SALAM SERIBU KATA

Praktisi, Pemikir Pendidikan, Peneliti dan Pemerhati Sosial, Mahasiswa, Siswa dan Para Orang Tua, Ini merupakan buah pikiran seorang yang dhoif ingin berbagi pendapat, oleh karena itu kreativitas, catatan berharga dan pemikiran cerdas kita akan diberi manfaat jika disebar luaskan pada khalayak... Semoga kita Sukses...

Kamis, 26 Juli 2012

Perlunya Psikoterapi Spiritual sebagai Proteksi diri di era Transformasi

Beberapa dekade terakhir ini semakin tampak kepercayaan orang bahwa keberagamaan (religiusty), keimanan, atau spiritualitas memiliki peran untuk mengatasi berbagai problem kejiawaan manusia modern. Dikatakan oleh Najati (2001), keimanan kepada Tuhan merupaka kekuatan ruhaniah yang menopangnya dalam menanggung beratnya bebasn hidup, menghidarkannya dari keresahan yang menimpa banyak manusia moderen yang di dominasi oleh kehidupan materi dan persaingan keras guna merai pendapatan materi, tapi pada saat yang sama ia membutuhkan hidangan ruhaniah.
Peran keimanan dalam mengatasi berbagai problem manusia jauh-jauh hari telah diperkenalkan oleh psikolog-psikolog Barat. William James (dalam Dale Carnegie, 1980) berujar: “Tidak ragu lagi bahwa terapi yang terbaik bagi keresahan ialah keimanan kepada Tuhan merupakan kekuatan yang - tidak boleh tidak - harus terpenuhi untuk menopang seseorang dalam hidup ini”. Lebih lanjut ia berkata: “Antara Tuhan dengan kita ada hubungan yang tidak terputus. Apabila kita menundukkan diri di bawah pengarahan-Nya, maka semua cita-cita dan harapan kita akan tercapai”.
Orang-orang yang religius memiliki kepribadian yang lebih kuat dan terhindar dari berbagai penyakit jiwa. Henry Link, seorang psikolog Amerika Serikat, menyatakan bahwa berdasarkan pengalamannya yang lama dalam menerapkan percobaan-percobaan kejiwaan atas kaum buruh dalam proses pemulihan dan pengarahan profesi, ia mendapatkan bahwa pribadi-pribadi yang religius dan sering mendatangi tempat ibadah  memiliki kepribadian yang lebih kuat  dan baik daripada pribadi-pribadi yang tidak beragama atau tidak menjalankan sama sekali suatu macam ibadah. Sementara itu A.A. Brill, juga psikolog, berkata: “Induvidu yang benar-benar religius tidak akan pernah menderita sakit jiwa”.
Berbagai bukti empris di Barat dan Timur menunjukkan bahwa keberagaman, keimanan dan spiritualitas mengembangkan kepribadian seorang dan sekaligus menurunkan problem-problem psikologis yang dialaminya. Carl G. Jung setelah sekian lama bergelut dalam terapi psikologi, berkata: “Selama tiga puluh tahun yang lalu, pribadi-pribadi dari berbagai bangsa di dunia ini telah mengadakan konseling denganku dan aku pun telah menyembuhkan banyak pasien. Tidak kudapatkan seorang pasien pun diantara para pasien yang telah berada pada penggal kedua umur mereka (lebih dari 30 tahun) yang problem esensialnya bukan wawasan agama tentang kehidupan. Dapat kukatakan mereka telah menjadi mangsa penyakit. Sebab mereka telah kehilangan setiap agama yang ada pada setiap masa. Sungguh tidak ada seorangpun diantara mereka yang menjadi sembuh, kecuali setelah ia kembali kepada agama tentang kehidupan.
Berdasarkan berbagai macam penelitian lapangan, kedekatan kepada Allah melalui shalat dapat menurunkan kecemasan di kalangan pelajar (Adi, 1985) dan menurunkan stress kerja dikalangan karyawan (Karim, 1999); religiusitas (Akidah, Ibadah, Akhlak, Ilmu, Ihsan) itu menjadi induvidu melihat secara positif atas peristiwa-peristiwa buruk yang menimpanya (Astuti, 1999); kedekatan kepada Allah melalui dzikrullah dapat meningkatkan rasa tenang, menjadikan jdetak jantung lebih teratur, dan menambah makna hidup (Djuwita, 1983; Hady, 1982), orientasi intrinsic dalam beragama menurunkan perilaku delinkuen (Kurniawan, 1998), dan seterusnya.

Sabtu, 14 Juli 2012

ADA APA DENGAN KUALITAS PENDIDIKAN KITA

Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa, karenannya kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia ini tidak terlepas  dari kemajuan yang di mulai dari pendidikannya, pernyataan tersebut juga diyakini oleh bangsa ini. Namun pada kenyataannya, sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan.
Pendidikan di Indonesia masih belum berhasil menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal apalagi sampai taraf meningkatkan kualitas bangsa. Krisis multidimensi yang dialami bangsa ini diyakini banyak kalangan akibat gagalnya sistem pendidikan yang digunakan,[1] juga merosotnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Deveopment Index (HDI) Indonesia tidak terlepas dari rendahnya kualitas pendidikan di negeri kita ini.
Data UNDP tahun 2000 tentang Human Development Report atau Human Development Indeks menunjukkan dari 174 negara, Indonesia pada posisi  yang kurang menguntungkan bahkan memprihatinkan. Kita berada pada posisi ke-109, hanya 1 (satu) tingkat di atas Vietnam.[2] Sementara Malaysia pada posisi ke-56, Brunai di posisi ke-25 dan Singapura berada diperingkat ke-22. pendeknya semua negara ASEAN berada pada kisaran angka ke-100. Kecuali negara kita tercinta, bahkan Jepang satu-satunya negara ASEAN yang mampu bertengger di atas, yakni pada posisi ke-4.[3]
Sedangkan pada tahun 2003 IPM Indonesia merusut lagi dari 0,684 menjadi 0,0682; hal ini menyebabkan peringkat Indonesia di antara 175 negara juga merosot; dari posisi ke-109 menjadi posisi ke-112.[4] Tingkat partisipasi pendidikan yang rendah, angka drop-out yang tinggi, angka melanjutkan yang terbatas, prestasi belajar siswa yang rendah dan sebagainya, merupakan indikator gagalnya pendidikan nasional kita. [5]
Dan selanjutnya tulisan ini, secara singkat akan mencoba memberikan gambaran yang sederhana tentang arti penting pendidikan sebagai barometer meningkatnya kualitas bangsa.

Berbicara kemampuan sebagai bangsa, tampaknya kita belum siap benar menghadapi persaingan pada milenium ke tiga. Tenaga ahli kita belum cukup memadai untuk bersaing ditingkat global. Di lihat dari latar belakang pendidikan, angkatan kerja kita sungguh sangat memprihatinkan. Sebagian besar angkatan kerja kita tidak berpendidikan dan ini mencapai porsentasi 53%, mereka yang berpendidikan dasar sebanyak 34%, berpendidikan menengah pertama 11%, dan yang berpendidikan tinggi (universitas) hanya 2%.[6]
Bidang pendidikan memang menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Meskipun demikian pendidikan kita masih banyak melahirkan mismatch yang luar  biasa dengan tuntutan dunia kerja dan integritas suatu bangsa; anak didik kita ketika keluar dan atau menyelesaikan program pendidikan, seolah berada di ruang yang tidak tersentuh oleh realitas kehidupan yang mereka pelajari di sekolah-sekolah, mereka merasa asing dengan lingkungan sekitar mereka.
Pelajaran yang mereka pelajari sewaktu masih di bangku sekolah seolah asing dan tidak sejalan dengan alur kehidupan realitas keseharian mereka;[7] mereka terasing dengan kehidupan realitas yang sangat kontras dengan pelajaran yang atau tidak pernah mereka pelajari di sekolah-sekolah. Dengan rasa keterasingan ini, akhirnya mereka mencoba mencari sesuatu akifitas yang dapat membantu mereka keluar dari rasa itu; dan akhirnya: pergaulan bebas, penyalahgunaan obat-obatan terlarang (NAZA) menghiasi aktifitas keseharian mereka.[8]
Kondisi pendidikan kita yang masih banyak melahirkan mismatch dengan tuntutan dunia kerja, juga berdampak kepada daya saing kita secara global amat rendah. Sebagai contoh, secara kuantitatif: data pengangguran sarjana berikut ini menggambarkan betapa gawatnya mismatch yang terjadi disektor pendidikan tinggi kita.
Tabel  I, Persentase Penganguran Berdasarkan Bidang pendidikan
No
Bidang Pendidikan
Tingkat Penganguran
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pendidikan
Seni
Ekonomi
Psikologi
Hukum
Matematika
Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu Kedokteran
Teknik
Pertanian
10,97%
18,90%
16,31%
3,23%
14,99%
11,80%
10,01%
3,62%
7,64%
18,16%
Sumber: Ceramah Dirjen Dikti pada Rakernas Pascasarjana di Bandung, 27 Juni 1997

Rendahnya kualitas SDM kita juga dapat dilihat dengan perbandingan tenaga ahli bergelas doktor (S3) untuk setiap juta penduduk terhadap negara lain. Data mengenai itu dapat di lihat berikut:
Tabel II, Jumlah Doktor dari tiap  juta penduduk di beberapa negara
No
Negara
Jumlah Doktor
1
2
3
4
5
6
7
8
Amerika Serikat
Jepang
Jerman
Prancis
India
Mesir
Israel
Indonesia
6.500
6.500
4.000
5.000
1.250
400
16.500
65
Sumber: Ceramah Dirjen Dikti pada Rakernas Pascasarjana di Bandung, 27 Juni 1997

Sementara itu, selain rendahnya Indek Prestasi Manusia (IPM) Indonesia, seperti yag digambarkan di atas. Pada waktu hampir bersamaan, lembaga ekonomi yang bermarkas di Swiss, World Economic Forum (WEF), menerbitkan publikasinya mengenai kemampuan berkompetisi suatu negara. Dalam laporannya berjudul Global Competitiveness Report 1999 nama Indonesia berada pada urutan 37 dari 59 negara.[9]
Kedua publikasi itu secara tidak langsung mencerminkan rendahnya kinerja pendidikan nasional kita. Logikanya sederhana saja: kurang berhasilnya pembangunan pendidikan, kesehatan, dan kependudukan di Indonesia berhubungan secara timbal balik dengan kurang berhasilnya kita membangun SDM. Selanjutnya hal ini mengakibatkan rendahnya daya kompetisi kita dalam mengarungi persaingan di era global.
Rendahnya kinerja pendidikan nasional kita juga ditunjukkan AsiaWeek (30 Juni 2000) lalu mengenai perguruan tinggi terbaik di Asia (dan Australia). Dari 39 perguruan tinggi terbaik di bidang iptek (science and technology university) Indonesia hanya berhasil memasukkan satu nama, ITB Bandung, itu pun di urutan ke-21. Sementara itu dari 77 perguruan tinggi terbaik kategori multi bidang (multi-disciplinary university), Indonesia hanya berhasil memajang empat nama; itu pun di urutan bontot, yaitu UI Jakarta urutan ke-61, UGM Yogyakarta ke-68, Undip Semarang ke-73, Unair Surabaya ke-75.[10]
Bila dibandingkan dengan Malaysia, kita pantas merasa prihatin karena tiga perguruan tinggi jiran yang masuk peringkat seluruhnya di atas kita. University of Malaya urutan ke-47, Universiti Putra Malaysia (UPM) urutan ke-52, dan Universiti Sains Malaysia (USM) urutan ke-57. Mengenai hal ini kita pantas malu karena dalam sejarahnya banyak putra-putra Indonesia yang dulu membantu mengembangkan perguruan tinggi di Malaysia itu, namun kini kereta api mutu kita telah ditinggal jauh di belakang.[11]
Mengapa semua itu terjadi? Karena sektor pendidikan tidak pernah diberi alokasi dana yang cukup guna mengembangkan dirinya. Dalam kurun waktu tiga atau empat tahun terakhir ini pemerintah hanya mengalokasi dana pendidikan sekitar 1,4 persen dari GNP. Angka ini terlalu rendah karena rata-rata untuk negara berkembang sudah 3,8 persen dan untuk negara maju 5,1 persen.[12]


[1] Ali Maksum, Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern, Mencari Visi Baru Atas Realitas Pendidikan Kita, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2000), Hlm.               227

[2] Sumber UNDP, Dalam Ali Khomsan IPB, Kompas, 29 September 2000

[3] Kalis Purwanto, Pengembangan Pola Belajar Mandiri dalam Rangka Menyambut Era Otonomi, Makalah disampaikan dalam Seminar Kedaerahan, Membangun Sistem Pendidikan Lokal Kal-Sel yang Tangguh dan Kompetitif dalam Rangka Menyambut Otonomi Daerah, (Yogyakarta, Balaikunti Wanitatama, 07 Oktober 2000)

[4] Ali Maksum, Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma….., Hlm. 228

[5] Ki Supriyoko, Kompas, 21 Agustus 2000

[6] Suyanto, Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), Hlm. 3

[7] Djohar, Analisi Kebijakan Pendidikan Islam, Bahan Kuliah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004
[8] Untuk Penyalahgunaan Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif (NAZA) di kalangan remaja dapat dilihat dalam "Remaja dan Permasalahannya"; Dadang Hawari, Al-Qur'an; Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Edisi Revisi), (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), Hlm. 2234-247.
[9] Ki Supriyoko, Kompas, 21 Agustus 2000

[10] UIN Yogyakarta kapan ya?
[11] Ki Supriyoko, Kompas, 21 Agustus 2000
[12] Ki Supriyoko, Kompas, 21 Agustus 2000

Rabu, 11 Juli 2012

Sebuah Renungan tentang Pendidikan Kita

Pendidikan di Era Soeharto (Orde Baru)
Rezim orde baru yang otoriter telah melahirkan sistem pendidikan yang tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif, meskipun secara kuantitatif rezim ini telah mampu menunjukkan prestasi yang cukup baik di bidang pendidikan.
Kemajuan pendidikan secara kuantitatif memang kita rasakan selama orde baru berkuasa. Sebagai contoh, data statistik yang dikemukakan oleh Abbas menunjukkan bahwa jumlah murid sekolah dasar meningkat dari 13.023.000 siswa pada tahun 1967/1968 menjadi 29.239.238 siswa dalam tahun 1997/1998, atau telah terjadi peningkatan sebesar 224.59 %. Dalam priode yang sama, murid SLTP juga meningkat dari 1.000.000 siswa menjadi 9.227.891 siswa atau terjadi peningkatan sebesar 902.30 %. Pun juga pada jenjang SLTA meningkat dari 500.000 siswa menjadi 4.932.083 siswa atau meningkat sebesar 1000%. Dalam tahun yang sama mahasiswa juga meningkat dari 230.000 mahasiswa menjadi 2.703.896 mahasiswa atau meningkat 1.176%.
Namun demikian, pemberdayaan masyarakat secara luas, sebagai cermin dari keberhasilan itu tidak pernah terjadi. Mengapa demikian? Karena orde baru selama lima tahun berkuasa, secara sistematis telah menyiapkan skenario pemerintahan yang memiliki visi dan misi utama untuk melestarikan kekuasaan dengan berbagai cara dan metode.
 Akibatnya, sistem pendididkan kemudian dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menciptakan safety net bagi pelestarian kekuasaan. Visi dan misi pelestarian kekuasaan itu melahirkan kebijakan pendidikan yang bersifat straight jacket.
Fenomena yang digambarkan tersebut dapat dilihat dari indikator lahirnya kurikulum nasional untuk segala senjang pendidikan. Sebagai contoh, dipaksakannya aturan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) pada tahun 1970 an sebagai ganti dewan mahasiswa di Perguruan Tinggi, dipusatkannya sumber dana yang dikumpulkan dari masyarakat di bawah bendera PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak).
Sistem evaluasi belajar terpusat, yang sangat mendewakan nem, dan lainnya. Semua metode itu akhirnya membawa kita pada budaya kualitas semu dan budaya kualitas pura-pura. Dengan istilah lain, fenomena ini dapat dimasukkan juga pada tatanan budaya hipokrit yang menghalalkan banyak hal di dunia pendidikan melalui modal sulap.
Pada era orde baru, pendidikan di semua jenjang lebih mementingkan aspek kognitif (intelegensi quotient). Sedangkan aspek afektif (emosional quotien atau sistem nilai), sangat ditelantarkan. Dalam skala mikro, proses pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan hanya memusatkan perhatiannya pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya, kemampuan otak kanan kurang di tumbuh kembangkan dan bahkan dapat juga dikatakan tidak pernah dikembangkan secara sistematis.
Dengan kondisi itu, menyebabkan pendidikan nasional kita tidak mampu menghasilkan orang-orang mandiri, kreatif, memiliki integritas, dan orang-orang yang mampu berkomunikasi secara baik dengan lingkungan fisik dan sosial serta komunitas kehidupan mereka (peserta didik). Akibatnya, dilihat dari tingkat pendidikan tinggi, pengangguran sarjana yang secara formal termasuk kelompok terpelajar/terdidik semakin banyak dan meluas.
Pendidikan di Era Sekarang (Era Reformasi)
Pendidikan Indonesia saat ini merupakan hasil dari kebijakan politik pemerintah Indonesia selama ini. Mulai dari pemerintahan orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Di lihat dari realitas praktisnya, pendidikan kita masih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi materialisme-kafitalis.
Materialisasi atau proses menjadikan semua yang bernilai materi telah merunyak di segala sendi sistem pendidikan Indonesia. Sendi-sendi yang di masuki bukan hanya materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, dan lingkungan, tetapi tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah kepada hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang dapat diharapkan dari proses pendidikan tersebut.
Materi pelajaran kita (kurikulum) di buat sedemikian rupa dan di arahkan agar peserta didik dapat/mampu mendapatkan pekerjaan yang dapat menghasilkan pendapatan yang besar. Kurikulum tersebut di buat dan direncanakan dengan sistematika yang sedemikian rupa, dan untuk mengikutinya dibutuhkan biaya yang sangat besar. Jika dalam proses memperolehnya saja peserta didik harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar, maka dapat dibayangkan; setelah mereka memperoleh pengetahuan tersebut mereka juga akan berupaya bagaimana dana dalam jumlah yang besar tadi dapat kembali, dan tentunya juga berupaya untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya. Memang teori modern mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi buat masa depan. Investasi dalam dunia ekonomi dipahami sebagai modal yang akan dipetik keuntungannya di waktu yang akan datang. Sedangkan prinsip ekonomi yang diajarkan di sekolah menengah adalah mengeluarkan modal sesedikit mungkin untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dari sini dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan telah dijadikan atau diselewingkan tujuannya hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu tujuan pendidikan untuk "membentuk manusia yang utuh dan tidak termarjinalkan" akan sulit tercapai disebabkan prinsip ekonomi memang tidak mengenal nilai-nilai spritual, moralitas, dan kebersamaan. Dalam aspek pendidikan misalnya banyak sekali praktek dan prilaku yang menjual nilai untuk mendapatkan uang. Bahkan ada sebagian pendidik yang menjadikan kewenangannya untuk memberikan nilai kepada peserta didik demi mendapatkan pendapatan dari peserta didiknya sendiri. Modusnya adalah dengan memberikan nilai rendah pada program reguler, kemudian akan diberikan nilai agak tinggi atau bahkan tinggi pada program khusus di mana peserta didik juga membayar dengan biaya khusus.
Aspek peserta didik merupakan korban dari proses pendidikan yang ada. Jika sistem pendidikan nasional mengalami reduksi makna pendidikan yang hanya menjadi sekedar penyampaian pengetahuan (transfer of knowleges) belaka, maka pada saat itulah peserta didik telah diberi pelajaran yang sangat luar biasa pengaruhnya dalam kehidupannya kelak.
Materialisasi aspek manajemen pendidikan dapat dilihat pada praktik munculnya kebanggaan semua pihak baik pengelola, pendidik, peserta didik, dan wali akan megahnya gedung dan kampus di mana mereka berada dan ikut andil di dalamnya. Jika kemegahan gedung kampus dan sekolah menjadi ukuran kemajuan sebuah pendidikan, maka dapat dibayangkan orientasi pendidikannya akan menjadi seperti apa. Materialisasi pada aspek lingkungan pendidikan merupakan fenomena yang sangat jelas. Lingkungan pendidikan di sini dipahami sebagai masyarakat yang berada di sekitar pendidikan atau dengan kata lain adalah masyarakat Indonesia sendiri. Kemasyarakatan Indonesia setelah memasuki era modernisasi telah mengalami pergeseran yang luar biasa.
 Pergeseran tersebut mencakup pergeseran orientasi kehidupan, budaya, gaya hidup, pandangan hidup, prilaku politik, prilaku ekonomi, dan pergesaran  terhadap ajaran agama. Modernisasi pada intinya merupakan upaya rasionalisasi seluruh aspek kehidupan masyarakat, dari yang awalnya kental akan nuansa religius, sakralitas, dan spritual, bahkan transedental, obyektivitas, dan realitas-empiris.
Materialisasi tujuan pendidikan merupakan landasan awal bagi proses materialisasi seluruh aspek di atas. Tujuan pendidikan yang di materialisasikan adalah upaya mencapai tujuan pendidikan nasional dengan asumsi dapat diukur secara kuantitatif dan dapat dilihat hasilnya secara nyata; misalnya, berapa alumni yang telah menjadi dokter, berapa yang telah menjadi pengacara atau berapa alumni yang telah menjadi anggota dewan. Dengan melihat jumlah alumni yang telah menduduki jabatan strategis, baik di lembaga pemerintahan maupun di kantor-kantor mereka, maka dapat diketahui pula keberhasilan sebuah lembaga pendidikan. Dengan sistem pendidikan seperti ini, akhirnya kita jarang menemukan atau bahkan tidak ada, standar keberhasilan pendidikan yang dilihat dari berapa alumni yang telah menjadi manusia bermoral, berapa alumni yang telah memberikan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya persaudaraan, dan berapa alumni yang telah benar-benar melaksanakan tujuan pendidikannya, yaitu menjadi manusia seutuhnya; Maksudnya manusia yang sehat secara jasmani dan ruhani, secara material dan spiritual, secara fisik dan mental, serta secara intelektual dan moral telah terjadi keseimbangan yang nyata.

Mengenai Saya

Foto saya
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
Kota Kelahiranku Bangka Island,tepatnya di Kotaberingin, pekerjaanku pengajar di IAIN Raden Fatah Palembang

Ceria Bersama

Ceria Bersama
Puncak Island

Total Tayangan Halaman

Bersama Kita Bisa

Bersama Kita Bisa
Jarlitnas NTB

Kehidupan Gembira

Kehidupan Gembira
Bersama Tetap Ada

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini

Berapa kali anda mengunjungi Blog ini