SALAM SERIBU KATA

Praktisi, Pemikir Pendidikan, Peneliti dan Pemerhati Sosial, Mahasiswa, Siswa dan Para Orang Tua, Ini merupakan buah pikiran seorang yang dhoif ingin berbagi pendapat, oleh karena itu kreativitas, catatan berharga dan pemikiran cerdas kita akan diberi manfaat jika disebar luaskan pada khalayak... Semoga kita Sukses...

Selasa, 27 April 2010

Trend Pendidikan Ke Depan oleh Erwin Suryanegera

BHINEKA TUNGGAL IKA. Satu baris kalimat yang terpatri pada sehelai pita yang dicengkram kuat dua cakar sang Garuda, yang di dadanya melekat perisai Pancasila, sebagai lambang negara tercinta ini. Tampaknya, kebhinekaan itu terus menjadi persoalan di negeri ini, baik itu politik, hukum, ekonomi, lingkungan hidup, sosial, maupun budaya. Tepatnya, belum sempat satu persoalan rampung diatasi, muncul persoalan baru. Bahkan, banyak pula sebuah persoalan terus-menerus menjadi persoalan, yang seakan tak dapat terselesaikan. Salah satunya “pendidikan”.

Sebenarnya di negeri ini jumlah Lembaga Perguruan Tinggi yang dikenal sebagai LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), baik berbentuk Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) maupun Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP), cukup banyak. Keberadaan lembaga tersebut tentunya dimaksudkan guna menjawab persoalan-persoalan dalam dunia pendidikan di Indonesia ini. Dan, tidak terbantahkan banyak pakar pendidikan kita lahir, atau berasal dari lembaga tersebut. Namun “bola panas” dunia pendidikan Indonesia masih terus menggelinding, dan IKIP diganti identitasnya menjadi Universitas Negeri, kecuali IKIP Bandung, yang masih tetap mempertahankan inisial “pendidikan” menjadi UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), walau sering diplesetkan menjadi Universitas Pasti IKIP.

Banyak sudah pendapat yang dilontarkan, termasuk upaya-upaya yang dilakukan guna pembenahan pendidikan di negeri ini. Menyoal upaya pembenahan pendidikan, jelas yang pertama dan utama sebagai pengemban tanggung jawabnya adalah negara, dalam hal ini tentunya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) bersama penyelenggara negara. Merekalah yang harus memulai atau mengawali pembenahan pengelolaan pendidikan.

Belum Proporsional
Berbicara profesionalitas, apresiasi terhadap pendidikan belumlah baik dan memadai. Salah satu indikatornya setiap seleksi peran ijazah atau sertifikat masih sangat dominan, akibatnya kinerja orang-orang yang lolos seleksi pun menjadi sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan. Guru atau dosen memang merupakan salah satu dari sekian banyak tugas keprofesian. Menjadi guru atau dosen sebagai sebuah kerja profesi semestinya, dan memang harus, menarik minat serta menggiurkan. Mengingat beban tugas dan tanggung jawab bagi mereka yang mengemban tugas keprofesian ini tidak ringan, sudah selayaknya imbalan, dan fasilitas penunjang yang mereka terima juga harus lebih atau minimal proporsional, artinya tidak dengan hanya sekedar “rayuan gombal” seperti sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Jadi, memperhatikan kenyataan akan rendahnya imbalan atau layanan fasilitas seperti yang diterima guru atau dosen saat ini, maka kita atau negara juga jangan terlalu banyak menuntut mereka.

Bila dibandingkan profesi lainnya, seperti dokter atau tenaga paramedis, kehidupan guru atau dosen bagai “api jauh dari panggang”. Guru atau dosen tidak mungkin sibuk di tempat prakteknya di rumah, seperti seorang dokter yang banyak melayani pasien di tempat prakteknya dibandingkan di rumah sakit, tempatnya bekerja.

Intinya, selama negara masih belum berkeinginan memperlakukan para profesional secara proporsional, kecil harapan negeri ini memiliki para profesional di berbagai bidang.
Ya, setelah Indonesia merdeka, peristiwa politik 1966, dan reformasi 1998, adakah pemimpin kita yang bertanya seperti Kaisar Hirohito, setelah Jepang habis dibom Sekutu, berapa jumlah guru yang tersisa?

Profesionalitas seseorang sangat bergantung pada kompetensi yang dimilikinya, dan sejauh mana dia mampu mengembangkannya secara maksimal. Sistem ranking, kelas unggul, dan sekolah unggul yang ada, mungkin perlu dikaji ulang seberapa besar manfaatnya. Semula penerapannya bertujuan untuk memotivasi siswa dalam belajar, tapi kenyataan di lapangan menunjukkan pencapaian tujuan siswa yang memang termotivasi cenderung kecil.

Bahkan, dampak yang mencengangkan; ada sejumlah guru atau sekolah yang tega membocorkan kunci jawaban ujian kepada siswanya, demi mencapai apa yang ditargetkan, yakni bisa dikatakan sebagai sekolah unggul karena nilai angka siswanya memang besar!

Pengelolaan Pendidikan
Perekrutan dan kesejahteraan guru atau dosen, pengawas sekolah atau mata pelajaran, serta kurikulum, gedung sekolah, buku pelajaran, badan akreditasi, peran masyarakat atau swasta, standar mutu pendidikan, dan seabrek persoalan pendidikan lainnya, seolah tak kunjung menyusut melainkan terus menumpuk, semakin rumit, dan kompleks. Demikian pula anggaran pendidikan, yang tampaknya sulit bergerak naik, bila dibandingkan anggaran lainnya, terutama dalam pembangunan pada pemerintahan daerah.

Sebetulnya kunci persoalan di atas, berada pada bagaimana kita mengelola pendidikan ini. Keberadaan jumlah sekolah-sekolah negeri, sudah terlalu banyak sehingga cukup membebani dunia pendidikan kita, dan ini seharusnya tidak perlu terjadi. Negara pun harus memikul beban biaya pendidikan yang besar. Di samping itu, disadari atau tidak, sekolah swasta yang memang dibutuhkan peran sertanya sebagai mitra pemerintah dalam membangun SDM menjadi terjepit, dan sulit dapat berkiprah lebih jauh, terutama sekolah-sekolah swasta yang kurang “bonafid”. Ironisnya sekolah-sekolah tersebut hanya menjadi bahan cemoohan bukan diupayakan untuk dibantu dan didukung agar dapat mandiri dan berkembang.

Menurut saya, ke depan, sekolah dasar dan menengah negeri jumlahnya tidak perlu banyak, terutama di kota-kota besar. Sekolah negeri hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang lemah secara ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang anaknya memiliki bakat atau prestasi luar biasa. Tepatnya, bagi mereka yang memenuhi persyaratan untuk bersekolah di sekolah negeri, maka negara berkewajiban membiayai semua kebutuhan pendidikannya.

Untuk masyarakat yang tingkat ekonominya masuk kategori menengah maka mereka harus memilih sekolah swasta, sedangkan bagi masyarakat yang tingkat ekonominya di atas kelompok menengah, selain harus memilih sekolah swasta mereka pun harus ikut memberikan bantuan yang dapat mendorong sekolah swasta yang bersangkutan menjadi lebih berkemampuan dan berkualitas. Dengan kondisi pengelolaan pendidikan yang demikian maka anggaran pendidikan yang jumlahnya berkisar 20% sudah bisa mencukupi kewajiban negara membiayai pendidikan, termasuk di dalamnya dapat dialokasikan dana subsidi bagi pengembangan guru dan siswa sekolah swasta.

Dengan jumlah sekolah negeri yang sedikit, tetapi memiliki fasilitas pendidikan yang merata, lengkap, dan canggih, tentu kebutuhan tenaga guru PNS pun menjadi sedikit. Nah, dengan kebutuhan tenaga guru PNS yang sedikit ini jelas akan mendorong tingkat persaingan menjadi tinggi. Bila tingkat persaingan menjadi guru PNS tinggi, maka sistem perekrutan guru dapat diperketat guna mendapatkan tenaga pendidik yang benar-benar berkualitas.

Jika jumlah sekolah dan guru negeri sedikit, maka memungkinkan bagi pemerintah untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya antara 4 sampai 5 kali lipat dari penghasilan guru seperti sekarang. Lalu, pemerintah atau penyelenggara pendidikan memberikan perumahan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya, yang mana lokasinya tidak boleh jauh dari sekolah tempat mereka mengajar atau bekerja.

Bekas gedung-gedung sekolah negeri, yang tidak termasuk dari jumlah sekolah negeri yang dioptimalkan, dapat diswastanisasikan, sedangkan siswanya diatur sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tuanya, termasuk siswa-siswa di sekolah swasta perlu didata ulang. Untuk siswa sekolah swasta yang memenuhi syarat masuk ke sekolah negeri harus ditawarkan, dan diberi kesempatan satu tahun ajaran untuk mempertimbangkan kepindahannya ke sekolah negeri. Bagi guru PNS yang tidak lolos dalam seleksi ulang guru sekolah negeri, kepada mereka negara memberikan pensiun dini, dan diprioritaskan untuk dapat mengikuti seleksi guru sekolah swasta.

Era otonomi daerah, seperti sekarang ini adalah saatnya bagi khususnya Pemerintah Daerah untuk sungguh-sungguh berpihak kepada dunia pendidikan di wilayahnya masing-masing, karena generasi muda inilah yang nantinya akan memegang dan menjalankan tongkat estafet dalam menumbuhkembangkan potensi yang ada di daerahnya masing-masing. Sehingga era otda tidak lagi terkesan hanya sebagai ajang bagi-bagi “kursi” kekuasaan di daerah.

Negara, dalam hal ini pemerintah, membiayai atau menanggung dana pendidikan anak atau siswa dari masyarakat yang lemah secara ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang anaknya memiliki bakat atau prestasi luar biasa, seperti yang disebutkan di atas tidak dapat disamakan dengan program yang ada (bhineka subsidi) seperti yang dilakukan selama ini.

Program raskin, alokasi dana dampak kenaikan BBM, dan lain sebagainya adalah ibarat masyarakat dininabobokan dengan terus-menerus di beri “ikan” bukan mata “kail”, yang cenderung bermuatan politis atau merupakan upaya “meredam” kemungkinan adanya gejolak sosial, ekonomi, dan politik belaka. Jika masyarakat hanya dibuai-buai atau diberi ikan, tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Hal mendasar yang dibutuhkan masyarakat adalah kail, karena dengan bekal mata kail inilah nantinya dapat menjadi sarana dalam berupaya memberi arti dalam hidup dan kehidupannya.

Pendidikan gratis dan atau sekolah gratis, kini tampak marak menjadi bualan politik calon legislatif pun calon kepala daerah kepada masyarakatnya. Namanya bualan tentu ada korbannya, siapa lagi kalau bukan sebagian besar masyarakat pemilihnya. Logika apa yang dipakai, sehingga berani mengumbar janji “Pendidikan Gratis Indonesia Cerdas”…misalnya!

Isu pendidikan gratis dipolitisasi, dijadikan jargon, sekedar “kelakar betok” satu istilah “Palembangan”. Di wilayah Batanghari Sembilan, ketika datang “musim buah”, segala sesuatunya menjadi ramai, hangat, aktual, menarik, melibatkan banyak orang, dapat kesempatan menarik untung baik secara langsung maupun tidak langsung.

Setelah musim kemarau berlalu, musim hujan menjelang, dan seperti biasanya musim buah pun silih berganti. Kalau, kemarin musim mangga, duku, kini musim durian datang. Dusun-dusun tadinya sepi, berubah ramai karena ada transaksi borong-memborong duren, mulai dari putik bunga hingga gelantungan buah-buah duren yang memang sudah hampir masak, dan terutama tentunya tumpukan buah duren yang hanya tinggal diangkut, siap diekspor ke luar dusun.

Di Palembang, pasar-pasar, kaki-kaki lima, dan beberapa sisi jalan pun menjadi bernuansa dan beraroma durian. Para penjual durian itu ada yang membikin pondok-pondokan, tetapi ada pula yang memanfaatkan bak mobil-mobil pik-upnya. Dalam kondisi demikian, tidak sedikit mereka yang memanfaatkanya guna menarik utung, termasuk para penarik retribusi baik yang resmi maupun yang gelap. Ada yang berencana untuk biaya sekolah anaknya, mungkin juga untuk beli teve baru, kulkas baru, motor baru, atau wong rumah baru. Hanya para pasukan kuning yang terpaksa mengelus dada, karena musim durian berarti membludaknya sampah-sampah, adalah konsekuensi tambahan bagi beban tugas mereka.

Demikian pula suasana pemilihan caleg dan kepala daerah, ilustrasi di atas tidak jauh berbeda dengan kondisi jelang pemilihan di banyak daerah. Tampak dari masing-masing bakal calon telah mulai meneriakkan atau mengkampanyekan kesiapannya akan maju mencalonkan diri dalam kompetisi politis tersebut. Teriakan-teriakan itu ada yang disampaikan secara langsung dalam kegiatan “klise” (tergantung dari sudut pandang) seperti jumpa kader atau simpatisan, dan atau banyak pula yang memanfaatkan media komunikasi visual grafis – elektronik, seperti baligho, spanduk, poster, kalender, pamlet, leaflet, koran, majalah, buku, radio, teve, termasuk fasilitas dunia maya bagi kampanyenya.

Bukan hanya umbar janji “Pendidikan Gratis,” “Sekolah Gratis” dijadikan isu pendidikan yang menjadi laris manis (bukan “seksi”), tema kesehatan dengan “Berobat Gratis, Masyarakat Sehat” juga dijadikan jejampi menarik jelang pemilukada pun pemilu caleg. Pertanyaannya, salahkah?

Sesungguhnya patut disyukuri dan semoga memang muncul dari kesadaran yang hakiki (nawaitu), bila pendidikan dan kesehatan menjadi perhatian utama dari beberapa kandidat dewan terhormat juga kandidat pemimpin, iyakah…? Karena, harus dipahami makna pendidikan gratis itu, artinya menyeluruh untuk jenjang dan ragam jenis pembelajaran, termasuk kursus, les-privat, kuliah di perguruan tinggi, dan sebagainya, sangupkah mereka memenuhi sesuai janjinya? Jangan, setelah terpilih berobah haluan..hana-hitulah, alasannya…!

Jujur saja, sebetulnya penerapan istilah “gratis” yang “pasaran” itu, sangat tidak tepat bagi dunia pendidikan, bahkan cenderung merendahkan hakikat pendidikan yang memiliki konsep dua arah, hak dan kewajiban. Sementara gratis itu bersifat satu arah, artinya pihak yang menggratiskan tidak berhak menuntut, dan pihak yang digratiskan tidak pula memiliki kewajiban.

Misalkan, di suatu mall pada counter yang menjual alat-alat dapur tertulis: “Membeli satu produk, gratis 1 lusin gelas”. Maka, pihak pengelola tidak bisa serta merta mengharuskan setiap pengunjung membeli produk yang mereka jual, demikian pula sebaliknya dengan adanya gratisan 1 lusin gelas itu, bukan berarti setiap pengunjung menjadi berkewajiban harus membeli produk yang ditawarkan oleh pengelola mall.

Sehingga, penggunaan atau penerapan sekolah atau pendidikan gratis itu tidak benar, sebab sudah jelas dan sesuai dengan semangat pasal 31 ayat 2 UUD 1945 sebagai rambu-rambunya, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib pula membiayainya.” Pada kalimat tadi tidak sedikit pun mengisyaratkan adanya makna “gratis”, karena di situ jelas ada hak dan sekaligus kewajiban pada masing-masing pihak, baik sebagai warga negara maupun pemerintah.

Pendidikan ke Depan

Mengapa pendidikan bermasalah? Berbagai teori dikemukakan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Namun, banyak orang sering lupa bahwa masalah pendidikan yang sebenarnya mendasar adalah bagaimana memanusiakan anak sebagai manusia melalui pendidikan. Permasalahan pendidikan di negeri ini lebih banyak disebabkan masalah anak sebagai anak manusia selalu diselesaikan menurut beragam kepentingan orang tua/orang dewasa. Harus disadari dan dipahami bahwa masalah pendidikan bukan hanya sekedar memberdayakan pikiran dan pencapaian prestasi belajar, melainkan berkaitan erat dengan nurani dan moral spiritual serta pembentukan karakter.

Selama ini bila dicermati banyak sensitivitas yang hilang dari proses pembelajaran di sekolah, karena perhatian sekolah/guru lebih terjebak pada faktor kognitif. “Karakter yang berkualitas harus dibentuk sejak usia dini, kegagalan dalam penanaman kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi-pribadi yang bermasalah kelak di masa dewasanya” (Freud). Bangsa ini telah berkali-kali diterpa badai, sebagai dampak dari pendidikan yang cenderung hanya memperhatikan faktor kognitif (fungsi belahan otak kiri). Kerusuhan Mei 1998, meningkatnya tindak kekerasan baik secara individu maupun kolektif, meningkatnya prilaku merusak diri (narkoba, seks bebas, alkohol), penurunan etos kerja, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, perilaku tidak jujur yang telah begitu membudaya, dan lain sebagainya.

Sampai saat ini pendidikan di sekolah masih berorientasi pada filosofi “pedagogy of the oppresed” yang menekan dan menindas peserta didik. Banyak guru yang keasyikan memberi tugas sebanyak-banyaknya, guru cenderung hanya ingin didengarkan oleh siswanya (siswa menjadi pendengar pasif), banyak pula guru yang memposisikan dirinya sebagai subjek sedangkan peserta didiknya hanya dijadikan objek dalam proses pembelajaran, akibatnya peserta didik cenderung belajar hanya untuk sekolah.

Sudah saatnya kita tinggalkan sistem pendidikan yang tumpul itu, ke depan pendidikan harus berorientasi pada filosofi “pedagogy of love”. Guru harus mampu mengundang keingintahuan peserta didiknya, yang dapat melarutkan jiwa siswa pada kesukaan/senang dan akhirnya cinta belajar. Pihak sekolah, guru, dan para praktisi pendidikan lainnya harus menyadari bahwa belahan otak kiri dan kanan peserta didik perlu dioptimalkan secara seimbang dan menyeluruh, kemudian mengaplikasikannya secara nyata dalam proses pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran dapat berjalan cepat, efektif, penuh kreatifitas yang menyenangkan, mengasyikkan, dan tentu akan mencerdaskan serta menguatkan posisi anak sebagai anak harapan negara dan bangsa Indonesia tercinta ini.

Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan yang dimulai pada tahun 2004 dengan nilai 4,01. Nilai tersebut ditetapkan sebagai standar nasional, regional, ataupun internasional/global itu tidak salah, bahkan dengan skor ini sebetulnya masih terlalu rendah, dan mengapa tidak ditetapkan saja dengan nilai 7,01 atau 8,01 sekalian? Kesalahannya terletak pada penerapan standar mutu pendidikan itu, memangnya peserta didik dapat disamakan dengan produk teknologi sehingga perlu diberi standar mutu seperti ISO 2000, …, 2003, 2004, 2005, 2007 dan seterusnya. Pemerintah dalam hal ini Mendiknas, tampaknya masih mengunakan paradigma pendidikan yang tumpul, menyeragamkan, dan jelas menghakimi siswa (masalah anak yang diselesaikan dengan kepentingan orang dewasa).

Standar mutu pendidikan seharusnya tidak boleh dijadikan standar kelulusan, karena fungsi standar mutu pendidikan yang tepat adalah sebagai target capaian ideal dari suatu proses pembelajaran. Sehingga skor itu menjadi standar atau alat ukur dalam mengevaluasi sejauh mana hasil dari kinerja Depdiknas, Dinas Diknas Provinsi, Dinas Diknas Kabupaten/Kota, sekolah, dan terutama guru dalam melakukan KBM. Berdasarkan standar mutu pendidikan yang ada, dan ternyata setelah dievaluasi hasilnya rata-rata tidak mencapai target seperti yang telah ditetapkan, maka itulah hasil kinerja dari jajaran pendidikan kita. Artinya untuk langkah selanjutnya perlu disusun dan diambil langkah-langkah strategis, tentunya sebagai upaya dalam memperbaiki kinerja segenap jajaran pendidikan. Jadi tidak perlu ada ujian ulang atau apalah istilahnya, karena skor itu semestinya bukan untuk memvonis lulus atau tidak lulusnya peserta didik.

Sekali lagi inilah masalahnya, kita cenderung selalu melemparkan kesalahan-kesalahan kepada orang lain, termasuk di bidang pendidikan. Sebetulnya kesalahan ada dalam pengelolaan pendidikan, tetapi banyak orang yang ingin selalu berupaya untuk tidak terlihat salah dengan jalan mengorbankan anak didik. Sadarkah kita bahwa anak didik yang dikorbankan itu, sering dan selalu kita katakan, mereka adalah penentu masa depan bangsa, ironis…memang! *)

Trend Pendidikan Ke Depan

BHINEKA TUNGGAL IKA. Satu baris kalimat yang terpatri pada sehelai pita yang dicengkram kuat dua cakar sang Garuda, yang di dadanya melekat perisai Pancasila, sebagai lambang negara tercinta ini. Tampaknya, kebhinekaan itu terus menjadi persoalan di negeri ini, baik itu politik, hukum, ekonomi, lingkungan hidup, sosial, maupun budaya. Tepatnya, belum sempat satu persoalan rampung diatasi, muncul persoalan baru. Bahkan, banyak pula sebuah persoalan terus-menerus menjadi persoalan, yang seakan tak dapat terselesaikan. Salah satunya “pendidikan”.

Sebenarnya di negeri ini jumlah Lembaga Perguruan Tinggi yang dikenal sebagai LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), baik berbentuk Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) maupun Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP), cukup banyak. Keberadaan lembaga tersebut tentunya dimaksudkan guna menjawab persoalan-persoalan dalam dunia pendidikan di Indonesia ini. Dan, tidak terbantahkan banyak pakar pendidikan kita lahir, atau berasal dari lembaga tersebut. Namun “bola panas” dunia pendidikan Indonesia masih terus menggelinding, dan IKIP diganti identitasnya menjadi Universitas Negeri, kecuali IKIP Bandung, yang masih tetap mempertahankan inisial “pendidikan” menjadi UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), walau sering diplesetkan menjadi Universitas Pasti IKIP.

Banyak sudah pendapat yang dilontarkan, termasuk upaya-upaya yang dilakukan guna pembenahan pendidikan di negeri ini. Menyoal upaya pembenahan pendidikan, jelas yang pertama dan utama sebagai pengemban tanggung jawabnya adalah negara, dalam hal ini tentunya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) bersama penyelenggara negara. Merekalah yang harus memulai atau mengawali pembenahan pengelolaan pendidikan.

Belum Proporsional
Berbicara profesionalitas, apresiasi terhadap pendidikan belumlah baik dan memadai. Salah satu indikatornya setiap seleksi peran ijazah atau sertifikat masih sangat dominan, akibatnya kinerja orang-orang yang lolos seleksi pun menjadi sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan. Guru atau dosen memang merupakan salah satu dari sekian banyak tugas keprofesian. Menjadi guru atau dosen sebagai sebuah kerja profesi semestinya, dan memang harus, menarik minat serta menggiurkan. Mengingat beban tugas dan tanggung jawab bagi mereka yang mengemban tugas keprofesian ini tidak ringan, sudah selayaknya imbalan, dan fasilitas penunjang yang mereka terima juga harus lebih atau minimal proporsional, artinya tidak dengan hanya sekedar “rayuan gombal” seperti sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Jadi, memperhatikan kenyataan akan rendahnya imbalan atau layanan fasilitas seperti yang diterima guru atau dosen saat ini, maka kita atau negara juga jangan terlalu banyak menuntut mereka.

Bila dibandingkan profesi lainnya, seperti dokter atau tenaga paramedis, kehidupan guru atau dosen bagai “api jauh dari panggang”. Guru atau dosen tidak mungkin sibuk di tempat prakteknya di rumah, seperti seorang dokter yang banyak melayani pasien di tempat prakteknya dibandingkan di rumah sakit, tempatnya bekerja.

Intinya, selama negara masih belum berkeinginan memperlakukan para profesional secara proporsional, kecil harapan negeri ini memiliki para profesional di berbagai bidang.
Ya, setelah Indonesia merdeka, peristiwa politik 1966, dan reformasi 1998, adakah pemimpin kita yang bertanya seperti Kaisar Hirohito, setelah Jepang habis dibom Sekutu, berapa jumlah guru yang tersisa?

Profesionalitas seseorang sangat bergantung pada kompetensi yang dimilikinya, dan sejauh mana dia mampu mengembangkannya secara maksimal. Sistem ranking, kelas unggul, dan sekolah unggul yang ada, mungkin perlu dikaji ulang seberapa besar manfaatnya. Semula penerapannya bertujuan untuk memotivasi siswa dalam belajar, tapi kenyataan di lapangan menunjukkan pencapaian tujuan siswa yang memang termotivasi cenderung kecil.

Bahkan, dampak yang mencengangkan; ada sejumlah guru atau sekolah yang tega membocorkan kunci jawaban ujian kepada siswanya, demi mencapai apa yang ditargetkan, yakni bisa dikatakan sebagai sekolah unggul karena nilai angka siswanya memang besar!

Pengelolaan Pendidikan
Perekrutan dan kesejahteraan guru atau dosen, pengawas sekolah atau mata pelajaran, serta kurikulum, gedung sekolah, buku pelajaran, badan akreditasi, peran masyarakat atau swasta, standar mutu pendidikan, dan seabrek persoalan pendidikan lainnya, seolah tak kunjung menyusut melainkan terus menumpuk, semakin rumit, dan kompleks. Demikian pula anggaran pendidikan, yang tampaknya sulit bergerak naik, bila dibandingkan anggaran lainnya, terutama dalam pembangunan pada pemerintahan daerah.

Sebetulnya kunci persoalan di atas, berada pada bagaimana kita mengelola pendidikan ini. Keberadaan jumlah sekolah-sekolah negeri, sudah terlalu banyak sehingga cukup membebani dunia pendidikan kita, dan ini seharusnya tidak perlu terjadi. Negara pun harus memikul beban biaya pendidikan yang besar. Di samping itu, disadari atau tidak, sekolah swasta yang memang dibutuhkan peran sertanya sebagai mitra pemerintah dalam membangun SDM menjadi terjepit, dan sulit dapat berkiprah lebih jauh, terutama sekolah-sekolah swasta yang kurang “bonafid”. Ironisnya sekolah-sekolah tersebut hanya menjadi bahan cemoohan bukan diupayakan untuk dibantu dan didukung agar dapat mandiri dan berkembang.

Menurut saya, ke depan, sekolah dasar dan menengah negeri jumlahnya tidak perlu banyak, terutama di kota-kota besar. Sekolah negeri hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang lemah secara ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang anaknya memiliki bakat atau prestasi luar biasa. Tepatnya, bagi mereka yang memenuhi persyaratan untuk bersekolah di sekolah negeri, maka negara berkewajiban membiayai semua kebutuhan pendidikannya.

Untuk masyarakat yang tingkat ekonominya masuk kategori menengah maka mereka harus memilih sekolah swasta, sedangkan bagi masyarakat yang tingkat ekonominya di atas kelompok menengah, selain harus memilih sekolah swasta mereka pun harus ikut memberikan bantuan yang dapat mendorong sekolah swasta yang bersangkutan menjadi lebih berkemampuan dan berkualitas. Dengan kondisi pengelolaan pendidikan yang demikian maka anggaran pendidikan yang jumlahnya berkisar 20% sudah bisa mencukupi kewajiban negara membiayai pendidikan, termasuk di dalamnya dapat dialokasikan dana subsidi bagi pengembangan guru dan siswa sekolah swasta.

Dengan jumlah sekolah negeri yang sedikit, tetapi memiliki fasilitas pendidikan yang merata, lengkap, dan canggih, tentu kebutuhan tenaga guru PNS pun menjadi sedikit. Nah, dengan kebutuhan tenaga guru PNS yang sedikit ini jelas akan mendorong tingkat persaingan menjadi tinggi. Bila tingkat persaingan menjadi guru PNS tinggi, maka sistem perekrutan guru dapat diperketat guna mendapatkan tenaga pendidik yang benar-benar berkualitas.

Jika jumlah sekolah dan guru negeri sedikit, maka memungkinkan bagi pemerintah untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya antara 4 sampai 5 kali lipat dari penghasilan guru seperti sekarang. Lalu, pemerintah atau penyelenggara pendidikan memberikan perumahan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya, yang mana lokasinya tidak boleh jauh dari sekolah tempat mereka mengajar atau bekerja.

Bekas gedung-gedung sekolah negeri, yang tidak termasuk dari jumlah sekolah negeri yang dioptimalkan, dapat diswastanisasikan, sedangkan siswanya diatur sesuai dengan kemampuan ekonomi orang tuanya, termasuk siswa-siswa di sekolah swasta perlu didata ulang. Untuk siswa sekolah swasta yang memenuhi syarat masuk ke sekolah negeri harus ditawarkan, dan diberi kesempatan satu tahun ajaran untuk mempertimbangkan kepindahannya ke sekolah negeri. Bagi guru PNS yang tidak lolos dalam seleksi ulang guru sekolah negeri, kepada mereka negara memberikan pensiun dini, dan diprioritaskan untuk dapat mengikuti seleksi guru sekolah swasta.

Era otonomi daerah, seperti sekarang ini adalah saatnya bagi khususnya Pemerintah Daerah untuk sungguh-sungguh berpihak kepada dunia pendidikan di wilayahnya masing-masing, karena generasi muda inilah yang nantinya akan memegang dan menjalankan tongkat estafet dalam menumbuhkembangkan potensi yang ada di daerahnya masing-masing. Sehingga era otda tidak lagi terkesan hanya sebagai ajang bagi-bagi “kursi” kekuasaan di daerah.

Negara, dalam hal ini pemerintah, membiayai atau menanggung dana pendidikan anak atau siswa dari masyarakat yang lemah secara ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang anaknya memiliki bakat atau prestasi luar biasa, seperti yang disebutkan di atas tidak dapat disamakan dengan program yang ada (bhineka subsidi) seperti yang dilakukan selama ini.

Program raskin, alokasi dana dampak kenaikan BBM, dan lain sebagainya adalah ibarat masyarakat dininabobokan dengan terus-menerus di beri “ikan” bukan mata “kail”, yang cenderung bermuatan politis atau merupakan upaya “meredam” kemungkinan adanya gejolak sosial, ekonomi, dan politik belaka. Jika masyarakat hanya dibuai-buai atau diberi ikan, tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Hal mendasar yang dibutuhkan masyarakat adalah kail, karena dengan bekal mata kail inilah nantinya dapat menjadi sarana dalam berupaya memberi arti dalam hidup dan kehidupannya.

Pendidikan gratis dan atau sekolah gratis, kini tampak marak menjadi bualan politik calon legislatif pun calon kepala daerah kepada masyarakatnya. Namanya bualan tentu ada korbannya, siapa lagi kalau bukan sebagian besar masyarakat pemilihnya. Logika apa yang dipakai, sehingga berani mengumbar janji “Pendidikan Gratis Indonesia Cerdas”…misalnya!

Isu pendidikan gratis dipolitisasi, dijadikan jargon, sekedar “kelakar betok” satu istilah “Palembangan”. Di wilayah Batanghari Sembilan, ketika datang “musim buah”, segala sesuatunya menjadi ramai, hangat, aktual, menarik, melibatkan banyak orang, dapat kesempatan menarik untung baik secara langsung maupun tidak langsung.

Setelah musim kemarau berlalu, musim hujan menjelang, dan seperti biasanya musim buah pun silih berganti. Kalau, kemarin musim mangga, duku, kini musim durian datang. Dusun-dusun tadinya sepi, berubah ramai karena ada transaksi borong-memborong duren, mulai dari putik bunga hingga gelantungan buah-buah duren yang memang sudah hampir masak, dan terutama tentunya tumpukan buah duren yang hanya tinggal diangkut, siap diekspor ke luar dusun.

Di Palembang, pasar-pasar, kaki-kaki lima, dan beberapa sisi jalan pun menjadi bernuansa dan beraroma durian. Para penjual durian itu ada yang membikin pondok-pondokan, tetapi ada pula yang memanfaatkan bak mobil-mobil pik-upnya. Dalam kondisi demikian, tidak sedikit mereka yang memanfaatkanya guna menarik utung, termasuk para penarik retribusi baik yang resmi maupun yang gelap. Ada yang berencana untuk biaya sekolah anaknya, mungkin juga untuk beli teve baru, kulkas baru, motor baru, atau wong rumah baru. Hanya para pasukan kuning yang terpaksa mengelus dada, karena musim durian berarti membludaknya sampah-sampah, adalah konsekuensi tambahan bagi beban tugas mereka.

Demikian pula suasana pemilihan caleg dan kepala daerah, ilustrasi di atas tidak jauh berbeda dengan kondisi jelang pemilihan di banyak daerah. Tampak dari masing-masing bakal calon telah mulai meneriakkan atau mengkampanyekan kesiapannya akan maju mencalonkan diri dalam kompetisi politis tersebut. Teriakan-teriakan itu ada yang disampaikan secara langsung dalam kegiatan “klise” (tergantung dari sudut pandang) seperti jumpa kader atau simpatisan, dan atau banyak pula yang memanfaatkan media komunikasi visual grafis – elektronik, seperti baligho, spanduk, poster, kalender, pamlet, leaflet, koran, majalah, buku, radio, teve, termasuk fasilitas dunia maya bagi kampanyenya.

Bukan hanya umbar janji “Pendidikan Gratis,” “Sekolah Gratis” dijadikan isu pendidikan yang menjadi laris manis (bukan “seksi”), tema kesehatan dengan “Berobat Gratis, Masyarakat Sehat” juga dijadikan jejampi menarik jelang pemilukada pun pemilu caleg. Pertanyaannya, salahkah?

Sesungguhnya patut disyukuri dan semoga memang muncul dari kesadaran yang hakiki (nawaitu), bila pendidikan dan kesehatan menjadi perhatian utama dari beberapa kandidat dewan terhormat juga kandidat pemimpin, iyakah…? Karena, harus dipahami makna pendidikan gratis itu, artinya menyeluruh untuk jenjang dan ragam jenis pembelajaran, termasuk kursus, les-privat, kuliah di perguruan tinggi, dan sebagainya, sangupkah mereka memenuhi sesuai janjinya? Jangan, setelah terpilih berobah haluan..hana-hitulah, alasannya…!

Jujur saja, sebetulnya penerapan istilah “gratis” yang “pasaran” itu, sangat tidak tepat bagi dunia pendidikan, bahkan cenderung merendahkan hakikat pendidikan yang memiliki konsep dua arah, hak dan kewajiban. Sementara gratis itu bersifat satu arah, artinya pihak yang menggratiskan tidak berhak menuntut, dan pihak yang digratiskan tidak pula memiliki kewajiban.

Misalkan, di suatu mall pada counter yang menjual alat-alat dapur tertulis: “Membeli satu produk, gratis 1 lusin gelas”. Maka, pihak pengelola tidak bisa serta merta mengharuskan setiap pengunjung membeli produk yang mereka jual, demikian pula sebaliknya dengan adanya gratisan 1 lusin gelas itu, bukan berarti setiap pengunjung menjadi berkewajiban harus membeli produk yang ditawarkan oleh pengelola mall.

Sehingga, penggunaan atau penerapan sekolah atau pendidikan gratis itu tidak benar, sebab sudah jelas dan sesuai dengan semangat pasal 31 ayat 2 UUD 1945 sebagai rambu-rambunya, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib pula membiayainya.” Pada kalimat tadi tidak sedikit pun mengisyaratkan adanya makna “gratis”, karena di situ jelas ada hak dan sekaligus kewajiban pada masing-masing pihak, baik sebagai warga negara maupun pemerintah.

Pendidikan ke Depan

Mengapa pendidikan bermasalah? Berbagai teori dikemukakan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Namun, banyak orang sering lupa bahwa masalah pendidikan yang sebenarnya mendasar adalah bagaimana memanusiakan anak sebagai manusia melalui pendidikan. Permasalahan pendidikan di negeri ini lebih banyak disebabkan masalah anak sebagai anak manusia selalu diselesaikan menurut beragam kepentingan orang tua/orang dewasa. Harus disadari dan dipahami bahwa masalah pendidikan bukan hanya sekedar memberdayakan pikiran dan pencapaian prestasi belajar, melainkan berkaitan erat dengan nurani dan moral spiritual serta pembentukan karakter.

Selama ini bila dicermati banyak sensitivitas yang hilang dari proses pembelajaran di sekolah, karena perhatian sekolah/guru lebih terjebak pada faktor kognitif. “Karakter yang berkualitas harus dibentuk sejak usia dini, kegagalan dalam penanaman kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi-pribadi yang bermasalah kelak di masa dewasanya” (Freud). Bangsa ini telah berkali-kali diterpa badai, sebagai dampak dari pendidikan yang cenderung hanya memperhatikan faktor kognitif (fungsi belahan otak kiri). Kerusuhan Mei 1998, meningkatnya tindak kekerasan baik secara individu maupun kolektif, meningkatnya prilaku merusak diri (narkoba, seks bebas, alkohol), penurunan etos kerja, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, perilaku tidak jujur yang telah begitu membudaya, dan lain sebagainya.

Sampai saat ini pendidikan di sekolah masih berorientasi pada filosofi “pedagogy of the oppresed” yang menekan dan menindas peserta didik. Banyak guru yang keasyikan memberi tugas sebanyak-banyaknya, guru cenderung hanya ingin didengarkan oleh siswanya (siswa menjadi pendengar pasif), banyak pula guru yang memposisikan dirinya sebagai subjek sedangkan peserta didiknya hanya dijadikan objek dalam proses pembelajaran, akibatnya peserta didik cenderung belajar hanya untuk sekolah.

Sudah saatnya kita tinggalkan sistem pendidikan yang tumpul itu, ke depan pendidikan harus berorientasi pada filosofi “pedagogy of love”. Guru harus mampu mengundang keingintahuan peserta didiknya, yang dapat melarutkan jiwa siswa pada kesukaan/senang dan akhirnya cinta belajar. Pihak sekolah, guru, dan para praktisi pendidikan lainnya harus menyadari bahwa belahan otak kiri dan kanan peserta didik perlu dioptimalkan secara seimbang dan menyeluruh, kemudian mengaplikasikannya secara nyata dalam proses pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran dapat berjalan cepat, efektif, penuh kreatifitas yang menyenangkan, mengasyikkan, dan tentu akan mencerdaskan serta menguatkan posisi anak sebagai anak harapan negara dan bangsa Indonesia tercinta ini.

Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan yang dimulai pada tahun 2004 dengan nilai 4,01. Nilai tersebut ditetapkan sebagai standar nasional, regional, ataupun internasional/global itu tidak salah, bahkan dengan skor ini sebetulnya masih terlalu rendah, dan mengapa tidak ditetapkan saja dengan nilai 7,01 atau 8,01 sekalian? Kesalahannya terletak pada penerapan standar mutu pendidikan itu, memangnya peserta didik dapat disamakan dengan produk teknologi sehingga perlu diberi standar mutu seperti ISO 2000, …, 2003, 2004, 2005, 2007 dan seterusnya. Pemerintah dalam hal ini Mendiknas, tampaknya masih mengunakan paradigma pendidikan yang tumpul, menyeragamkan, dan jelas menghakimi siswa (masalah anak yang diselesaikan dengan kepentingan orang dewasa).

Standar mutu pendidikan seharusnya tidak boleh dijadikan standar kelulusan, karena fungsi standar mutu pendidikan yang tepat adalah sebagai target capaian ideal dari suatu proses pembelajaran. Sehingga skor itu menjadi standar atau alat ukur dalam mengevaluasi sejauh mana hasil dari kinerja Depdiknas, Dinas Diknas Provinsi, Dinas Diknas Kabupaten/Kota, sekolah, dan terutama guru dalam melakukan KBM. Berdasarkan standar mutu pendidikan yang ada, dan ternyata setelah dievaluasi hasilnya rata-rata tidak mencapai target seperti yang telah ditetapkan, maka itulah hasil kinerja dari jajaran pendidikan kita. Artinya untuk langkah selanjutnya perlu disusun dan diambil langkah-langkah strategis, tentunya sebagai upaya dalam memperbaiki kinerja segenap jajaran pendidikan. Jadi tidak perlu ada ujian ulang atau apalah istilahnya, karena skor itu semestinya bukan untuk memvonis lulus atau tidak lulusnya peserta didik.

Sekali lagi inilah masalahnya, kita cenderung selalu melemparkan kesalahan-kesalahan kepada orang lain, termasuk di bidang pendidikan. Sebetulnya kesalahan ada dalam pengelolaan pendidikan, tetapi banyak orang yang ingin selalu berupaya untuk tidak terlihat salah dengan jalan mengorbankan anak didik. Sadarkah kita bahwa anak didik yang dikorbankan itu, sering dan selalu kita katakan, mereka adalah penentu masa depan bangsa, ironis…memang! *)

Minggu, 25 April 2010

Pendidikan Karakter

Pendidikan Karakter

Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.

Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.

Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.

Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.



Empat karakter

Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.

Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.

Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.



Pengalaman Indonesia

Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.

Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.

Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.

Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.



Loncatan sejarah

Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme lebih dahulu?

Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.

Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.

Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.

Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.

Sabtu, 24 April 2010

Hari Kartini : Menjaga Kehormatan Wanita Muslimah

Wahai saudariku muslimah, wanita adalah kunci kebaikan suatu umat. Wanita bagaikan batu bata, ia adalah pembangun generasi manusia. Maka jika kaum wanita baik, maka baiklah suatu generasi. Namun sebaliknya, jika kaum wanita itu rusak, maka akan rusak pulalah generasi tersebut.

Maka, engkaulah wahai saudariku… engkaulah pengemban amanah pembangun generasi umat ini. Jadilah engkau wanita muslimah yang sejati, wanita yang senantiasa menjaga kehormatannya. Yang menjunjung tinggi hak Rabb-nya. Yang setia menjalankan sunnah rasul-Nya.

Wanita Berbeda Dengan Laki-Laki
Allah berfirman,“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Adz-Dzaariyat: 56)

Allah telah menciptakan manusia dalam jenis perempuan dan laki-laki dengan memiliki kewajiban yang sama, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Dia telah menempatkan pria dan wanita pada kedudukannya masing-masing sesuai dengan kodratnya. Dalam beberapa hal, sebagian mereka tidak boleh dan tidak bisa menggantikan yang lain.

Keduanya memiliki kedudukan yang sama. Dalam peribadatan, secara umum mereka memiliki hak dan kewajiban yang tidak berbeda. Hanya dalam masalah-masalah tertentu, memang ada perbedaan. Hal itu Allah sesuaikan dengan naluri, tabiat, dan kondisi masing-masing.
Allah mentakdirkan bahwa laki-laki tidaklah sama dengan perempuan, baik dalam bentuk penciptaan, postur tubuh, dan susunan anggota badan.

Allah berfirman,“Dan laki-laki itu tidaklah sama dengan perempuan.” (Qs. Ali Imran: 36)

Karena perbedaan ini, maka Allah mengkhususkan beberapa hukum syar’i bagi kaum laki-laki dan perempuan sesuai dengan bentuk dasar, keahlian dan kemampuannya masing-masing. Allah memberikan hukum-hukum yang menjadi keistimewaan bagi kaum laki-laki, diantaranya bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, kenabian dan kerasulan hanya diberikan kepada kaum laki-laki dan bukan kepada perempuan, laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari bagian perempuan dalam hal warisan, dan lain-lain. Sebaliknya, Islam telah memuliakan wanita dengan memerintahkan wanita untuk tetap tinggal dalam rumahnya, serta merawat suami dan anak-anaknya.

Mujahid meriwayatkan bahwa Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa kaum laki-laki bisa pergi ke medan perang sedang kami tidak, dan kamipun hanya mendapatkan warisan setengah bagian laki-laki?” Maka turunlah ayat yang artinya, “Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah…” (Qs. An-Nisaa’: 32)” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari, Imam Ahmad, Al-Hakim, dan lain sebagainya)

Saudariku, maka hendaklah kita mengimani apa yang Allah takdirkan, bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Yakinlah, di balik perbedaan ini ada hikmah yang sangat besar, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Mari Menjaga Kehormatan Dengan Berhijab
Berhijab merupakan kewajiban yang harus ditunaikan bagi setiap wanita muslimah. Hijab merupakan salah satu bentuk pemuliaan terhadap wanita yang telah disyariatkan dalam Islam. Dalam mengenakan hijab syar’i haruslah menutupi seluruh tubuh dan menutupi seluruh perhiasan yang dikenakan dari pandangan laki-laki yang bukan mahram.

Hal ini sebagaimana tercantum dalam firman Allah Ta’ala:
“dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya.” (Qs. An-Nuur: 31)

Mengenakan hijab syar’i merupakan amalan yang dilakukan oleh wanita-wanita mukminah dari kalangan sahabiah dan generasi setelahnya. Merupakan keharusan bagi wanita-wanita sekarang yang menisbatkan diri pada islam untuk meneladani jejak wanita-wanita muslimah pendahulu meraka dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah dalam masalah berhijab. Hijab merupakan cermin kesucian diri, kemuliaan yang berhiaskan malu dan kecemburuan (ghirah). Ironisnya, banyak wanita sekarang yang menisbatkan diri pada islam keluar di jalan-jalan dan tempat-tempat umum tanpa mengenakan hijab, tetapi malah bersolek dan bertabaruj tanpa rasa malu. Sampai-sampai sulit dibedakan mana wanita muslim dan mana wanita kafir, sekalipun ada yang memakai kerudung, akan tetapi kerudung tersebut tak ubahnya hanyalah seperti hiasan penutup kepala.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
“Semoga Alloh merahmati para wanita generasi pertama yang berhijrah, ketika turun ayat: “dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya,” (Qs. An-Nuur: 31), Maka mereka segera merobek kain panjang/baju mantel mereka untuk kemudian menggunakannya sebagai himar penutup tubuh bagian atas mereka.”

Subhanallah… jauh sekali keadaan wanita di zaman ini dengan keadaan wanita zaman sahabiah.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa hijab merupakan kewajiban atas diri seorang muslimah dan meninggalkannya menyebabkan dosa yang membinasakan dan mendatangkan dosa-dosa yang lainnya. Sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya hendaknya wanita mukminah bersegera melaksanakan perintah Alloh yang satu ini.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Dan tidaklah patut bagi mukmin dan tidak (pula) bagi mukminah, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, kemudian mereka mempunyai pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya. Maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36)

Mengenakan hijab syar’i mempunyai banyak keutamaan, diantaranya:
1. Menjaga kehormatan.
2. Membersihkan hati.
3. Melahirkan akhlaq yang mulia.
4. Tanda kesucian.
5. Menjaga rasa malu.
6. Mencegah dari keinginan dan hasrat syaithoniah.
7. Menjaga ghirah.
8. Dan lain-lain. Adapun untuk rincian tentang hijab dapat dilihat pada artikel-artikel sebelumnya.

Bahaya Tabarruj Model Jahiliyah
Bersolek merupakan fitrah bagi wanita pada umumnya. Jika bersolek di depan suami, orang tua atau teman-teman sesama wanita maka hal ini tidak mengapa. Namun, wanita sekarang umumnya bersolek dan menampakkan sebagian anggota tubuh serta perhiasan di tempat-tempat umum. Padahal di tempat-tempat umum banyak terdapat laki-laki non mahram yang akan memperhatikan mereka dan keindahan yang ditampakkannya. Seperti itulah yang disebut dengan tabarruj model jahiliyah.

Di zaman sekarang, tabarruj model ini merupakan hal yang sudah dianggap biasa, padahal Allah dan Rasul-Nya mengharamkan yang demikian.

Allah berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu, dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti model berhias dan bertingkah lakunya orang-orang jahiliyah dahulu (tabarruj model jahiliyah).” (Qs. Al-Ahzab: 33)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Ada dua golongan ahli neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya; sekelompok orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuk manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang, mereka berjalan melenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak bisa mencium aromanya. Sesungguhnya aroma jannah tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Bentuk-bentuk tabarruj model jahiliyah diantaranya:
1. Menampakkan sebagian anggota tubuhnya di hadapan laki-laki non mahram.
2. Menampakkan perhiasannya,baik semua atau sebagian.
3. Berjalan dengan dibuat-buat.
4. Mendayu-dayu dalam berbicara terhadap laki-laki non mahram.
5. Menghentak-hentakkan kaki agar diketahui perhiasan yang tersembunyi.

Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan oleh setiap muslimah agar dirinya tidak terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan dan tidak menjerumuskan orang lain ke dalam dosa dan kemaksiatan.

Allahu A’lam.
Semoga bermanfaat,
Salam Ikhwah!!!
(Dikutip dari Facebook Fajar Kamizi)

Mengenai Saya

Foto saya
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
Kota Kelahiranku Bangka Island,tepatnya di Kotaberingin, pekerjaanku pengajar di IAIN Raden Fatah Palembang

Ceria Bersama

Ceria Bersama
Puncak Island

Total Tayangan Halaman

Bersama Kita Bisa

Bersama Kita Bisa
Jarlitnas NTB

Kehidupan Gembira

Kehidupan Gembira
Bersama Tetap Ada

Bagaimana pendapat anda tentang blog ini

Berapa kali anda mengunjungi Blog ini