kualitas produknya sehingga pelanggannya tidak merasa kecewa.? Makanya, Wipro menjadi salah satu dari sepuluh perusahaan teknologi paling top di dunia.

Tak heran kalau Premji menjadi tokoh yang banyak dibicarakan di India. Apalagi, perkembangan ekonomi di India tidak lepas dari perkembangan teknologi dan sumber daya manusia di sana. Jadi, Azim Premji layak dikategorikan sebagai salah satu tokoh penggerak ekonomi di India.

Suami Yasmin Premji ini?masuk ke dalam daftar?orang terkaya dunia versi Majalah Forbes mulai tahun 1999 sampai 2007 dengan kekayaan sekitar US$ 17,1 miliar. Ia juga dikategorikan oleh Majalah Time pada April 2004 sebagai salah satu orang yang berpengaruh didunia. Dia juga disebut sebagai orang yang punya kekuatan untuk melakukan perubahan. Bahkan, Business Week edisi Oktober 2003 menjulukinya sebagai Raja Terkaya di India.

Premji memperoleh gelar doktor kehormatan dari Akademi Pendidikan Tinggi Manipal, India. Ia juga menjadi anggota Komite Perdagangan dan Industri di India yang bertanggung jawab kepada perdana menteri. Pada Januari 2005, Pemerintah India menganugerahkan gelar Padmabhushana kepada Premji. Ini merupakan salah satu penghargaan tertinggi untuk warga negara India.

Namun, Premji tidak lantas lupa daratan. Pada 2001, dia?mendirikan Azim Premji Foundation, organisasi nirlaba yang memiliki visi memberikan kontribusi untuk meningkatkan mutu pendidikan, persamaan hak, dan peduli terhadap kondisi sosial kemasyarakatan.

Sumber: Surat Kabar Kontan

MUSTAFA KEMAL ATATURK PENGHANCUR KE-KHALIFAHAN OTTOMAN

MUSTAFA KEMAL ATATURK PENGHANCUR KE-KHALIFAHAN OTTOMAN DAN PENGUSUNG LIBERALISME,SEKULERISME,DAN NASIONALISME BARAT

Mustafa Kemal Ataturk.
Mustafa Kemal Atatürk (lahir di Selânik (sekarang Thessaloniki), 12 Maret 1881 – meninggal di Istana Dolmabahçe, Istanbul, Turki, 10 November 1938 pada umur 57 tahun), hingga 1934 namanya adalah Ghazi Mustafa Kemal Pasha, adalah seorang perwira militer dan negarawan Turki yang memimpin revolusi negara itu. Ia juga merupakan pendiri dan presiden pertama Republik Turki.

Mustafa Kemal membuktikan dirinya sebagai komandan militer yang sukses sementara berdinas sebagai komandan divisi dalam Pertempuran Gallipoli. Setelah kekalahan Kekaisaran Ottoman di tangan tentara Sekutu, dan rencana-rencana berikutnya untuk memecah negara itu, Mustafa Kemal memimpin gerakan nasional Turki dalam apa yang kemudian menjadi Perang Kemerdekaan Turki. Kampanye militernya yang sukses menghasilkan kemerdekaan negara ini dan terbentuknya Republik Turki. Sebagai presiden pertama negara ini, Mustafa Kemal memperkenalkan serangkaian pembaruan yang luas yang berusaha menciptakan sebuah negara modern yang sekuler dan demokratis. Menurut Hukum Nama Keluarga, Majelis Agung Turki memberikan kepada Mustafa Kemal nama "Atatürk" (yang berarti "Bapak Bangsa Turki") pada 24 November 1934.

Ketika Kekaisaran Ottoman terjun ke Perang Dunia I di pihak Jerman, Mustafa Kemal ditempatkan di Tekirdağ (di Laut Marmara). Ia kemudian dipromosikan menjadi kolonel dan ditempatkan sebagai komandan divisi di daerah Gallipoli (bahasa Turki: "Gelibolu"). Ia memainkan peranan kritis dalam pertepuran melawan pasukan sekutu Inggris, Perancis dan ANZAC dalam Pertempuran Gallipoli pada April 1915. Di sini ia berhasil menahan pasukan-pasukan sekutu di Conkbayırı dan di bukit-bukit Anafarta. Karena keberhasilannya ini, pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi Brigadir Jenderal, dan dengan demikian memperoleh gelar pasha dan memperoleh pengaruh yang semakin luas dalam upaya-upaya peperangan. Dengan pengaruh dan pengalaman inilah Mustafa Kemal berhasil menggulingkan Kekaisaran Ottoman dan merebut kembali wilayah-wilayah yang mulanya telah diserahkan kepada Yunani setelah perang besar itu.

Mustafa Kemal memperoleh penghormatan dari bekas lawan-lawannya karena keberaniannya dalam kemenangan. Memorial Mustafa Kemal Atatürk mempunyai tempat terhormat dalam Parade ANZAC Parade di Canberra. Di tugu peringatan ini tertulis kata-katanya:
Para pahlawan yang menumpahkan darahnya dan kehilangan nyawanya ... kalian kini terbaring di tanah dari negara sahabat. Karena itu beristirahatlah dengan damai. Tidak ada perbedaan antara Johnny dan Mehmet di mana mereka kini terbaring berdampingan di negara kita ... Kalian, para ibu yang mengirim anak-anaknya ke negara-negara yang jauh, hapuskanlah air matamu. Anak-anakmu kini berbaring di haribaanmu di dalam kedamaian. Setelah kehilangan nyawa mereka di negeri ini, mereka pun telah menjadi anak-anak kami.

Mustafa Kemal menggunakan beberapa tahun berikutnya untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya di Turki dan melembagakan berbagai pembaruan politik, ekonomi dan sosial yang meluas. Pembaruan-pembaruan ini mengakibatkan oposisi di lingkungan Partai Rakyat Republikan (Cumhuriyet Halk Fırkası dalam bahasa Turki) yang didirikan oleh Mustafa Kemal pada 9 September 1923. Kemudian Mustafa Kemal memerintahkan Jenderal Kazım Karabekir untuk mendirikan Partai Republikan Progresif (Terakkiperver Cumhuriyet Fırkası dalam bahasa Turki) sebagai oposisi di Dewan Nasional Turki. Partai ini menentang sosialisme negara dari Partai Rakyat Republikan dan mengusulkan liberalisme. Tetapi setelah beberapa lama, partai ini diambil alih oleh orang-orang yang dianggap Atatürk sebagai fundamentalis. Pada 1925, sebagian sebagai tanggap terhadap provokasi dari Syekh Said, dikeluarkanlah Undang-undang untuk Mempertahankan Ketertiban, yang memberikan kekuasaan kepada Atatürk untuk membubarkan kelompok-kelompok subversif. Partai Republikan Progresif dengan segera dibubarkan dengan undang-undang yang baru ini, suatu tindakan yang dianggapnya perlu untuk mempertahankan negara Turki. Namun, tindakan ini menyebabkan banyak orang Turki menjadi kecewa dengan Atatürk, dan menganggapnya sebagai tindakan seorang diktator.
Mustafa Kemal menganggap fez (dalam bahasa Turki "fes" (topi Turki), yang mulanya diperkenalkan Sultan Mahmud II sebagai aturan berpakaian di Kekaisaran Ottoman pada 1826) sebagai lambang feodalisme dan karena sebab itu ia melarang pemakaiannya di muka umum. Ia mendorong lelaki Turki untuk mengenakan pakaian orang Eropa. Meskipun Islam melarang keras minuman yang mengandung alkohol, ia menggalakkan produksi dalam negeri dan mendirikan industri minuman keras milik negara. Ia menyukai minuman keras nasional, rakı, dan banyak sekali meminumnya.

Atatürk pernah mengatakan: "Kebudayaan adalah dasar dari Republik Turki." Pandangannya tentang kebudayaan termasuk warisan kreatif bangsanya sendiri dan apa yang dipandangnya sebagai nilai-nilai yang mengagumkan dari peradaban dunia. Terutama sekali ia menekankan humanisme. Ia pernah menggambarkan tekanan ideologis Turki modern sebagai "suatu kreasi patriotisme dicampur dengan gagasan humanis yang luhur."

Untuk membantu pencampuran sintesis seperti itu, Atatürk menekankan perlunya memanfaatkan unsur-unsur warisan nasional bangsa Turki dan bangsa Anatolia (termasuk budaya-budaya pribuminya yang kuno) serta kesenian dan teknik dari peradaban-peradaban dunia lainnya, baik di masa lalu maupun sekarang. Ia menekankan perlunya mempelajari peradaban-peradaban Anatolia kuno, seperti bangsa Het, Frigia, dan Lidia. Kebudayaan Turki pra-Islam menjadi pokok penelitian yang luas, dan tekanan khusus diberikan kepada kenyataan bahwa -- jauh sebelum peradaban Seljuk dan Ottoman -- bangsa Turki telah memiliki kebudayaan yang kaya. Atatürk juga menekankan kesenian rakyat di pedesaan sebagai mata air kreativitas Turki.

Kesenian visual dan plastik -- yang perkembangannya sekali-sekali ditahan oleh sebagian pejabat Ottoman dengan anggapan bahwa penggambaran wujud manusia adalah bentuk penyembahan berhala -- berkembang di bawah masa kepresidenan Atatürk. Banyak museum yang dibuka; arsitektur mulai mengikuti arus yang lebih modern; dan musik, opera, dan balet klasik barat, serta teater, juga mengalami kemajuan besar. Ratusan "Wisma Rakyat" dan "Ruang Rakyat" di seluruh negeri memungkinkan akses yang lebih luas terhadap berbagai kegiatan kesenian, olah raga dan acara-acara kebudayaan lainnya. Penerbitan buku dan majalah juga meningkat pesat, dan industri film mulai berkembang.

Mustafa Kemal memiliki visi sekuler dan nasionalistik dalam programnya membangun Turki kembali. Ia dengan keras menentang ekspresi kebudayaan Islam yang asli terdapat di kalangan rakyat Turki. Penggunaan huruf Arab dilarang dan negara dipaksa untuk beralih ke abjad yang berbasis Latin yang baru. Pakaian tradisional Islam, yang merupakan pakaian kebudayaan rakyat Turki selama ratusan tahun, dilarang hukum dan aturan berpakaian yang meniru pakaian barat diberlakukan.

Kemal meninggal dunia pada 10 November 1938 dalam usia 57 tahun karena kelelahan yang luar biasa akibat berat dan banyaknya tugas yang ada setelah sakit yang berkepanjangan karena sirosis hati.
Atatürk berusaha untuk memodernisasi dan mendemokratiskan sebuah Republik Turki yang baru dari sisa-sisa Kekaisaran Ottoman. Dalam upayanya ini, Atatürk telah menerapkan pembaruan-pembaruan yang meluas, yang akibatnya telah mendekatkan Turki kepada Uni Eropa sekarang. Tekanan yang diberikan kepada sekularisme dan nasionalisme juga telah menimbulkan konflik pada tingkat tertentu di dalam masyarakat. Sebagian pemeluk Islam yang taat merasa gagasan sekularisme ini bertentangan dengan ajaran Islam, dan mengkritik negara karena tidak memberikan kebebasan yang penuh dalam agama. Di Turki hingga saat ini Islam masih dibatasi dan kaum perempuan tidak diizinkan mengenakan kerudung di bangunan-bangunan umum. Kelompok etnis minoritas seperti orang-orang Kurdi juga telah berusaha memperoleh hak-hak budaya yang lebih besar, yang di masa lampau telah dibatasi karena dikembangkannya nasionalisme Turki.

Meskipun terdapat konflik-konflik ini, Atatürk tetap dihormati di seluruh Turki dan prinsip-prinsipnya tetap merupakan tulang punggung politik Turki modern.

Jumat, 22 Januari 2010

Oh My Facebook

Dulu aku mengenalmu,
Sejak pertama komentar di statusmu,
Lalu kau balik komentar di statusku
Semua interaksi yang terkesan biasa
komentar yang semua biasa.

Suatu hari aku tersentak kaget,
Dengan statusmu yang sama dengan statusku,

Di wall mu dan di wall ku tertulis:
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`” (QS. Al-Baqarah:75)

Aku lagsung koment, bilang kalau status kita sama,
Kau tampak biasa, aku pun sama

Beberapa hari berikutnya
Di wall ku tertulis:
“Kebajikan itu ialah akhlak yang baik dan dosa itu ialah sesuatu yang merisaukan dirimu dan kamu tidak senang bila diketahui orang lain. (HR. Muslim)”

Kau langsung koment, status kita sama lagi,
Beberapa kali berikutnya begitu
Lagi dan lagi
Dan bukan hanya sekali dua kali

---------------------------------------------

Semakin lama kita semakin dekat
Interaksi seakan begitu padat
Dari situ aku mulai terpikat
Betapa hati ini seakan terikat


------------------------------------------
Yang begitu membuatku semakin kaget
Pada hari itu,
Handphoneku berdering, dari no. tanpa nama
Aku angkat…
Salam dari Suara ujung sana terdengar
Suara seorang ibu.

“Assalamu’alaikum.. Nak”,
“wa’alaikumsalam Bu,”

“Koq, suaramu seperti seorang perempuan Nak?”
“Aku memang perempuan Bu,”

Belakangan baru aku ketahui,
Bahwa itu Ibumu,
Yang nyasar ingin menelponmu
Tapi malah sambung ke no.ku

No. HP kita ternyata hanya berbeda satu angka,
Dan itu membuat ibumu nyasar menelponku.

Tidak tahu, apakah ini hanya kebetulan semata?
-----------------------------------
Sejak itu, obrolan berlanjut via HP.

Bercanda,
Berkenalan,
Aktifitas apa?
Kuliah di mana?
Jurusan apa?
Semester berapa?
Dan lain-lain..

.

Lagi - lagi aku terkesima
Jurusan kita ternyata sama

Aku semakin Tak mengerti, apakah ini masih di anggap kebetulan semata?
----------------------------
Beberapa hari berselang
Kau mulai mengurangi ritme interaksi kita
Aku tidak paham
Kau pun mulai diam
--------------------------------
Dalam perjalananku pulang kampung waktu itu
Malam ku sendiri tak terlelap
Dalam kereta,
Aku mencoba membuka akunmu

Tak bisa terbuka,
Ternyata kau meremove ku
Aku menangis,
Aku pun risau,
Apakah salah ku?
Mencoba untuk tetap tenang dalam tidurku

Mimpi…mimpi…
Mimpi yang membuatku bangun seketika
Di tengah malam itu

Perasaanku semakin tak enak,
Gemetar tubuhku,
mengetik SMS untukmu,
ku awali menanyakan sujud mu malam ini?
Dan menanyakan
Apa alasanmu meremove akunku?

Ku tunggu balasanmu
Tak ada

Akupun mendesak mu
Tolong dibalas
Agar aku bisa tenang
Agar aku bisa kembali bermimpi

-----------------------------

Cahaya pagi mulai menyapa
Menembus sela-sela ruang yang menerpa
Kau membalas SMS itu,
Kau bilang tidak ada apa-apa

Kau meminta ku
Untuk SMS seperlunya
Tanpa canda,
Tanpa sia-sia,
Tanpa ada kata percuma,

Waktu pun ikut berbicara
Tidak juga di atas jam 9 malam,
Tidak dini hari,
Tidak usah mengingatkan Sujud malammu

Kau bilang takut menimbulkan fitnah
termasuk untuk menetralisir perasaan
dan untuk meremove ku dari fikiranmu.

Aku sepakat dengan syaratmu.
Aku pun menangis sejadi-jadinya,
Ternayata selama ini aku begitu,

-------------------

Semua Akun FB ku, kau blokir
No.HP mu kau ganti
Semua celah kau tutup rapat

Tak ada komunikasi
Tak ada lagi interaksi

Aku memilih sepi,
memilih sendiri,
Sepi dalam tangisan mata
Sendiri dalam linangan gerimis jiwa

Tangisan tak tertahankan
Di sepertiga malam terkahir
Aku memohon ampunan
Ya Ghofar
Ya Syahiid

Ampuni Hamba-Mu ini
Saksikanlah gemuruh pengharapan
Pengampunan atas segala dosa

--------------------------

Wahai kau yang ada disana
Kini Aku akan menikah

Di hari pernikahanku nanti
Aku ingin kau datang
Sebagai penenang hatiku
Bahwa kau telah bahagia



Jika semua berjalan sesuai rencanamu
Seharusnya kau sudah menikah di bulan Syawal tahun lalu
Di bulan sebelumnya aku pernah menunggu
Menuggu akan ada telepon lagi dari ibumu
Tapi bukan karena nyasar
Tapi menunggu kabar dari ibumu
Bahwa kau kan melamarku

Tapi ternyata tidak
Hampa
Kosong
Tak bertuan

----------------------

Aku tahu,
Aku memang tidak pantas untukmu
Aku yang pernah mengotori hatimu
Maafkan aku

Karena kau pernah bilang :
“jika menginginkan sesuatu yang suci, maka harus di tempuh dengan jalan yang suci pula”

Wahai kau yang ada disana
Aku memang tidak pantas untukmu

Terimakasih atas semua

Kau lebih pantas dengan yang lebih terjaga juga

----------------------------


Kini Aku akan menikah

Menikah dengan orang yang belum pernah aku kenal sebelumnya
Semua aku serahkan pada kakak laki-laki tertuaku
Tanpa Ta’aruf
Tanpa Nazhar

Aku percaya pada kakakku untuk memilih yang terbaik untukku

Sejak kejadian itu
Aku putuskan semua interaksi dengan lawan jenis
Aku menjadi terlalu sensitife dengan mereka

Karena kau pernah bilang
“seorang yang mengaku dirinya hamba, tidak akan mengulangi kesalahan berulang-ulang kali”

-----------------------

Kini Aku Akan Menikah…

Maafkan aku menulis begini
Kau tak lagi mungkin membaca catatanku ini,
karena ternyata blokir lebih kejam dari remove
Dan memang bukan itu yang kuharapkan..

Ku hanya ingin mengingatkan pada yang lain,
sebagai pelajaran untuk semua
Just It..

---------------------------

karena Aku Akan Menikah

-----------selesai penukilan--------------

Komentar saya (Abu Muhammad Al-Ashri) -kalau yang dituliskan saudari di atas benar:

Inilah bahaya facebook dan internet secara umum. Hendaknya kita menjaga diri kita dari segala pintu fitnah.

Hati-hatilah dengan akhwat facebookiyyah.

Karena..

Barangkali Kau bisa mendapatkan istri dari sana...
Namun istrimu menyimpan laki-laki lain di hatinya....
Yaitu laki-laki yang pernah ada di friendlist facebooknya.....

Maka, jika kau tidak ingin seperti itu...
Hendaknya kita pun juga menjaga diri kita....
Dengan tidak bermudah-mudahan dengan lawan jenis....
Jangan latih diri kita tuk mengkhianati kekasih kita....
Dengan FB-an pada Wanita yang bukan mahram kita...

karena...

al-jazaa'u min jinsi al'amali....

hati-hatilah dengan kata-kata "bersayap"...
yang mungkin kita kontarkan....
atau akhwat lontarkan kepada kita...

Kata-kata saudari kita di atas adalah kata-kata "bersayap"....
yaitu kata-kata yang mengatakan "pergilah",
tetapi orang yang ditujunya akan membacanya "datanglah"...
Yang sebenarnya kita pun malu mambacanya....

Maka, seorang muslim yang baik adalah yang menjauhi fitnah yang merusak....
Ia tidak terlena dengan untaian kata-kata wanita....
tetapi terlena dengan kalamullah dan kalam nabi-Nya...

Hati-hatilah dengan akhwat facebookiyyah.
Karena..
Barangkali Kau bisa mendapatkan istri dari sana...
Namun istrimu menyimpan laki-laki lain di hatinya....
Yaitu laki-laki yang pernah ada di friendlist facebooknya.....

-- bisa dimisalkan bagi kita para akhwat dgn mengganti kata2 akhwat dgn ikhwan...

' Hati-hatilah dengan ikhwan facebookiyyun.

Karena..

Barangkali Kau bisa mendapatkan suami dari sana...
Namun suamimu menyimpan wanita lain di hatinya....
Yaitu wanita yang pernah ada di friendlist facebooknya.....

Maka, jika kau tidak ingin seperti itu...
Hendaknya kita pun juga menjaga diri kita....
Dengan tidak bermudah-mudahan dengan lawan jenis....
Jangan latih diri kita tuk mengkhianati kekasih kita....
Dengan FB-an pada lelaki yang bukan mahram kita...

karena...

al-jazaa'u min jinsi al'amali....

hati-hatilah dengan kata-kata "bersayap"...
yang mungkin kita kontarkan....
atau ikhwan lontarkan kepada kita...

Kata-kata saudari kita di atas adalah kata-kata "bersayap"....
yaitu kata-kata yang mengatakan "pergilah",
tetapi orang yang ditujunya akan membacanya "datanglah"...
Yang sebenarnya kita pun malu mambacanya....

Maka, seorang muslim yang baik adalah yang menjauhi fitnah yang merusak....
Ia tidak terlena dengan untaian kata-kata lelaki....
tetapi terlena dengan kalamullah dan kalam nabi-Nya...

Hati-hatilah dengan ikhwan facebookiyyun.
Karena..
Barangkali Kau bisa mendapatkan suami dari sana...
Namun suamimu menyimpan wanita lain di hatinya....
Yaitu wanita yang pernah ada di friendlist facebooknya.....

wallahu a'lam...

Mengenai Saya

Foto saya
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
Kota Kelahiranku Bangka Island,tepatnya di Kotaberingin, pekerjaanku pengajar di IAIN Raden Fatah Palembang

Ceria Bersama

Ceria Bersama
Puncak Island

Total Tayangan Halaman

Bersama Kita Bisa

Bersama Kita Bisa
Jarlitnas NTB

Kehidupan Gembira

Kehidupan Gembira
Bersama Tetap Ada

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini

Berapa kali anda mengunjungi Blog ini